Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GhaiSyah - 06

"Dengar pernikahan kita pasti akan tetap terjadi, aku tidak mau membatalkan perjodohan kita. Karena aku menginginkan kamu menjadi istriku."

Hilih! Aku mencibir ucapan Faddyl seraya merotasi bola mata. Kedua tangan aku lipat di depan dada, seraya mencondongkan tubuh ke belakang. Pria di hadapanku ini aku teliti dari atas hingga bawah. Tampang dan ekspresinya seperti cowok cool kebanyakan, tapi ternyata ....

"Mesum pikirannya anu-anu mulu, padahal baru pertama kali ketemu!" cibirku. Sebelum melanjutkan, aku memperhatikan sekitar terlebih dahulu, jangan sampai Mama atau siapa pun datang mencampuri urusan kami. "Oke, oke, aku tahu tubuh aku ini terlalu menarik, tapi ... seriously, Mas ... Faddyl. Kamu langsung jatuh cinta sama aku pada pertemuan menjijikkan pertama kita?" Aku berdecak takjub seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Haduh, pesona aku emang susah ditolak. Sayangnya, aku nggak minat nikah muda."

Pria di hadapanku ini belum menunjukkan ekspresi tertarik dengan kalimat menyindir barusan. Rautnya masih lempeng. Aku merasa, masih bisa main aman sekarang, sehingga dengan berani menatap wajah pria ini secara langsung dengan mata setengah menyipit.

Kejutan ringan diberikan Faddyl! Ia mendekat selangkah, sehingga aku yang sebelumnya tidak menebak hal itu langsung mundur karena sentakan kaget. Jantungku berdebar kencang setelah itu, dan untuk meredakannya, aku harus mengusap dada dengan perlahan seraya mengatur napas.

"Kamu kalau ngapa-ngapain, ngomong! Jangan bikin kaget!" Aku menegur, dengan nada melengking tanpa sadar, karena Faddyl terlalu mengejutkan.

"Pertama, aku bukan orang mesum seperti yang kamu tuduhkan. Karena kalau memang iya, kamu pasti sudah hamil sekarang!" ucap Faddyl dengan nada ditekan, antara marah atau sedang berusaha menjaga agar obrolan kami tidak sampai didengar oleh orang lain. Lebih sialnya, ia malah menunjuk perutku sedetik usai mengatakan kalimat laknat itu. Aku langsung menutup perut, melindungi diri kutukan tadi. "Tujuan menikah tidak selalu tentang apa yang kepala kecil kamu pikirkan, tetapi lebih. Lebih dari sekadar anu-anu! Karena kalau cuman itu tujuannya, menyewa perempuan jauh lebih baik. Pernikahan tentang komitmen untuk saling melengkapi, dan anu-anu hanya bonus! Aku mau menikahi kamu itu, alasan lainnya adalah membersihkan otak kotor di kepala kamu itu!" Pria itu kemudian berdecak, seolah menyesali ucapan buruk tadi keluar. Ia menatapku tajam, karena ya ... oke, aku akui, aku pembuka konflik buruk yang terjadi saat ini.

"Kedua," lanjut Faddyl, yang maju lagi selangkah, membuatku secara otomatis ikut mundur dua langkah. "Tertarik?" Ia berbicara dengan nada bertanya meremehkan, kemudian menilaiku dari atas ke bawah. Aku sontak menutup beberapa bagian: dada, dan perut agar tidak dipindai oleh mata tajam itu. "Apa yang menarik dari kamu, Chia? Gendut, pendek, pecicilan. Aku tebak, kamu pasti tidak pernah pacaran karena saking tidak menariknya, kan?"

Mulut kamvret ....

Aku langsung melotot mendengar ucapan Faddyl tadi. Berniat maju selangkah untuk memberikan gertakan, tetapi Faddyl malah memajukan kepalanya sehingga aku malah mundur tiga langkah.

Ah, sial ... dari mana dia tahu kalau aku jomlo sejak putus dari tali pusar?

Aku berdecak kesal. Kemudian menatap malas pada Faddyl yang bersiap melanjutkan ucapannya.

"Aku, suka, kamu?" Faddyl mengeja setiap kata dengan nada mengecek, kemudian mendengkus keras, seraya mengalihkan pandangan ke arah lain seolah menunjukkan sesuatu yang 'tidak habis pikir', lalu kembali menatapku dengan tajam serta wajah yang dimajukan hingga tinggi kepala kami sama. "Mimpi!"

Astaghfirullah ... mulutnya jahat sekali.

Aku hanya bisa bergeming di tempat, seraya memilin ujung pakaian karena bingung harus membalas kalimat skakmat apa pada pria bermulut pedas ini.

Faddyl memijit pelipisnya dengan jemari kanan. Ia seperti dilanda pening, padahal sedang berada di taman yang paling menyejukkan pandangan, dengan angin sepoi-sepoi penenang pikiran.

Ah, ya. Aku sadar diri, aku mungkin yang menjadi penyebab sakit kepalanya itu.

"Kamu mau menyampaikan sesuatu lagi, Chia?" tanya Faddyl, yang langsung aku balas gelengan kasar.

Setiap kalimat yang dikeluarkan pria ini selalu saja ... mengerikan!

"Oke." Hanya satu kata itu, tanpa pamit atau sejenisnya, atau terima kasih—Faddyl langsung beranjak dari tempatnya berdiri tadi.

Pergi begitu saja? Aku langsung cengo sendiri di tempat.

Manusia aneh.

***

Saya mau menikahi kamu itu, alasan lainnya adalah membersihkan otak kotor di kepala kamu itu!

Ucapan Faddyl terngiang di kepala ketika aku sibuk menulis diary sebelum tidur. Aku mengabaikan dahulu buku di depan. Menggunakan telapak tangan, aku menopang dagu sembari berpikir.

Hm ....

Jika benar tujuannya menikahiku begitu mulia, seharusnya aku bisa lepas dari keinginan pria itu dengan cara menjadi baik, polos, nan suci. Iya, kan? Faddyl mau memperbaiki perempuan berotak kotor sepertiku, kan?

Hm ....

Sepertinya ide bagus. Aku mengangguk-angguk bangga pada diri sendiri. Kemudian mencatat di diary, kalimat motivasi—berkedok menghina—dari Faddyl tadi, karena ya ... memang ucapannya sesuai.

Tentang tujuan pernikahan.

| Tujuan menikah tidak selalu tentang apa yang kepala kecil kamu pikirkan, tetapi lebih. Lebih dari sekadar anu-anu! Karena kalau cuman itu tujuannya, menyewa perempuan jauh lebih baik. Pernikahan tentang komitmen untuk saling melengkapi seumur hidup, dan anu-anu hanya bonus! |

Senyumku mendadak pudar saat memikirkan sesuatu. anu-anu ini kenapa mengganggu sekali? Kalimat motivasinya jadi terkontaminasi! Aku langsung mencoret, kemudian mencatat ulang.

| Tujuan pernikahan bukan sekadar 'itu'. Karena kalau cuman itu tujuannya, menyewa perempuan jauh lebih baik. Pernikahan tentang komitmen untuk saling melengkapi seumur hidup, dan itu hanya bonus! |

Aku mengembuskan napas usai menulis kalimat ini. Buku aku tutup, untuk diletakkan di rak, pun pulpen kembali ke tempatnya. Sudah pukul sepuluh, ketika aku melirik jam digital. Setelah merenggangkan tubuh, aku beranjak ke kamar mandi, berwudhu, lalu bersiap tidur.

Tidak lupa sebelum itu, aku sudah memasang alarm. Saatnya menjadi wanita berpikiran polos nan suci agar tidak disucikan oleh Faddyl.

Bisa, Chia!

***

Pagi-pagi, usai sholat subuh, aku seperti biasa melakukan sedikit gerakan ringan selama 20 menit agar tidak berat bergerak seharian. Setelah mandi, bersih, aku turun ke bawah.

Langkahku tertahan di pertengahan tangga, saat mendengar suara obrolan Faddyl di bawah sana bersama Bang Veiro dan Papa.

Itu orang ... namanya aja anak pengusaha, aslinya pengangguran! Hilih! Beban keluarga, terus menyerempet jadi beban Mama-Papaku, karena setiap kali ke sini—apalagi pada waktu yang terlalu pagi—pastinya Mama akan harus menyiapkan porsi sarapan tambahan untuk Faddyl.

Berat langkah, aku kembali ke kamar. Menutupi kaus abu-abu dengan outer rajut hitam, serta mengenakan rok plisket karena tadi hanya mengenakan celana seperempat. Ketika aku berbalik hendak turun lagi, aku sekilas melirik tanggal mini di atas meja belajar.

Eh, ini hari Ahad, ya?

Bodo amat. Aku langsung turun ke bawah.

Demi memperlancar misi semalam, aku tersenyum hangat ketika menyapa Faddyl, Papa, dan Bang Veiro ketika akan melewati ruang tamu, dan tampak, pria itu membalas kaku disertai kerut bingung di keningnya.

Haha! Chia memang sehebat itu. Tidak perlu heran ....

Tanpa diminta, aku menghampiri Mama yang sedang menyajikan lauk ke meja makan. Aku segera mengambil bagian untuk menata piring, serta membawa gelas dan air.

"Tumben?" Mama menghentikan sejenak keinginannya untuk mengambil mangkuk sup hanya demi memperhatikanku dengan lekat. "Ah, baru juga jadi calonnya Faddyl, udah serajin ini. MasyaaAllah, kalau udah nikah sama Faddyl, mungkin udah minum air bekas cuci kaki Mama kali, ya?"

Aku menatap Mama dengan malas. Namun, segera aku mengubah ekspresi menjadi ceria, demi menghilangkan tujuan Faddyl menikahiku. Huhuhu, semangat pejuang anti-nikah muda!

Mama sedang membuka mulutnya hendak berbicara, ketika aku segera memotong.

"Aku panggil Papa, Bang Veiro, sama Mas ... Faddyl dulu, Ma," ucapku memberitahu, lalu bergerak untuk merealisasikan ucapan tadi.

Usai memanggil tiga pria tadi, aku dan Mama duduk di masing-masing kursi makan. Melihat Mama menyajikan makanan ke piring Papa, aku langsung tergerak sendiri untuk berdiri, dan mengambil paksa piring yang sudah dipegang Faddyl. Aku menatapnya dengan mata membulat, sehingga ia melepaskan pegangannya. Aku tersenyum, lalu mengambilkan satu sendok besar nasi, sesendok sup, dan sepotong ayam yang paling kecil. Kemudian meletakkan dengan lemah gemulai piring tadi di depan Faddyl.

"Chia ... kamu belum halal, Chia!" tegur Bang Veiro dengan wajah malas yang terlihat jelas. "Setidaknya, kalian ini ... ngerti lah. Veiro ini masih jomlo."

"Wle!" Eh, aku segera meralat sikap spontan menjulurkan lidah tadi. Aku harus bersikap baik nan Sholehah di depan Faddyl. Maka, aku segera tersenyum tipis, pada Faddyl lalu Bang Veiro yang tersindir. "Terima nasib aja, Bang. Walaupun pahit. Itu cocok buat Abang."

Aku duduk kembali di kursi, kemudian mengangguk sopan bak putri pada Faddyl yang menatapku nyaris tanpa berkedip.

"Faddyl masa kamu kasih makanan sedikit banget itu, Chia!" tegur Mama.

Aku tersenyum lagi, menutup ucapan memaki dalam hati.

Bodo amat! Orang dia beban kok! Makan kok di rumah orang bisanya. Mana pagi-pagi banget ngapelinnya! Bodo lah! Biar kapok, besok datangnya agak siangan.

"Nggak papa, Tante, ini cukup, kok." Faddyl mengambil alih tugasku untuk menjawab ucapan Mama.

Maka, sarapan penuh khidmat—pertama kalinya terlaksana di ruang makan ini.

***

Mama si pengejar diskonan tidak jadi menunda belanja mingguannya ke minimarket. Padahal sebelumnya, ia berkata bahwa tidak mau pergi ke mana-mana selama Faddyl di rumah. Hanya karena diskon 2%, ia langsung gas ke minimarket dengan menyeret Papa.

Bang Veiro yang jomlo, sibuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan hobi photography-nya di kamar. Maka, jadilah aku kena imbas karena harus berdua lagi dengan Faddyl di ruang tamu.

"Kamu kesambet sesuatu, Chia?" tanya Faddyl dengan nada kebingungan.

Aku tetap mempertahankan senyum, walau pipi sudah pegal karena sejak dua jam lalu selalu berusaha tampil ceria nan ramah.

"Nggak kok, Mas. Aku mendadak kepikiran ucapan kamu kemarin. Kayaknya, aku memang perlu membersihkan otak dan sikap." Aku menjawab dengan nada lemah gemulai, yang entah mengapa—jangankan Faddyl saja yang memasang wajah mual, aku pun geli sendiri pada suara tadi.

"Oh, bagus kalau gitu. Mama pasti jadi dukung aku nikah sama kamu kalau kamu sudah jinak gini."

Ye ... ye! Kok gini, sih! Harusnya kan ... dia udah nggak tertarik lagi sama aku, karena tidak ada lagi yang perlu dia perbaiki!

Aku langsung tidak terima dan berdiri. "Kok malah gitu! Kamu kan nggak harus perbaiki aku lagi, harusnya nggak usah nikahin aku lagi, lah! Ah, males!"

Bodo amat jika Faddyl adalah tamu terhormat. Aku melempar bantal sofa ke pangkuannya, lalu beranjak dari sana dengan mengentakkan kaki.

Hobi pria itu mungkin hanya bisa membuatku jengkel.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro