Bab 14. Yakin cuma karena cemburu?
Ulululuuuuuu..
Pengen banget sih satuin kita..
😆😆😆😆
Maaf-maaf nih, A. Aku dan mamamu enggak pernah sejalan. Kecuali jalan untuk mencintaimu selalu.. Eaakk
Jika memang masih ingin membandingkan kami, ayo mulailah sama-sama menunjukkan keburukan yang dimiliki.
Yap. Di sinilah aku akhirnya. Setelah bujuk rayu Abel dengan banyak pengertian yang dia berikan, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat malam Abel mengajakku ke rumah mamanya untuk membicarakan masalah Elin.
Menurut Abel, yang berulang kali laki-laki itu jelaskan, aku harus tahu mengenai semua masalah ini. Selain karena Elin adalah adik iparku, ada alasan utama yang membuatku menuruti semua yang Abel katakan. Yakni, permintaan izin Abel untuk membantu ekonomi ketika Elin mengalami masa sulit ini. Karena menurutku, jika sudah berhubungan dengan uang, semuanya akan menjadi sensitif. Apalagi uang tidak sekalipun mengenal kata saudara. Jadinya aku menurut diajak oleh Abel ke rumah mamanya malam ini.
Sebelum datang ke sini, seperti biasa, sedikit basa basi, aku meminta Abel mampu ke toko roti, membeli beberapa roti agar kedatanganku ke sana tidak semakin dinilai sebelah mata.
Dan untungnya Abel setuju. Aku sadar betul bagaimana kuatnya keinginan Abel agar bisa menyatukan aku dengan mamanya itu. Tapi please, semakin dia paksa, sertanya perlakuan mamanya yang apa ya... MENYAKITKAN, aku memang sengaja menjaga jarak aman dengannya. Dari pada aku emosi dan berakhir dosa, lebih baik aku menghindar.
Tapi seperti yang kukatakan tadi, usaha Abel tidak akan pernah surut untuk hal ini. Mungkin dia yakin suatu saat aku dan mamanya bisa menjadi sekutu yang baik. Entahlah.
"Yuk."
Sambil turun dari mobil, Abel mengeluarkan kotak roti yang akan dia bawa untuk diberikan kepada mamanya. Sedangkan aku sendiri. Ya seperti ini. Disibukkan memakaikan sepatu Phyra yang tadi sengaja dilepas oleh gadis cantikku ini.
Saat aku melihat mamanya tersenyum sumringah menyambut kedatangan Abel, tiba-tiba saja ekspresi itu lenyap ketika menyadari jika Abel datang tidak sendiri. Ada Agil yang langsung mencium punggung tangan neneknya sebelum masuk. Lalu ada aku juga di belakang yang masih sibuk mengurus Phyra.
"Ayo, masuk."
Yah, perlakuan itu masih sama. Tidak pernah kukatakan sekalipun kalau mertuaku galak, atau suka main tangan. Tidak. Mama mertuaku bukan tipe nenek-nenek seperti itu.
Tapi... masalahnya kekolotan pemikirannya malah sering membuatku kesusahan. Apalagi dia seakan tidak yakin jika putra kesayangannya, Abel, bisa dirawat dengan baik oleh aku, istrinya.
Hahaha, lumrah sih menurutku. Bukan hanya aku ternyata yang mengalaminya. Tapi banyak. Ada juga teman kantorku memiliki suami yang berasal dari tanah minang, dan ternyata perlakuan mama mertuanya mirip sekali dengan mamanya Abel. Baik sih, cuma.... Silahkan lanjutkan sendiri!
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam. Masuk, Ghe."
Aku menurunkan Phyra, membiarkan dia bergentayangan layaknya balita pada umumnya yang suka menggeratak benda-benda di sekitarnya. Sedangkan Agil sendiri, sudah duduk manis di depan TV, menonton film kartun kesukaannya yang tidak mungkin bisa aku ganggu gugat.
"Sehat, Ma?"
Waduh, pertanyaan macam apa ini yang muncul dari bibirku? Jelas-jelas tadi aku tidak terima dengan tuduhan dan nyinyiran mama mertuaku ini. Tapi kok bisa-bisanya aku berakting menjadi menantu yang baik.
"Baik, Ghe. Kalian udah pada makan belum? Tadi mama masak menu kesukaan Abel tuh. Ambilin makan deh, Ghe. Siapa tahu Abel laper tuh."
Sengaja kulirik suamiku itu. Menunggu responnya beberapa saat, kemudian dia menggeleng pelan.
Gimana mau makan banyak, pencernaannya saja masih belum sepenuhnya lancar.
"Iya, Ma. Nanti aja. Tadi Abel abis makan di rumah. Kan tadi Ghena bawa Abel ke dokter, terus saran dari dokternya jangan makan cabe dulu. Kalau buat sayur, jangan yang berwarna hijau. Katanya kurang baik untuk orang yang sedang diare. Terus.... "
"Kok bisa sakit sih, A? Emang Aa enggak minum vitamin? Dulu kan sebelum Aa nikah, mama sering banget beliin Aa vitamin. Sekarang kenapa enggak dilanjutin aja? Minta Ghena buat cariin vitamin yang kayak dulu mama beliin."
Tuh, kan. Mulai deh.
"Enggak usah, Ma. Ghena setiap bulan juga beliin vitamin buat Aa. Tapi aa jarang banget minumnya. Jadinya mubazir kalau belinya kebanyakan."
Mantap! Sebenarnya Abel hanya menjawab pertanyaan dari mamanya. Tapi kok ketika sampai ke telingaku seperti penuh dengan pembelaan yak.
Ketika kami masih bercakap-cakap tentang sakitnya Abel, tiba-tiba saja pintu kamar Elin terbuka. Dan di sanalah perempuan itu terlihat. Adik iparku yang menjadi kesayangan keluarga ini meskipun sudah banyak melakukan kesalahan.
Beuh, kalau Elin lahir di dalam keluargaku mah, sudah habis dia dimaki-maki seluruh keluarga.
Inilah salah satu ketidak adilan Tuhan yang bisa kulihat dengan jelas.
"Baru datang, A?"
Elin mendekati kami, eh, maksudnya mendekati Abel. Mencium punggung tangan aa kesayangannya itu dengan senyum sumringah. Tapi sayangnya ketika menyalamiku, terlihat sekali tidak ikhlasnya perempuan satu ini.
Dari kondisi yang kulihat memang ada lebam-lebam di bagian kaki kanan Elin yang kuduka sebagai kekerasan dari suaminya itu. Akan tetapi jujur saja, aku sangat tidak tahu kenapa suami Elin begitu keras perlakuannya. Apakah benar semua ini kesalahan suaminya? Atau memang ada pancingan khusus dari Elin sampai suaminya itu melakukan KDRT?
Hm, menarik. Entah kenapa kini aku ingin buru-buru mendengar penjelasan dari Abel atas kondisi yang terjadi.
"Begini, Ma. Sebenarnya Abel ada tujuan khusus juga kenapa malam ini mengajak Ghena ke sini. Karena Abel mau, Ghena juga tahu asal usul terjadinya KDRT dalam rumah tangga Elin. Apalagi Ghena juga merupakan kakak ipar Elin, jadi Abel rasa tidak ada masalah jika dia ikut berada di sini sekarang."
"Selain itu, seperti yang Abel bilang sebelumnya ke mama, Abel harus diskusi dulu sama Ghena. Minta izin dulu sama dia kalau mau membantu Elin untuk beberapa waktu ke depan. Karena pastinya Ghena juga kena dampaknya atas keputusan Abel ini. Dan Abel enggak mau ada masalah lain dikemudian hari kalau hal ini harus ditutupi dari Ghena."
Kepalaku mengangguk-angguk ketika mencoba memahami semua penjelasan Abel.
Jadi intinya mereka, mama mertuaku dan Elin, sudah meminta Abel untuk tidak menceritakan ini kepadaku.
Bagus!!
Keluarga yang benar-benar gila.
"Iya, Ma. Bukannya lebih baik dimusyawarahkan bersama. Siapa tahu bisa ada solusi lainnya untuk kasus ini. Dan lagi juga kenapa Elin enggak lapor polisi menerima KDRT sama suaminya? Harusnya yang kayak gini-gini laporin aja. Biar tuh laki jera. Bener enggak?"
Elin hanya bisa tersenyum, dapat kulihat dia sempat melirik Abel dan mamanya bergantian.
Loh kok rasanya ada yang aneh ya?
"Kalau boleh tahu, itu kakimu lebam-lebam karena dipukul sama suamimu?"
Sengaja kupancing pembicaraan ini agar tidak bertele-tele.
Dia hanya mengangguk pelan dengan gerakan tangan sambil mengusap-usap kakinya yang bengkak.
"Kok tega ya? Istrinya lagi hamil muda tapi main tangan begitu suamimu."
Aku sengaja menjeda ucapanku selanjutnya. Kemudian tersenyum penuh arti sambil melirik ke arah Elin.
"Emangnya kamu salah apa sampai kena pukul? Bukannya mau bela suamimu. Aku juga enggak suka dalam rumah tangga ada kekerasan begitu. Kalau masih cekcok mulut, pasti ada. Tapi kalau sampai main tangan begini, seharusnya sih ada penyebabnya."
Mengucapkan segala hal yang kupikirkan, tidak ada satupun dari ketiga orang ini yang menjelaskan secara detail alasan dibalik semua ini.
"Karena cemburu, Ghe."
Abel yang perlahan mengatakannya kepadaku. Dia menunjukkan ekspresi tak menentu. Pastinya dia malu mengatakan keburukan dari adik tercintanya ini.
"Cemburu? Loh emangnya kamu ngapain sampai suamimu cemburu?"
"Dia lihat aku ada chat dari orang lain. Teman Kuliahku dulu."
Setelah sekian lama diam, Elin bersuara. Mengakui penyebab kejadian ini di depanku.
"Chat? Hanya itu? Wah, serem juga ya. Untung suamiku enggak begitu. Padahal jelas-jelas banyak banget chat dari laki-laki di hapeku. Entah itu mau bawakan makanan ke kantor, sampai bagi-bagi rezeki setiap mereka dapat insentif. Kalau begini mah bawa aja ke kantor polisi. Biar tuh orang diamankan. Apalagi zaman sekarang gampang banget buat pengadilan untuk orang yang salah. Viralkan saja. Pasti hancur lebur kehidupannya."
Tanpa bermaksud apapun aku mengatakan segala hal yang kupikirkan. Namun anehnya tanggapan Elin malah tidak suka.
Harusnya dia bersyukur aku, sebagai kakak iparnya, masih mendukung dia dan ingin melindungi dia dengan membantu melaporkan ke polisi. Tapi kenapa dia kelihatan tidak suka.
Dasar manusia. Ketika tidak ada yang membantu, teriak-teriak kencang agar dunia tahu jika dia tidak mendapatkan perhatian oleh keluarga terdekat. Akan tetapi ketika diberikan perhatian, dibantu dengan maksimal, malah diam seperti tidak punya keberanian untuk berkata-kata.
Ckckck. Yah, beginilah manusia.
Continue..
Ulululu..
Siapa hayo yang kayak gitu?
Sukanya caper.. Eh.. Giliran diperhatiin, malah melempem. Kayak kerupuk kena kuah..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro