Bab 15. Jadi ribut, kan!
Punten...
Sebelum baca, ada baiknya subscribe channel youtubeku dulu..
Kalian pasti yang terbaik, kan? Mau bantu bangun channelku.
Sedang berada difase menjaga diri sendiri, karena dunia sekitarku sudah tidak waras lagi.
Kembali pulang setelah hampir 3 jam berdiskusi, aku masih kurang puas tentang alasan dibalik kasus KDRT Elin yang katanya hanya berawal dari kecemburuan. Padahal jelas-jelas tadi di sana aku sudah menyarankan untuk melaporkan semua ini ke pihak berwajib agar orang yang melakukan KDRT ini bisa mempertanggung jawabkan kelakuannya. Tapi balik lagi, Elin tidak mau melakukan semua itu. Dia hanya ingin segera pisah dari suaminya yang sudah memberikannya banyak luka.
"Yang, mending jujur deh sama aku sekarang. Mumpung kita cuma berdua nih. Dan biar aku enggak mati penasaran lagi, karena merasa aneh aja gitu."
Aku terus mendesak Abel saat diperjalanan pulang. Tapi suamiku ketika didesak pertanyaan soal Elin, dia hanya tertawa, melirik Agil yang tertidur di kursi belakang dan Phyra yang sudah nemplok ke dadaku karena sudah tertidur sejak tadi.
Maksudnya apa coba?
"Yang... ih, aku serius."
"Aku juga enggak tahu, Ghe. Elin belum mau cerita apa-apa sama aku. Kemarin waktu dia kabur dari rumah suaminya mau ke rumah mama, itu juga di sepanjang jalan udah aku tanyain. Tapi dia diem aja. Terus aku harus gimana? Maksa dia. Bukan begitu caranya, Ghe. Si Elin udah besar. Aku yakin dia akan cerita nantinya. Dan sekarang aku masih kasih dia waktu buat hilangin bekas luka dan trauma itu."
"Waktu-waktu. Tapi pengeluaran kamu buat biayain kehidupan dia enggak nunggu waktu lagi kan."
Aku sengaja menggerutu biar Abel dengar jika aku kurang ikhlas dengan semua hal ini.
"Tuh kan mulai lagi. Aku kasih dia bantuan, bukan memotong uang nafkah aku ke kamu, Yang. Tapi yang kupotong itu bagian dari uang jajan aku. Dan insha Allah untuk tabungan setiap bulan juga enggak aku ganggu gugat. Aku akan tetap menabung untuk hari tua kita kelak. Terus kenapa lagi kamu masih sewot gitu?"
"Sebel aja aku. Mereka yang berbuat, kita yang kena getahnya."
Abel melirikku seperti tidak suka. "Jangan mulai deh. Selama ini kamu bantu orangtuamu pun aku enggak pernah komplen apapun. Bahkan aku juga ikut bantu mereka kan, karena kupikir anak kita sehari-harinya bersama kedua orangtuamu. Lalu sekarang kenapa kamu bahas masalah Elin terus sih? Aku juga bantu Elin enggak selamanya. Hanya sampai masalah ini bisa ketemu akhir yang tidak merugikan siapapun."
Aku berusaha menarik kedua sudut bibirku lebar. Kemudian membuang pandanganku ke arah jendela, agar Abel tidak melihat ekspresi kesalku kepadanya.
"Ghe.... "
"Enggak usah ngomong lagi. Aku capek."
"Ghe, ayolah. Jangan...."
Kupotong kalimat yang ingin Abel katakan dengan tatapan marah dan hampir menangis. Kembali lagi kelemahanku ini. Pasti akan menangis ketika tidak bisa mengendalikan emosi.
"Lain kali enggak usah kasih apapun lagi buat orangtuaku setiap bulannya! Aku masih mampu biayai mereka."
Sangat kusadari jika kalimat yang kuucapkan akan memancing emosi Abel. Tapi sumpah demi apapun, seharian ini hatiku sudah tidak berbentuk lagi.
Dari subuh aku harus merawat Abel yang sakit. Siang hari, aku malah mendapatkan makian dari mertuaku sendiri yang meragukan caraku merawat suamiku sendiri. Lalu malam hari, aku seperti dipaksa untuk menyetujui apapun yang diputuskan oleh mama mertuaku itu
Dan sekarang, bisa-bisanya Abel menyenggol bantuannya kepada kedua orangtuaku.
Benar-benar keterlaluan.
Kami sama-sama saling tatap sejenak sebelum Abel memutuskan menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
OMG. Kali ini aku enggak disuruh turun lagi kan?
Jadi ingat ketika masa pacaran dulu, saat kami terlibat keributan. Abel memintaku untuk turun dari motornya. Bayangkan saja aku ditinggal sendirian di jalan.
Untung saja sudah tidak begitu jauh dari rumahku. Sehingga aku bisa menggunakan kedua kakiku untuk berjalan.
Tapi kalau kali ini terjadi lagi, aku... Aku....
TIDAK! AKU TIDAK MAU CERAI.
"Coba kamu ngomong sekali lagi. Ngomong kalau berani!"
Meninggikan nada suaranya, aku memeluk Phyra kuat-kuat. Sampai air mata yang tadi sekuat tenaga kutahan, akhirnya menetes juga. Mengenai kepala Phyra yang menyandar pada dadaku.
"Dari tadi aku bilang sama kamu, tolong jangan mulai keributan lagi. Tapi apa? Kata-kataku enggak pernah kamu dengar. Penjelasanku enggak pernah kamu pahami. Tolong, Ghe. Diposisi seperti ini pun aku pusing. Jadi jangan menambah pikiranku lagi. Cukup dukung aku, Ghe. Beri sedikit pengertianmu, kalau dikeluargaku, dikeluargaku... tinggal aku yang bisa mereka andalkan. Mama dan adikku."
Semakin kuat aku terisak, semakin dalam kata-kata yang Abel ucapkan.
Aku tidak pernah melarang Abel untuk membantu keluarganya. Tapi masalahnya, sikap mamanya dan Elin yang membuatku seperti ini.
Abel benar-benar sabar menunggu tanggapanku. Dia hanya diam. Menatapku yang semakin menundukkan kepala.
"Aku terima konsekuensinya kalau sampai aku enggak bisa menjaga kepercayaanmu. Tapi tolong. Tolong dukung aku agar tetap amanah."
Setelah mengangguk, aku merasa Abel mencium sisi kanan bagian kepalaku sebelum dia kembali menjalankan mobilnya.
Kami tetap sama-sama terdiam sampai tiba di rumah dengan keadaan yang sibuk memikirkan perasaan satu sama lainnya.
***
Curhat ke mama. Inilah salah satu hal terburuk yang selalu kulakukan ketika aku ada masalah dengan Abel atau keluarganya.
Ketika malam ini Abel mengatakan akan pulang malam, entah karena lembur atau karena pergi ke rumah mamanya lagi, aku bisa leluasa berada di rumah mamaku sambil menunggu Abel menjemput.
Memang ini adalah sebuah kesalahan ketika aku, seorang anak yang sudah menikah, sering menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Apalagi dalam lingkup terdekat, seperti orangtua kandung. Pasti suatu saat hasil ceritaku itu bisa menjadi boomerang untuk kehidupanku sendiri. Tapi jujur saja aku tidak peduli dengan larangan atau nasihat-nasihat itu. Karena bagiku, tempat ternyaman untukku berdiskusi adalah orangtuaku sendiri.
"Menurut mama, Ghena harus gimana menanggapi masalah ini?"
Mamaku dengan mata senjanya, tubuhnya yang sudah tidak sekuat dulu, rambutnya yang semakin putih, menatapku dengan senyuman. Dia mengurut-urut tanganku, sebelum menjawabnya.
"Lain kali jangan cerita begini ke orang lain. Mama juga sebenarnya enggak baik dengar hal ini. Tapi kalau kamu minta saran, coba posisikan dirimu sebagai Elin. Jika dia bersandar pada kakaknya sendiri dimasa sulit ini, mama rasa tidak ada salahnya. Hanya saja... kamu harus pinter-pinter buat dukung Abel supaya suamimu itu adil. Ingat loh, Ghe. Anak kalian sudah dua. Ragil sudah sekolah. Sebentar lagu Phyra mau kamu sekolahkan juga, kan? Jadi nambah lagi pasti biaya. Jangan sampai Ragil dan Phyra yang ikut menjadi korban dalam masalah ini."
Aku cuma bisa diam ketika mamaku menjawab curhatan tentang Elin dengan sangat bijak. Kalau begini terus, lama-lama aku yang disalahkan mamaku sendiri.
"Ghe, gimana? Sudah paham dengan yang mama bilang?"
"Jadi Ghena harus ngalah dulu, nih?"
"Bukannya kamu yang sering bilang, ngalah bukan berarti kalah. Tapi mengalah dilakukan agar semuanya bisa sama-sama bahagia."
Baiklah. Kali ini aku manut dulu.
Continuee..
Hahahaa.. Yakin ghe mau manut?? 🤣🤣🤣🤣
Eh, btw...
Abel mantau loh pake akun wattpadnya.. Percaya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro