Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GhaiSyah - 34

Mas Faddyl mengatakan bahwa olahraga sudah menjadi kegiatan wajibnya setiap akhir pekan. Pria itu pagi-pagi sudah siap dengan kaus biru pudarnya, serta celana training selutut ketika ia mengenakan sepatu. Aku sendiri, daripada lelah-lelah keluar sana, mending turu.

Maklum saja. Aku ini anak kuliahan, memeras otak dan lembur bagaikan kuda demi persiapan lulus dengan nilai akademik yang terbaik. Jadi, akhir pekan harus dihabiskan dengan self-healing, yaitu rebahan. Sembari menonton gosip artis terbaru ... uh! Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang aku dustakan!

Namun, aku baru saja mendengarkan presenter di televisi menyebutkan gosip terbaru, saat telingaku malah lebih tajam mendengar suara obrolan Mas Faddyl di teras sana. Keningku sampai berkerut dalam demi bisa membaca isi obrolannya.

Seolah ada api yang membumbung dari telingaku, ketika mengetahui bahwa ia baru saja mengobrol dengan Tiana—yang kutebak melalui sambungan telepon. Maka, aku segera bangun, ingin mencegah Mas Faddyl keluar. Sayangnya, ia sudah pergi saat aku membuka pintu rumah. Tidak etis juga jika bidadari gemulai harus berteriak sampai didengarkan oleh tetangga sekompleks.

Jadilah, aku memilih alternatif lain.

Demi Mas Faddyl ini! Demi pria itu! Aku meninggalkan kebiasaan rutinku setiap akhir pekan dengan mematikan televisi, dan malah mengganti rok menjadi celana olahraga panjang. Aku juga menggunakan jilbab instan seperut, barulah menyusul Mas Faddyl usai mengunci rumah tentunya.

Mas Faddyl ternyata sudah cukup jauh berlari. Entah dia sedang berlatih marathon, atau terlalu semangat ingin bertemu dengan mantan sahabat kecilnya.

Benar saja, ketika aku sudah menyusul, Mas Faddyl sudah sangat dekat dengan Tiana. Aku mempercepat lari, meski harus mencengkeram kuat perut bagian kiri yang mendadak keram akibat jarang olahraga. Setelah sampai, aku memeluk lengan Mas Faddyl, lalu mengarahkannya untuk terus berlari tanpa memedulikan Tiana.

"Mas kok cepet banget larinya? Aku susah ngejar, tau!" ucapku dengan nada paling manja yang pernah aku keluarkan—terdengar menjijikkan, tetapi seharusnya sudah bisa membuat Tiana bergidik dan sadar diri.

"Kamu katanya malas olahraga? Tadi saya sudah ajakin, loh," sanggah Mas Faddyl.

"Awalnya aja yang malas. Tapi, aku juga nggak bisa biarin lemak di perut semakin berkembang biak, jadilah ... aku harus mengikuti pola hidup sehat kayak Mas Faddyl." Aku tersenyum canggung, karena sungguhan sulit menahan sakit di perut.

Ingin berhenti, tetapi kami masih belum terlalu jauh dari Tiana. Bahkan, ketika aku melirik sebentar ke belakang, dia malah berlari mengikuti.

Demi Allah ... ini sungguhan sakit. Sampai aku harus menggigit bibir bawah dengan kuat demi menyembunyikan sakitnya. Terus menambahkan remasan di perut bagian kiri, yang sama sekali tidak membantu. Malah menambahkan sakit yang lain karena terlalu kuat mencengkeram.

Hingga, Mas Faddyl serta-merta menarikku setengah paksa berbelok di pertigaan. Aku masih bingung, tetapi tetap mengikuti langkahnya. Sampai, kami tiba di sebuah toko kecil yang di depannya ada tempat duduk berupa kayu panjang tanpa sandaran. Mas Faddyl mendudukkanku, kemudian pergi untuk membeli air putih.

"Kenapa dipaksa?" tanya Mas Faddyl ketika berlutut di depanku sembari menyodorkan air putih. "Kamu bahkan nggak pemanasan tadi," ucapnya yang malah membuatku kesulitan menyembunyikan senyum usai meneguk air mineral dingin ini.

"Mas ... perhatian amat, ih! Segitunya cinta sama aku," ucapku mengejek, sembari telunjuk kanan kurang ajar ini mengarah ke hidungnya.

Mas Faddyl segera menepis tanganku, disusul decaknya yang menandakan kurang suka.

"Kamu sendiri ... segitunya cemburu saya mau ketemu sama Tiana. Saya nggak bakal ngapa-ngapain sama dia."

"Mas ...." Aku meminum air dahulu, karena masih kesulitan mengatur napas. ".... Jangan anggap sepele kekuatan CLBK! Hubungan rumah tangga yang paling harmonis aja, bisa runtuh cuman karena cinta lama bubarkan keluarga. Hidih, amit-amit, Mas."

"Tapi nyatanya, Chia ... saya nggak pernah naruh perasaan ke Tiana. Sama sekali ... nggak pernah." Mas Faddyl memberikan penjelasan penuh penekanan.

"Heleh, tapi aku sering lihat Mas Faddyl interaksi sama Tiana, tuh." Aku mencibir, sembari meneguk minum lagi.

"Apa setiap kali saya interaksi sama perempuan, itu artinya saya suka sama mereka?"

"Ya ... nggak ada yang tahu." Aku semakin menggodanya, sembari mengalihkan tatap ke arah lain.

"Berarti kalau begitu, kamu orang yang paling saya suka."

Eh?

Aku langsung melirik ke Mas Faddyl, kemudian mendesis sebal. "Ya kali kamu suka ke aku, sementara kamu gini banget bicara sama aku."

"Makanya itu, Chia ...." Mas Faddyl sampai harus menekan-nekan giginya menahan gemas. "Saya interaksi sama Tiana cuman sebagai teman. Nggak lebih! Saya bahkan jarang ngobrol sama dia karena kamu selalu ganggu."

"Oh ... Mas jadi marah gitu karena aku selalu gangguin?"

"Ya Allah ...." Mas Faddyl menepuk keningnya, terlihat frustrasi. "Kenapa otak kamu miringnya kebangetan banget, Chia? Kita bahas apa, kamu bawa obrolannya ke mana!" ucap Mas Faddyl disusul dengkus kesal. Ia kemudian berdiri hingga aku harus mendongak demi melihatnya. "Lagian, kenapa juga saya harus jelasin panjang kali lebar ke kamu kayak sekarang ini, kayak pacar yang harus jelasin kesalahannya ke pasangannya." Mas Faddyl mencibir geli. "Kalau nggak bisa olahraga, pulang aja. Rebahan. Tidur. Atau kalau mau jadi manusia yang bermanfaat, belajar masak. Nonton YouTube!"

Pria ini bahkan enggan mendengarkan panggilanku, dan langsung beranjak begitu saja setelah mengenakan earpods untuk menyumpal telinganya.

Dasar!

***

Karena tersadar atas ucapan Mas Faddyl bahwa tidak semua interaksi itu berarti suka—sebab, jika demikian, artinya Mas Faddyl suka aku, tetapi nyatanya tidak—maka, aku menuruti maunya untuk belajar masak.

Menu kali ini adalah ayam kecap. Sebab tidak perlu berperang dengan minyak. Jadi, aku mempersiapkan semua bahan, sembari menyimak terlebih dahulu.

Hanya saja ... ini kenapa tutorialnya jadi 'secukupnya' begitu? Apalagi, hampir 'secukupnya' ini ada di setiap ucapannya ketika menuang bumbu.

Demi apa pun! Secukupnya itu berapa, Maemunah? Garam dua sendok makan juga termasuk secukupnya, tapi tidak bisa dimakan masakannya!

Hah!

Aku mendumel kesal, dan memilih membatalkan niat memasak ayam kecap. Mending ... ayam goreng tepung. Seharusnya ini mudah karena bahannya sudah dicantumkan secara lengkap, bahkan termasuk ukuran bumbu yang harus dimasukkan.

Segera, semua bahan yang diperlukan aku kumpulkan. Lalu mulai menyimak, sembari mengikuti arahan dari si pembuat video. Termasuk mudah. Aku langsung merasa sombong usai mengangkat daging dari cemplungan tepung yang ketiga kali ini.

Sekarang ... bagaimana berurusan dengan minyak?

Aku menuang dahulu setengah bungkus dari minyak kemasan satu liter ke dalam wajan, lalu mempersiapkan tutupnya sebagai tameng perlindungan. Untuk mengecek panas, aku memasukkan tepung secara hati-hati, hingga gelembung bermunculan usai memasukkan bahan makanan ke dalamnya. Barulah, ayam ini hendak aku renangkan.

Namun, belum sempat kulakukan, seruan salam dari Mas Faddyl terdengar. Entah dia yang terlalu cepat lari, atau memang aku yang lamban di sini. Pria itu sampai menatapku bingung ketika bersandar di dinding dapur.

"Kamu mau masak, atau mau ikut perang, Chia?" sindirnya.

"Minyak panas, Mas. Gimana kalau—"

Aku tidak sempat melanjutkan, karena pria ini malah memegang tanganku, mengarahkan untuk mengambil sepotong ayam, lalu membawa tanganku untuk ke atas wajan. Aku segera meletakkan penutup wajan tadi ke samping kompor, lalu bersembunyi di belakang punggung Mas Faddyl.

"Coba lihat!" seru Mas Faddyl. "Enggak kenapa-napa, Chia. Kecuali kamu masukin tangan ke minyak, baru berbahaya."

Aku mendengkus, lalu memaksa melepaskan tangan dari genggamannya tadi.

"Omong-omong," ucap Mas Faddyl ketika aku melanjutkan memasukkan semua potongan ayam ke dalam minyak. "Terima kasih, sudah mau mematuhi saya. Saya suka kamu yang patuh begini."

Mataku langsung memicing tajam. "Aku belajar masak buat ngisi perut, ya, Mas. Mas selalu ... aja, berlebihan! Pake kata 'saya suka kamu, saya suka kamu!' Bikin salah paham tau!" ucapku kesal.

"Memang, apa yang otak miring kamu itu pahami?"

Ini orang, menguji kesabaran banget, ya?

"Mas Faddyl suka aku?"

Dia malah terbahak. Kampret emang!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro