Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GhaiSyah - 01

"Tidak!"

Aku mengatur deru napas, lalu menyeka keringat yang membuat dahi lembap.

Apa itu tadi? Aku bermimpi aneh.

Menikah dengan lelaki gemuk, jelek, dekil. Punya anak sebelas duabelas dengan bapaknya. Lalu, aku akan terkurung dalam rumah karena menjadi ibu rumah tangga. Tidak ada waktu shopping, hang out, dan seru-seruan bersama teman.

Tidak! Tidak!

Kepala ikut menggeleng kala kata itu terucap dalam hati. Membayangkannya saja sudah membuat beberapa bagian dari kepala terasa berdenyut.

Itu mimpi paling buruk dalam hidup.

Segera aku menyibak selimut. Kedua kaki dipercepat agar bisa mencapai lantai bawah.

"Mama! Papa!" Aku berteriak kencang.

Tidak ada jawaban. Ke mana mereka?

Kedua kaki terhenti di satu titik kala pintu utama bergerak terbuka. Tampaklah seorang lelaki yang bertubuh tinggi, menenteng tas punggung. Kemeja kotak-kotaknya sengaja tidak dikancing untuk memperlihatkan kaus oblong putih yang membalut tubuhnya. Segera aku berlari menghampirinya di ambang pintu.

"Ah ... Bang Veiro! Chia seneng banget Abang pulang ke Jakarta." Aku memeluk erat tubuh itu, tidak peduli jika bau keringat tercium. Agak mengganggu memang, tapi rindu ini perlu dituntaskan.

"Emang kenapa, sih, Chia? Kok kayak nggak seneng banget. Padahal kamu kan mau nikah, harusnya seneng dong."

Aku membuang napas secara kasar.

"Aku enggak seneng, Bang. Aku nggak cinta sama cowok itu. Mama sama Papa jahat banget, jodohin aku sama cowok yang sama sekali enggak aku kenal. Aku kan juga masih mau kuliah!" Aku menggerutu sebal sembari melepas kedua tangan yang melingkar di pinggang Bang Veiro.

"Abang nggak tau itu semua sama sekali, Dek."

Secara paksa, aku menarik lengan Bang Veiro agar masuk ke dalam rumah.

"Papa! Mama!" Aku berteriak lagi. Mereka ini ke mana, sih? Dari tadi aku panggil kenapa belum muncul juga?

"Loh, kamu sudah sampai rumah Veiro Sayang?" Mama muncul dari lantai atas, diikuti papa yang mengekor di belakangnya.

Aku membuang muka.

"Iya, Ma. Veiro baru aja sampai. Veiro boleh tanya sesuatu?"

"Tanya aja, Nak." Papa menjawab.

Huh, kalau anak sulungnya, pasti lelaki tua itu langsung bersikap manis. Dasar!

"Apa benar Chia itu menikah karena perjodohan? Bukan karena cinta?"

"Iya, kamu benar. Perusahaan Papa hampir aja bangkrut, keluarga Fadhil mau bantu kasih suntikan dana. Asal anak Papa sama Mama, mau dinikahkan sama Fadhil anak mereka."

What the ...?

Apa-apaan ini?

Kemarin, Papa tidak menjelaskan secara detail mengenai tujuannya. Namun, saat anak lelakinya yang bertanya, ia secara gamblang menjelaskan.

Haha! Sepertinya benar, anaknya hanya Bang Veiro.

"Papa sangat keterlaluan, kenapa Papa tega jual Chia demi perusahaan Papa? Papa nggak sayang sama anak sendiri?"

Kedua mata membulat, bahagia. Ah, ternyata Abang yang satu ini memang terbaik. Dia membelaku saat Papa sendiri tidak peduli dengan anaknya sendiri.

Namun, bahagia itu tidak berlangsung lama. Selang beberapa detik setelah kalimat pembelaan itu keluar, suara keras terdengar. Aku membekap mulut sendiri dengan kedua tangan.

Papa menampar Bang Veiro!

"Papa nggak pernah berniat menjual anak Papa, Papa terpaksa melakukan semua itu. Kalau Papa bangkrut bagaimana dengan hidup kalian? Chia pasti tidak akan bisa melanjutkan kuliah. Apa kamu mau seperti itu? Papa juga nggak asal memberikanmu lelaki untuk menjadi suamimu, Papa memlilihkan pria yang baik. Papa sangat tahu, Fadhil itu pria baik yang sangat cocok mendampingi kamu. Kamu tidak perlu khawatir, Fadhil bukan pria tua bangka. Fadhil hanya berusia dua tahun lebih tua dari kamu. Fadhil sudah menjadi pria sukses diusianya yang masih muda," ujar Papa berusaha menyakinkan kami.

Bagaimana bisa tahu kalau lelaki bernama Fadhil itu cocok denganku? Bisa saja usianya memang dua tahun lebih tua dariku, tetapi tubuhnya pendek, gemuk, dekil, culun, pakai kacamata mines tujuh, dan memakai pakaian aneh.

Oh astaga. Membayangkannya saja membuatku bergidik.

"Chia nggak peduli, Chia belum siap menikah. Kenapa nggak Papa jodohin sama Bang Veiro aja? Dia yang harusnya menikah, karena umurnya sudah pas. Bukan aku, aku masih mau kuliah." Aku terus mengelak, memberikan sejuta alasan untuk menolak perjodohan ini.

"Anak Papa Fadhil semua lelaki, tinggal Fadhil saja yang belum menikah. Semua sudah mempunyai keluarga, andai dia anaknya perempuan pasti Papa akan menjodohkannya dengan Veiro bukan kamu."

Tidak masuk akal! Bicara mengenai usaha Papa yang tidak ingin perusahaannya bangkrut, pasti banyak kenalan Papa yang kaya, punya anak perempuan. Tidak mungkin kalau hanya Fadhil pilihan terakhir.

Atau, Papa punya kenalan seorang janda kaya raya, aku ikhlas lahir batin punya kakak ipar seorang janda.

"Tapi, Pa ...." Ucapanku terhenti kala melihat gelagat Bang Veiro yang seolah ingin pergi.

Astaga! Dia itu jenis lelaki apa? Kenapa lembek sekali? Baru ditampar sekali, lalu pergi begitu saja?

"Bang! Bang Veiro belain aku dong! Kalau aku beneran nikah, Abang bakal aku pecat sebagai Abang! Bang!"

Sial! Dia bahkan tidak menggubris panggilanku.

"Abang!"

Aku menghentakkan sandal rumahan di lantai putih hingga menghasilkan suara cukup keras.

"Minum dulu tehnya."

Aku menoleh ke arah Mama yang mengatur beberapa cangkir teh di atas meja.

Oke. Perdebatan ditunda dulu. Aku butuh asupan tenaga agar otak semakin encer mencari alasan-alasan menolak perjodohan.

<><>¤<><>

Saat dosen berhalangan masuk adalah waktu yang tepat untuk riset cerita. Jika sebelumnya harapan menulis hanya sekadar dekat dengan idola, kali ini aku ingin agar tulisan bisa dijadikan novel. Syukur-syukur bisa nambah uang jajan, atau bisa bayar uang kuliah. Dengan begitu, aku bisa bebas dari Papa.

Namun, dari sekian banyak cerita bad girl yang telah kubaca, rasanya masih kurang. Aku ingin,cerita nanti bukan sekadar tempelan semata, tetapi feel-nya benar-benar dapat. Masalahnya sekarang, bagaimana mewujudkan itu?

Sebelum ini, aku belum pernah berteman dengan manusia yang masuk ke dalam kategori bad girl. Dari SD sampai sekarang, teman hanya satu: Dianne.

Bagaimana cara risetnya? Masa iya aku harus jadi bad girl? Bisa-bisa aku kapok duluan karena hukuman dari Papa sebelum berhasil mendapat apa yang diinginkan.

"Mau, nggak, Chi?"

"What?" Aku membalas dengan nada cuek.

"Ice cream vanilla."

"Sini!" Aku mengulurkan tangan tanpa mengalihkan tatapan dari layar iPad.

"Cepet banget kalau Ice cream."

"Bukannya apa. Kebetulan aku lagi pusing. Ice cream bisa bikin otak encer." Aku menjawab asal.

"Kenapa emangnya? Tugas dari dosen?"

"Nope. Kalau tugas dari dosen mah, tinggal nyuruh si Elisa yang ngerjain. Ini tugas dari gebetan aku!"

Aku memutar kepala saat suara batuk terdengar dari samping. Aku bergidik saat makanan muncrat dari mulut Dianne.

"Ish! Jorok banget sih kamu!" Aku menjauhkan tubuh.

Dianne meminum air mineral dalam botol. Lalu mengatur napas. "Sejak kapan seorang Veichiasyifa Ghaisahningsih Alano punya gebetan?" Dianne setengah memekik. "Lo jahat! Kenapa enggak cerita ke gue, njir!"

"Apa sih?" Aku berdecak pelan. Kedua mata kembali tertuju pada sederet kalimat yang terpampang di layar. Aku menunjukkan isi chat-ku dengan Agrafa, sang idola.

"Oh, si cewek ini toh." Dianne mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bukan cewek! Dia itu cowok!" Aku menggerutu kesal.

"Lah, namanya aja mirip cewek. Jangan-jangan ini cowok jadi-jadian!"

"Ish!" Aku mengumpat. "Jangan pernah bicara buruk sama idola aku!"

"Iya. Iya." Dianne menggigit ujung rotinya. "Mau gue bantu, nggak?"

"Bantu apaan?" Aku mengetikkan sederet kalimat di atas layar.

"Mau riset tentang bad girl. Gue tau tempat yang cocok."

Kepalaku terangkat. Sedikit lamban, aku menoleh pada Dianne. "Beneran?"

"Iya."

Aku mendesah lega. Akhirnya masalah ini bisa segera teratasi. "Di mana?"

"Kelab malam."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro