Bab 12. Masih berani sakitin istri setelah semua ini?
Tadinya ga mau update.. Tapi sayang sehari dilewatkan... 😆😆😆😆
Komen dong.. Butuh semangat nih.
Waktuku lagi bener2 gak teratur banget.. Jadi butuh semangat dari kalian..
Dari semua kejadian ini, satu pesanku untukmu. Sekalipun kamu imam dalam rumah tangga ini, tetap suara makmum harus kamu dengarkan baik-baik. Karena kamu tidak akan bisa menjadi imam, tanpa adanya seorang makmum.
Baru semalam aku khawatirkan, eh, hari ini kejadian. Karena sibuk mencari-cari Elin semalam, dan pulang pagi hari, akhirnya kondisi Abel runtuh juga. Suamiku itu jadi buang-buang air kayak masuk angin yang kebangetan gitu. Untuk itu, mau tidak mau aku izin ke kantor bila hari ini aku tidak masuk karena harus membawa Abel ke dokter. Tapi seperti biasa, tanggapan dari bosku itu memang terkesan santai namun... banyaknya tugas yang dia limpahkan kepadaku benar-benar menyiksa.
Masa katanya aku harus tetap bisa support dari rumah karena pekerjaan sedang banyak-banyaknya.
Oke. Baiklah, kuterima semua perintah bosku itu. Yang terpenting akan kulakukan setelah mengantarkan Abel ke rumah sakit untuk berobat.
"Gimana? Masih sakit?" tanyaku ketika melihat dia keluar toilet dengan wajah lemas. Bayangkan saja dari jam 5 pagi sampai jam 8 sudah 5 kali dia buang-buang air.
Dia mengangguk pelan. Berjalan lambat ke atas tempat tidur lalu berbaring sambil mengembuskan napas lelah.
Aku yang tidak tahan melihat belahan jiwaku sengsara menahan sakit, akhirnya bergerak kembali. Mengambil minyak angin yang hangat, kemudian meminta Abel untuk berbaring mendekat ke arahku.
"Sini, dekatan. Aku olesin minyak angin dulu. Biar hangat badannya. Kalau masih begini terus kita ke dokter aja ya. Aku pusing, Yang. Lihat kamu sakit begini."
Tatapannya terlihat sendu, membalasku yang benar-benar khawatir saat ini.
Bayangkan saja, sejak kepulangan Abel pagi buta tadi, aku baru istirahat 1 jam. Selebihnya sakitnya Abel sama sekali tidak bisa membuat mataku terpejam.
Bahkan aku sampai meminta papaku untuk mengantarkan Agil ke sekolah. Baru hari ini putraku ke sekolah hanya meminum segelas susu, biasanya dia akan kupaksa untuk makan dulu, agar konsentrasi belajarnya tidak terganggu.
Tapi karena mengurus Abel yang sakit, aku tidak bisa melakukan apapun.
Jangankan perhatian ke Agil, perhatianku ke Phyra saja teralihkan. Bayi kecilku itu setelah bangun tidur dan mengompol belum sempat kugantikan pempersnya. Dan kini dia sedang asik sendiri menonton televisi di ruang keluarga.
"Udah panas belum?"
"Udah."
"Sekarang minum diapet dulu sana. Biar mampet dan enggak buang-buang air lagi. Kan kalau buang air terus, jadinya lemes, Yang. Terus kita tunggu sejam. Kalau belum hilang, langsung aja bawa ke dokter deh."
Abel mengangguk setuju.
Setelah mengoleskan minyak angin ke bagian perut dan punggungnya, aku kembali sibuk mencari diapet dikotak obat. Biasanya obat-obat seperti ini jarang kami stok. Karena sangat jarang sekali kejadian sakit seperti buang-buang air dalam keluarga kami.
"Duh, enggak ada lagi."
Aku berseru sambil melihat ke arah Abel yang masih menatapku.
"Aku beli dulu ya. Kamu di rumah aja. Bentar."
"Phyra?" tanya Abel bingung.
Kondisinya yang lemas tidak mungkin bisa menjaga bayi super aktif itu saat ini.
"Phyra aku bawa. Ke warung bu Ani sebentar doang."
Abel mengangguk setuju.
Dengan sangat cekatan, seperti ibu-ibu pada umumnya, aku langsung mengambil beberapa lembar uang, mengikat rambutku asal, kemudian keluar kamar.
Kulihat Phyra sedang berjongkok di depan TV, menonton iklan kesukaannya.
"Dek, ikut mama yuk."
Phyra membalas tatapanku sambil mengedan.
Alah mak!! Dia eek lagi.
Argggh, aku rasanya ingin berteriak kepada dunia, apa tidak bisa waktunya dibuat tidak berbarengan seperti ini?
"Aduh, Dek. Eek ya? Kok eeknya sekarang sih? Tahan dulu apa, Nak."
Aku meringis sedih ketika mencium bau semerbak dari balik pempers bocor Phyra.
Duh, kasihan sekali anakku. Sudah pempers bocor kena ompol, sekarang ditambah ada eek di dalamnya.
Jangan sampai iritasi yak. Tahan dulu, Nak.
Tidak merasa jijik sedikitpun, aku langsung menggendong Phyra, berjalan keluar rumah menuju warung terdekat dari rumahku yang jaraknya hanya dua blok saja.
Di sepanjang perjalanan, banyak sekali ibu-ibu bergosip di pagi hari. Mereka bahkan tidak sadar diri dengan kodrat mereka yang hanya sibuk dengan gosip tetangga, dibandingkan harus mengurus rumah tangga.
Bukannya aku mau membandingkan diriku dengan mereka semua, seburuk-buruknya aku, aku adalah ibu dua anak dan memiliki pekerjaan sebagai wanita karir. Sehingga rasanya akan tidak mungkin memiliki waktu kosong untuk bergosip sambil merujak bersama.
Ckckck. Memang sudah terkenal sih orang-orang di komplekku ini memiliki karakter yang sangat buruk untuk lingkungan. Makanya aku lebih suka Agil dan Phyra di rumah mamaku dibandingkan di rumahku sendir kalau mereka ingin bermain.
"Eh, mamanya Agil. Kok tumben enggak kerja?" Salah satu ibu-ibu itu menegurku ketika langkahku mau berbelok ke arah gang warung.
"Iya, Bu. Lagi cuti hari ini."
Alasan! Memang benar. Buat apa aku repot-repot menceritakan berita buruk di keluargaku, kalau Abel sakit.
Rasanya tidak berguna juga untuk mereka. Atau mungkin sangat berguna bagi mereka semua sebagai bahan gosip terpanas.
"Yuk, ibu-ibu. Duluan."
Phyra yang berada dalam gendonganku melihat wajah ibu-ibu itu satu persatu. Pastinya aku yakin, bayi kecilku itu merasa kalau aku tidak suka dengan mereka semua. Sampai-sampai Phyra merekam wajah mereka semua.
Entahlah benar atau tidak tebakanku. Yang jelas Phyra memang mirip sekali denganku. Jika tidak suka dengan sesuatu hal, tatapannya akan menusuk sekali.
***
Minum obat diapet sekali dua, sudah Abel lakukan, tapi tetap saja buang airnya tidak tertahan. Bahkan sudah dua kali lagi buang air setelah meminum diapet itu.
Karena tidak ada perubahan, kupaksa Abel untuk pergi ke rumah sakit sekarang.
Awalnya dia menolak, tapi setelah segala bujuk rayu aku keluarkan, akhirnya berhasil.
Yah, walaupun aku tahu alasan dibalik penolakan Abel, tapi untuk kali ini hilangkan ketakutan itu. Dan Abel harus sehat untuk tetap berjuang bersamaku.
"Kita naik motor?" tanya Abel sambil meringis.
Jaket yang kupakaikan, benar-benar aku menguncinya rapat agar tubuhnya tetap hangat. Dan meskipun sedang sakit begini, suamiku ini tetap terlihat tampan. Ya Tuhan.
"Mau naik apa? Grab?"
"Aku enggak kuat, Ghe. Lemes."
"Ya udah naik dulu. Nanti aku yang boncengin kamu."
Kalimat itu terlontar begitu saja. Setelah mengunci pintu, aku nyalakan motor matic yang selalu Abel pakai untuk bekerja.
Untung saja motor ini sedang berada di rumahku. Karena biasanya motor ini ada di rumah kedua orangtuaku. Karena biasanya ketika kami menitipkan anak-anak ke rumah mama, kami menggunakan motor sport Abel. Lalu di sana Abel akan bertukar motor dan menggunaka motor matic milikku untuk bekerja.
Sedangkan motor sport Abel, yah hanya papaku yang memakainya.
Seperti anak muda saja, kakek-kakek itu.
"Pegangan."
Aku memastikan Abel memelukku. Dengan kondisi Phyra yang berada di gendongan depan, Abel memelukku dari belakang. Merapatkan kupluk jaketnya ketika aku mulai menjalankan motor ini.
Wow. Satu kata itu yang kuucapkan dengan bangga untuk diriku sendiri.
Sejujurnya sejak dulu, aku tidak pernah membayangkan menjadi seorang istri harus bisa segala hal. Karena itu, berterima kasih lah, Bel, kepada kedua orangtuaku yang berhasil mendidikku cukup keras.
Continue..
Tertanda Ghena, strong wife.
😆😁😄😃🤣😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro