GhaiSyah - 05
"Biarin aja lah Faddyl, biar mereka semua dengar terus membatalkan rencana pernikahan kalian. Mama enggak yakin juga dia bisa jadi istri dan menantu yang baik."
Aku hanya tersenyum sinis mendengar Faddyl dan Mamanya terus berbisik, apalagi mereka membicarakan diriku.
"Ma Pleasee udah." Aku mendengar Faddyl terus berbisik memohon pada mamanya, agar menghentikan kejulitannya padanya. Padahal aku sendiri tidak perduli mau mereka bilang apa.
"Ehmm Chia ya nama kamu?" tanya Tante Lia sambil menatapku horor.
"Iya, Tan." Aku males meladeninnya, tetapi Mama yang berada di sebelahku malah mencubit tanganku.
"Kamu masih kuliah atau kerja?"
"Kuliah Tan."
"Jurusan apa? Semester berapa? Kuliah di mana?" Tante Lia terus bertanya seakan sedang menginterviewku saja, membuatku semakin kesal karena harus menjawab pertanyaan beliau.
"Akuntansi, semester 3, kuliah di Prasta Madya."
"Bagus juga," pujinya, tetapi aku sangat tidak mengharapkan pujian dari beliau.
Setelah menanyaiku, Tante Lia dan Om Hikam serta kedua orang tuaku malah membahas pernikahan kami, sungguh aku tidak suka dengan pembahasannya. Aku pamit pergi dari ruang tamu.
"Mau pergi ke mana kamu?" tanya Mama dengan tatapan tajamnya.
"Ke kamar Ma, Chia capek," jawabku jujur.
"Kamu ini ya, udah tahu lagi ada tamu malah mau ke kamar. Bagaimana sopan santun kamu, Mama rasa Mama dan Papa selama ini sudah berusaha mendidik kamu dengan baik." Mama mulai mengomel, aku sama sekali tidak memperdulikannya. Ku anggap semua omelan Mama hanya angin lewat saja.
"Tuh Mama semakin enggak respek deh sama dia, harusnya Papa enggak usah lanjutin perjodohan ini," bisik Tante Lia pada Om Hikam dengan pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya. Sepertinya kali ini aku setuju dengan Tante Lia, agar membatalkan perjodohan ini. Aku memang tidak ingin perjodohan ini berlanjut sampai harus menikah dengan pria itu, umurku juga masih terlalu muda untuk menikah.
Aku lihat Om Hikam tidak menjawab perkataan istrinya.
"Udahlah Ma, biarin aja Chia masuk. Kita kan bisa membahas pernikahan Chia dan Faddyl sekalipun tanpa ada Chianya, tinggal nanti kalau sudah fiks keputusannya kita baru kasih tau Chianya," bela Papa.
"Tapi Pa."
"Iya, Mbak Virna. Biarkan saja Chia ke kamarnya, saya sekeluarga tidak masalah kok." Di luar dugaan Om Hikam malah membelaku, padahal aku sama sekali tidak mengharapkannya.
"Yaudah, Faddyl kamu ikut Chia saja ke kamar. Biar Faddyl bisa lihat-lihat kamar kamu, Chi." Aku begitu terkejut dengan perintah Mama pada Faddyl, apaan-apaan Mamaku itu.
"Ma, enggak ya. Masa Faddyl ikut ke kamar Chia. Chia enggak mau ya, emang Mama enggak takut anak Mama yang paling cantik ini sampai di apa-apain sama Faddyl. Chia masih sayang ya sama diri Chia sendiri?" Aku memang menolak perintah Mama dengan tegas, tanpa perduli dilihat oleh keluarga Faddyl. Mama bahkan sekarang malah melotot ke arahku.
"Jaga ucapan kamu ya, Chia. Putra saya itu pria baik-baik, Faddyl tidak akan macam-macam sama kamu sebelum kalian sah sebagai suami istri." Tante Lia terlihat tidak terima dengan ucapanku, padahal wajar aku takut diapa-apain sama Faddyl.
"Saya minta maaf atas ucapan Chia ya Mbak Lia." Mama malah minta maaf sama Tante Lia, padahal tidak ada yang salah.
"Chia udah ajak saja Faddyl ke kamar, Mama juga yakin Faddyl enggak akan macam-macam sama kamu sebelum kalian menikah."
Huh, sepertinya perintah Mama terdengar tidak bisa di tolak kali ini. Aku bangkit dari tempat dudukku, diikuti Faddyl. Aku berjalan pergi dari ruang tamu dengan wajah sebalku, karena Faddyl ikut denganku ke kamar padahal niatku agar bisa menghindar darinya.
"Chia!" panggil Mama saat aku masih dijalan yang tidak terlalu jauh dari kursi yang ada di ruang tamu. Aku menengok lalu menjawab, "Iya, Ma. Ada apa?" jawabku sok lembut.
"Mulai sekarang kamu itu harus panggil Faddyl dengan embel-embel Mas, jangan cuma nama. Faddyl itu calon suami kamu, umurnya juga lebih tua dari kamu Chia." Mama memperingatkanku, aku mengangguk paham saja biar Mama tidak perlu memperpanjangnya lagi.
***
Kini aku dan Faddyl berada di taman samping rumahku, aku memang tidak jadi mengajaknya ke kamar. Jujur aku tidak percaya pada Faddyl, tidak akan berbuat macam-macam padaku. Lebih baik mencegah bukan dari pada memperbaiki. Iya, kalau masih bisa di perbaiki kalau tidak?
Kami berdua memang hanya diam sambil menatap bunga yang ada di depan kami.
"Kenapa sih kamu enggak ikutin mau mamamu?" tanyaku sengaja untuk memulai percakapan, aku juga bete kali kalau hanya diam-diaman padahal tidak sedang sendirian.
"Ikut mau Mamaku yang apa? Selama ini aku terus mengikuti semua kemauan Mamaku, lebih tepatnya kemauan kedua orang tuaku," jawabnya.
"Enggak usah pura-pura enggak tahu deh, aku tadi dengar kamu sama Mama kamu bisik-bisik tentang aku kan. Mama kamu juga ingin perjodohan ini batal, kenapa kamu tidak ingin menbatalkannya padahal aku juga tidak menginginkan perjodohan ini tetap berlanjut. Karena aku tidak mau menikah denganmu." Aku benar-benar mengatakan semua yang ingin aku katakan padanya, tidak perduli dengan responnya terhadap ucapanku.
"Sudah bicaranya?" Reflek aku malah mengangguk, padahal aku tidak mau mengangguk.
"Dengar pernikahan kita pasti akan tetap terjadi, aku tidak mau membatalkan perjodohan kita. Karena aku menginginkan kamu menjadi istriku," ujarnya dengan tersenyum miring.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro