Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ghaisyah - 02

Tas selempang cream kecil menjadi barang terakhir yang aku tarik dari almari untuk diisi dengan beberapa barang ringan seperti ponsel, dompet, dan sedikit skincare ringan. Setelah yakin semuanya lengkap, aku segera keluar dari kamar. Nyaris bersamaan ketika pintu aku tarik tertutup, Bang Veiro tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Ngagetin, Bang!" pekikku kesal, seraya mengusap dada. Padahal, Bang Veiro sama sekali tidak melakukan apa-apa, tetapi efeknya luar biasa. Mungkin juga karena ketakutan mengenai tujuan kepergianku malam ini, sehingga aku mudah dikejutkan oleh orang lain.

"Kamu mau ke mana?" Bang Veiro menjeda sejenak ucapannya karena sibuk mengecek jam hitam di pergelangan tangannya. "Ini udah mau jam delapan. Mau ke mana lagi kamu?" Ia mengendus tubuhku dengan ekspresi tidak nyaman, sehingga aku segera menyilangkan tangan di depan dada. "Mana wangi banget!"

Sementara Bang Veiro sibuk menganalisa, aku juga memperbaiki posisi berdiri agar tetap tenang. Namun, gelisah tidak bisa aku singkirkan sama sekali. Karena tujuanku sudah jelas salah, dan Dianne mungkin kesal menunggu sekarang.

"Aku mau keluar sama Dian—"

"PAPA ... CHIA PUNYA PACAR!"

Abang kampret! Aku langsung menggeplak kepalanya secara otomatis menggunakan tas. Lalu, aku menyesali perbuatan ini seketika setelah Bang Veiro mengasuh kesakitan.

Tidak. Aku tidak peduli sama sekali dengan kakak menyebalkan satu ini. Hanya saja ... tasku ... rusak. Talinya tiba-tiba putus, padahal ini pemakaian ketiga kali, dan harganya mencapai 7 digit. Kenapa bisa rusak dengan mudah?

"Abang ...." Aku mendesis kesal, menyayangkan tas yang aku pesan dari Dianne ini. "Kan ... kan! Tas Chia jadi rusak!" Aku tidak bisa mencegah rengekan keluar karena memang sangat menyayangkan tas ini langsung menjadi sampah begitu saja.

"Ye ... tas murahan gitu aja! Sini, Abang beliin di pasar."

"Ini tuh—" Aku masih mau membalas untuk menjelaskan bahwa ini branded, tetapi karena panggilan telepon, aku tidak bisa melanjutkan ucapan. Memilih mengecek ponsel, dan menenteng tas lagi ke dalam kamar. Menggantinya dengan yang lama, dan pastinya lebih kuat.

"Halo," sapaku pada Dianne yang terdengar berdecak kesal.

"Lo jadi ikutan nggak, sih? Gue capek nungguin! Atau gue tinggalin!"

Ancaman Dianne tidak bisa aku abaikan. Sehingga, kaki-kakiku dipercepat melangkah meninggalkan rumah. Semua panggilan Bang Veiro tidak aku indahkan. Fokus pada perjalanan. Toh, Papa dan Mama juga sedang keluar. Seharusnya aman. Aku hanya ingin riset mendalam mengenai ceritaku. Demi idolaku.

Pada mobil Ford Fiesta putih depan gerbang rumah aku menuju. Membuka pintu, dan langsung masuk di samping kemudi.

"Seriusan?" Dianne menatapku dari bawah hingga ujung kepala. "Lo pake ... gamis? Seriusan, Chia?"

Dianne membulatkan matanya karena syok.

"Aih, aku bisa dimarahin kalau pake baju terbuka."

Dianne menjalankan mobilnya, sembari kami melanjutkan obrolan.

"Kan bisa dibuka di mobil. Nanti kalau pulang, bisa ganti lagi."

"Nggak bisa. Ketahuan sama Allah nanti," ucapku disusul kekehan garing.

Dianne malah membalas dengan tatapan lebih terkejut, dengan sebelah bibir atasnya terangkat mencibir.

"Hieleh! Kayak yang lo tuju sekarang nggak dilihat Tuhan!"

"Ini kan aku cuman cari informasi. Aku nggak bakalan ikut kayak kamu."

"Heleh ...." Dianne semakin mencibir.

Perjalanan kami diisi dengan obrolan-obrolan ringan. Sampai tiba di depan sebuah kelab, Dianne memarkirkan mobil. Bersama dengan itu, sebar jantungku berpacu kuat.

Huft!

Aku hanya ingin cari informasi di sini, bukan untuk ikut gabung bersama mereka!

Sembari merapalkan mantra tersebut pada diri sendiri, aku melangkah terus mengikuti Dianne. Namun, rapalan penguat itu sepertinya tidak bisa bertahan lama karena selanjutnya, Dianne malah memperkenalkanku dengan beberapa sahabatnya. Pikiranku kurang fokus karena berbagai aroma aneh, dan sikap bar-bar penghuni sini.

Informasi apa yang mau digali kalau semuanya tidak sadar, Wei!

Astaga! Aku langsung menyesali saran Dianne. Saat ingin keluar, aku malah ditahan oleh Dianne.

"Minum dikit."

"Nggak, ih!" balasku cepat.

"Astaga, Chia. Katanya mau riset? Minimal, kamu tahu rasanya amer lah."

"Nggak!"

Dianne memutar bola matanya karena kesal. Ia menyandarkan tubuhnya di salah satu lengannya yang bertumpu pada meja bartender.

"Coba gue tanya. Rasanya wine tuh gimana?"

Aku merotasi bola mata berpikir. "Manis?" Seharusnya, hanya alasan itu yang membuat seseorang rela menanggalkan kesadarannya demi sebuah minuman keras, kan?

"Lebih dari itu, Chia. Coba icip dikit. Rasanya ... fantastis. Percaya sama gue."

"Nggak!" Aku tetap kekeuh pendirian sembari meremas tapi tas selempang.

"Satu teguk, Chia. Dikit ... aja. Atau, asalkan nyentuh lidah kamu deh!"

Hm ... aku sejujurnya penasaran juga. Tapi ... ini dilarang, kan?

Tapi, lagi. Well, aku hanya icip sedikit. Asal tahu rasanya, kan? Setelah ini, aku akan bertobat dan tidak akan menyentuh minuman keras ini lagi. Mudah, kan?

Aku mengangguk pada tawaran Dianne yang ia sambut dengan senyuman lebar. "Asalkan kena lidah, ya!" Aku mengonfirmasi.

Dianne mengedipkan mata, dan menyatukan ujung jempol dan jari telunjuknya membentuk huruf O. Ia lalu menyerahkan sebuah gelas tabung kecil padaku yang sudah diisi cairan merah di dalamnya.

Ehhem.

Hanya icip saja! Tidak boleh lebih!

Aku terus meyakinkan diri sendiri. Pertama kali, menghirup aromanya. Tidak meyakinkan enak. Aku mulai mendekatkan bibir di pinggiran gelas. Perlahan menyeruput sedikit. Namun, tiba-tiba dorongan dari depan membuatku tanpa sengaja meneguk sebagian besar isi gelas, dan sebagiannya lagi tumpah.

Apa ini?

"Lagi?" tawar Dianne, padahal ekspresiku masih belum berubah dari masam.

Namun, entah darimana, kepalaku malah mengangguk seraya menyodorkan gelas.

***

Semuanya berhenti ketika sesuatu mendesak naik dari perutku. Gelas yang entah berapa kali isi-habiskan ini, aku letakkan ke atas meja. Kemudian menutup mulut, dan kelimpungan mencari tempat membuang isi perut. Namun, tidak ada yang bisa aku temukan selain manusia-manusia asing. Satu-satunya yang bisa menolong adalah pintu keluar. Sehingga, aku segera bergerak ke sana.

Ini sangat tidak mudah! Aku sering oleng dan menabrak beberapa orang asing di sini. Namun, jangankan meminta maaf, melihat mereka pun aku sudah enggan. Hanya fokus mencapai pintu keluar, dan berdiri di pinggir jalan. Lalu, membebaskan semua desakan makanan yang ingin keluar lagi dari perut.

Kedua kakiku lemas. Maka, opsi terbaik adalah berjongkok dengan mata setengah terpejam. Sesekali melihat sekitar, dan hanya ada pandangan buram yang aku temui. Kelopak mataku semakin sulit untuk aku tahan tetap terbuka.

Sampai, cairan dingin menimpa wajahku. Aku langsung mengumpat kasar, seperti biasa ketika berinteraksi dengan Bang Veiro.

"Maaf, maaf, Mbak!" seru seseorang yang tidak bisa aku ketahui arah datangnya. "Mbak nggak papa?"

Aku masih linglung. di mana orangnya?

"Mbak mabuk?"

Suara itu terdengar lagi. Aku harus memicingkan mata untuk mencari si pemilik suara, tetapi lagi. Hanya buram yang aku dapati.

"Astaga. Ini bahaya kalau di pinggir jalan sendirian. Mana deket kelab, lagi."

Gerutuan ringan pria itu aku tanggapi dengan menggaruk tengkuk. Tidak semuanya bisa aku cerna dalam pikiran.

Aku siapa? Kamu siapa? Kita di mana?

Aku tidak tahu apa pun!

"S—sini, Mbak."

Pundakku disentuh oleh sesuatu yang asing, dan karena ini pertama kalinya. Aku secara refleks menolak.

"J—jangan apa-apakan saya ... Tidak ... Saya tahu, tubuh saya ini seksi, jangan apa-apakan saya ... saya masih di bawah umur ...." Aku terus meracau, dan menggeliat asal agar terhindar dari pria asing ini.

Demi mengamankan diri sesuai pikiran dangkalku ini bisa, aku segera berdiri. Namun, oleng. Dan malah ambruk pada benda keras yang beraroma Citrus yang menyegarkan. Aku memejamkan mata karena tenang. Namun, lagi. Desakan dalam perut mencegah keinginan barusan. Dan, aku terlalu telat untuk mencegah semuanya terjadi.

Huek!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro