Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GhaiSyah - 18

Namanya juga, ya ... pesta kolega bisnis Papa Mas Faddyl, jadilah, aku cuman melirik para pria itu itu mengobrol mengenai saham, investasi, dan perkembangan bisnis mereka. Masing-masing saling memuji, kadang saling pamer.

Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menatap mereka secara bergantian dengan ekspresi cengo. Harus banget, aku kayak anak hilang di sini?

Kakiku perlahan mundur. Lingkaran para pria ini bukan Chia banget, jadi ya ... aku harus cari yang se-circle. Mungkin para perempuan sosialita yang berjarak lima meter dariku itu bisa membantu. Sesama perempuan, pasti bisa lah ya, nyambung kalau ngobrol. Paling juga isi obrolan mereka gibahan, mengusap aib para artis setajam silet, atau sejenisnya.

Maka dari itu, aku nyempil di antara tubuh tinggi mereka. Baru saja membuka mulut hendak menyapa, aku langsung diam ketika salah seorang perempuan berambut blonde menunjukkan tasnya.

"Ini tuh saya beli, sumpah ... sampe ngantri ngalahin ribuan bahkan jutaan perempuan. Tahu sendiri ya, Hermes gimana ... duh, beruntung banget. Ya ... untungnya, usaha suami lagi naik-naiknya. 524 juta, Alhamdulillah kebeli."

"Ih ... beruntung banget." Salah satu perempuan yang lipstiknya paling merah, menimpali. "Ini kapan dikeluarinnya, ya, Jeng? Kok saya nggak tau? Padahal ... saya gabung ke grup sosialita di luar negeri, yang manage beberapa artis kayak Kim Kardashian, Gigi Hadid, sama Kylie Jenner. Nggak ada loh, pembahasan tas ini. Hermes saya denger-denger, baru launching Mei nanti."

"Oh ...." Si perempuan pirang langsung mengibaskan tangan dengan tawa kakunya. "Ini limited edition, Jeng. Maklum, saya nggak suka samaan sama orang-orang. Saya maunya beda dari orang-orang."

Sementara yang lain menimpali dengan beberapa pujian, dan sedikit sindiran, aku yang paling kecil di antara mereka cuma bisa garuk kepala walaupun nggak gatel.

Tas bermerek, ya? Aku bahkan tidak peduli dengan merek-merek tas. Asal bisa nyimpen barang sesuai ukurannya, dan ada tali yang nyaman, plus, modelnya imut-imut manis kayak kepribadianku, ya ... aku beli. Eh, harga sih, yang paling menentukan aku beli atau enggak.

Dan ... melihat bagaimana mereka nyebut 50 juta seperti 50 ribu, 500 juta seperti 500 ribu, satu miliar cuma kayak 1 juta rupiah-aku mundur teratur.

Ini bukan circle-ku, aku sadar. Aku yang ketika lihat barang cantik dan langsung lihat price tag, jelas nggak bisa masuk ke golongan manusia yang tinggal tunjuk, langsung beli.

Walaupun Papa alhamdulilah masuk golongan yang berkecukupan, apalagi punya suami yang juga pengusaha walau aku belum tahu betul, tetap saja. Aku tidak bisa menghamburkan uang lebih dari lima setengah juta perbulan. Kalau lebih, lebihnya itu bakalan dianggap utang sama Papa.

Nyebelin banget emang. Untung Papa sendiri.

Namun gitu-gitu, Papa juga bakalan penuhi semua kebutuhan utama apalagi untuk urusan kuliah. Jadi, yang tadi itu, murni cuma untuk jajan plus, kuota segala macam.

Untungnya ... Allah yang Maha Baik ini bantu aku jadi penulis, dan akhir-akhir ini tenar karena jadiin hidup menyedihkanku sebagai cerita. Bhawahaha, kayak ... dunia beneran adil. Abis disakiti, terus ... pasti, selalu aja ada rezeki lain. Aku selalu percaya itu, makanya, sekarang tidak terlalu terpuruk dalam perjodohan ini. Kalau bukan karena landasan Allah itu Maha Adil, mungkin sudah bunuh diri sekarang.

Aku masih senyam-senyum sendiri, ketika seorang pria dalam balutan jas hitam menghampiriku. Menyodorkan sebuah gelas berkaki, dengan isinya yang berupa cairan oranye. Aku menatapnya kebingungan.

"Kamu kelihatan kayak orang tersesat di sini," kata laku-laki itu, yang aku langsung benarkan dalam hati.

Eh tapi, itu artinya ... dia perhatiin aku?

"Mau minum? Saya juga nggak punya teman di sini. Cuma ikut antar Papa, yang maksa ke sini setelah kecelakaan." Ia melanjutkan, sembari menunjuk pria yang ia maksud melalui lirikan mata. "Nama kamu siapa? Saya Aldan Taufik." Ia lalu menjulurkan gelas itu semakin maju. "Mau minum?"

Aku menggeleng kaku. "N-nama saya Ch-eh Veitchiasyfa Ghaisaningsih Alano."

"Eh ... eh, siapa tadi namanya?" Pria yang memiliki nama simpel ini langsung mengerjap lucu beberapa kali, tidak bisa menahanku untuk tidak terkekeh pelan.

"Panggil aja Syfa. Saya biasa dipanggil Syfa sama kenalan saya."

Aldan mengangguk-angguk, memahami. Ketika tersenyum, ia seolah memamerkan dengan sengaja sebuah lesung di pipinya yang menawan. Aku nyaris terhipnotis untuk hal sederhana itu. Beruntung, segera mengerjap, dan kembali tersadar. Pria ini ... sempurna.

Apa ya? Ada kesan-kesan manis dari kulitnya yang putih bersih. Rambut hitam pekatnya khas Indonesia banget, jadi ... menawan. Lesung pipinya tambah poin plus. Namun, tinggi pria ini yang sekitar dua jengkal dariku, memberikan kesan mendominasi. Kesan pria ini ... terasa ... pemimpin. Entahlah, pikiranku menyimpulkan seperti itu.

"Kamu nggak mau minum? Saya perhatikan kamu sejak satu jam yang lalu. Kamu sama sekali belum minum apa pun."

"Oh, eh ... makasih." Aku pikir, setelah acara puji-pujian pembuka perkenalanku dengan sahabat-sahabat Mas Faddyl, maka usai. Aku tidak lagi diperhatikan siapapun, bahkan Mas Faddyl. Aku bahkan sampai menoleh demi mencari pria itu, yang tidak tampak di mana pun. Pandangan aku alihkan kembali pada pria di hadapanku sekarang. "Tapi, saya dilarang minum sembarangan di sini."

"Ini bukan alkohol, kok." Ia terkekeh ringan. Semakin memajukan gelas mendekat padaku, tetapi tetap aku menggeleng pelan sebagai penolakan. Kasihan juga, mungkin dia sudah lelah menahan beban ringan ini. "Ini ale-ale."

"Eh, yang bener?"

"Kamu percaya sama saya?"

Aku bungkam. "Beneran?"

Aldan terkekeh lagi, entah bagian mana yang lucu.

"Kamu tuh, ya. Kalau dibilangin nggak ada alkohol, nggak percaya. Baru, kalau dikasih tahu kalimat yang beneran bohongnya, baru percaya."

Aku meringis geli, memamerkan senyum kaku.

Karena tidak enak pada pria ini, maka aku menerimanya. Ragu, mendekatkan mulut gelas ke depan hidung. Tidak ada aroma yang mencurigakan. Karena aku sebelumnya sudah pernah minum alkohol, jadi lumayan tahu.

Hati-hati, aku menyesap minuman. Benar, rasanya khas jeruk, tetapi aku yakin ini jus asli. Bukan minuman seribuan yang ia bilang tadi. Karena rasanya manis, tetapi bukan yang membuat tenggorokan kegelian. Rasanya manis, dengan sedikit asam yang malah menambah kesan segar.

"Makasih," ucapku usai menyesap tiga teguk.

"Sama-sama." Ia membalas. "Kamu ke sini sama siapa?"

Lah, katanya tadi perhatiin aku satu jam? Masa' tidak tahu aku datang sama siapa tadi?

Aku belum sempat menjawab, ketika sebuah lengan menempel di punggungku, bersama jari-jari di pinggang, menarik posesif hingga aku benar-benar menempel si pelaku.

Mas Faddyl.

Sayangnya, meski aku pelototi, ia tidak mau peduli. Tegas memberikan pandangan pada pria yang setinggi dengannya itu.

"Dia datang ke sini dengan saya; suaminya."

Kok ... hawa-hawa Mas Faddyl ini menyeramkan? Well, saat aku pertama kali tahu dia dingin, tidak acuh-aku memang sedikit merinding. Namun sekarang, Mas Faddyl terasa dua kali lebih menakutkan. Apalagi dengan rahangnya yang mengetat kuat, aku tahu. Ia sedang menahan amarah yang berusaha Mas Faddyl tahan di mulutnya.

"Oh, iya ... saya nggak lihat cincin di tangannya."

Aku secara spontan mengikuti arah pandang Aldan, pada jemariku. Cincin pengikat ini, nyatanya tidak bisa menyatukan hati kami. Tidak lagi mau meratapi efek perjodohan, aku kembali menatap dua pria ini secara bergantian.

Jika Mas Faddyl menunjukkan kesan keras kentara, pria di depan kami ini malah santai, seolah tidak terjadi apa-apa-tetapi di sisi lain, tanggapan Aldan ini bisa saja memicu seseorang semakin marah. Karena mengira itu adalah jenis ejekan.

"Mas ... Mas ...." Aku memanggil Mas Faddyl dengan suara lirih, sembari menarik-narik pelan jasnya. "Kita di sini pake nama Papa, loh, jangan dirusak."

Mas Faddyl mengembuskan napasnya panjang, kemudian menjatuhkan pandangan ke bawah, lalu melihatku. Ia masih saja bersikap dingin, tetapi tidak semenakutkan sebelumnya. Cengkeraman yang ada di pinggangku mengendur.

"Masih ada urusan dengan istri saya? Jika tidak, kami harus pulang."

"Sudah nggak ada," jawab Aldan untuk pertanyaan Mas Faddyl tadi.

Maka, aku hanya bisa mematuhi Mas Faddyl untuk pamit, padahal acara masih separuh berjalan. Kata Mas Faddyl dalam mobil, dia cuma perlu menunjukkan diri, selesai.

Tapi, kok aku susah percaya?

"Bilang aja istrinya kelewatan cantik, makanya takut digoda cowok lain," cibirku pelan, tetapi yakin masih bisa didengar Mas Faddyl jika dia belum tuli.

Namun, pria ini tetap tidak bereaksi berlebihan. Tetap tenang, fokus menyetir.

Padahal kan, padahal ....

Aku mau dipuji mulut pedas itu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro