
Bagian 49
Selamat Membaca!
◀ ▶
Setelah masa ujian akhir berakhir, murid SMA Pertiwi diliburkan selama beberapa hari guna para anggota OSIS bisa fokus mempersiapkan perlombaan untuk classmeeting. Perlombaan yang diadakan berupa olahraga fisik, seperti basket, futsal, badminton, hingga voli, juga perlombaan kreasi lainnya seperti menghias tumpeng, menghias mading kelas yang wajib diikuti oleh masing-masing kelas.
Tujuan dilaksanakan classmeeting tak lain tak bukan ialah agar para siswa bisa menyegarkan otak mereka dari masa-masa ujian yang menguras banyak tenaga. Tujuan lainnya adalah untuk mempererat kekeluargaan antar teman satu kelas, seangkatan, atau bahkan antara ketiga angkatan aktif sekolah tersebut.
Selain perlombaan, masing-masing klub membuka stand yang digunakan untuk berjualan. Dengan harapan dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan di dalam diri mereka. Tak terkecuali klub tari yang memilih menjual jagung susu keju alias jasuke. Pilihan tersebut adalah opsi dari Dean, mengingat sudah menjamurnya klub yang menjual minuman dingin.
Karena jumlah anggota yang lumayan banyak dan tidak memungkinkan untuk berada di stand, maka digunakan sistem selang-seling per hari.
"Ayo dibeli-dibeli, jasuke, jagung susu keju. Buat yang suka manis-manis, silakan dibeli. Kalau kurang manis, bisa sambil lihatin muka Eike yang manis ini. Dijamin semakin manis aseloley," seru Dean sembari mempromosikan jualan mereka.
Hal tersebut mengundang gelak tawa dari para anggota klub.
"Kayaknya, Dean cocok jadi brand ambassador stand kita, deh," ujar Flora yang tengah melayani seorang pembeli. "Makasih, ya, Kak. Jangan lupa ajak teman-temannya yang lain untuk mampir dan beli jasuke di stand kita."
"Banyak bonusnya, bisa ketemu sama Eike!" sahut Dean riang.
Melihat itu, Geya tersenyum lebar. Tingkah Dean selalu berhasil menghidupkan suasana. Awalnya, saat ditunjuk sebagai tukang promosi, Dean menolak mentah-mentah karena takut akan diejek oleh teman-teman kelasnya. Akan tetapi, setelah melewati beberapa proses pembujukan, akhirnya Dean menerima. Dan, sekarang, Dean berhasil menunjukkan keberaniannya.
"Geya."
Geya yang tengah melihat promosi dari Dean, menolehkan kepalanya ke sumber suara.
"Kenapa?"
Ditya tersenyum, kemudian menggeleng kecil. "Cuma mau bilang, cara kalian menarik pelanggan benar-benar menarik."
Geya tertawa kecil. "Jelas, klub tari gitu, loh," ujarnya dengan penuh percaya diri.
"Eh, ada Kak Ditya. Kak Ditya enggak mau beli jasuke kita? Dijamin enak, Kak. Rasa manisnya pas, enggak kemanisan," ucap Flora saat menyadari keberadaan Ditya di stand mereka.
"Betul, tuh, Kak Ditya. Kalau manisnya kurang, bisa sambil lihat muka eike, kok. Atau, kalau mau lihat muka Geya juga enggak pa-pa. Eike ikhlas," sambung Dean yang selalu muncul dan menimbrung di setiap pembicaraan. "Eh, Geya, ayo suruh Kak Ditya beli. Jangan diam-diam aja. Nanti Eike potong gaji Geya!"
Geya mengulum senyumnya. Meskipun Dean masih sedikit menjaga jarak dengannya, namun setidaknya lelaki itu masih ingin berbicara dengan Geya. Geya tentu tidak lupa dengan apa yang telah dijanjikan kepada Dean untuk mendapatkan permintaan maaf yang seutuhnya.
Geya melirik ke arah Ditya, kemudian menyenggol lengan Ditya perlahan. "Sebagai sekretaris bidang minat dan bakat, beli, dong, Pak," kata Geya.
"Ini sistemnya memang maksa gini, ya?" seloroh Ditya.
"Ya, sebenarnya Eike enggak tega mau maksa. Tapi, kalau Kak Ditya yang baik ini menganggapnya begitu, Eike enggak masalah."
Mendengar itu, Ditya terkekeh. "Ya udah, jasukenya satu. Kejunya enggak usah banyak, ya."
"Yeay, akhirnya laku lagi!" seru Dean.
Keseruan berjualan di stand sembari menikmati perlombaan yang ada berakhir di hari kemarin dan hari ini adalah hari terakhir di semester genap sekaligus pengambilan rapor. Jika pada masa classmeeting kemarin murid-murid diizinkan menggunakan pakaian bebas yang tidak terikat dengan seragam sekolah, maka hari ini semua murid diwajibkan untuk mengenakan seragam putih abu lengkap dengan dasi dan ikat pinggang.
Setelah mendapatkan aba-aba yang diumumkan dari lapangan menggunakan pengeras suara, semua murid berkumpul, berbaris sesuai dengan kelas masing-masing.
"Aku tebak, kamu pasti maju ke depan lagi nanti untuk ambil penghargaan," bisik Flora yang berdiri di belakang Geya.
Geya menoleh ke belakang, mendapati Flora yang kini tersenyum seraya mengedipkan mata ke arahnya.
"Tes ... tes. Selamat pagi murid-murid semuanya."
Suara yang kembali terdengar menggema membuat Geya fokus ke depan.
"Tidak terasa kita sudah berada di penghujung semester genap ini. Bagaimana perasaannya?"
Ratusan jawaban yang berbeda tersebut mengudara. Segala perasaan senang, lega, bercampur deg-degan bercampur aduk di dalam hati mereka. Geya salah satunya.
Meskipun gadis itu tidak gila akan peringkat, namun untuk semester kali ini, Geya ingin membawa pulang penghargaan untuk ditujukan kepada Hartawan dan Calista.
Jika pada semester-semester lalu, semenjak Geya mulai rajin mendapatkan penghargaan sebagai murid terbaik di SMP-nya, Geya tidak pernah berniat menunjukkan hal tersebut kepada Hartawan. Maka, untuk semester ini, dia ingin membuat pria tersebut bangga kepadanya. Setidaknya, tidak meninggalkan penyesalan karena telah menerima Geya kembali di rumahnya.
"Tentu, kalian sudah pada tahu, agenda yang akan dilaksanakan pada hari ini. Sebelum itu, ada sedikit kata pembuka yang ingin disampaikan oleh Kepala Sekolah kita tercinta. Kepada Bapak Handoko, saya persilakan."
Setelah kata pembuka yang disampaikan oleh Kepala Sekolah SMA Pertiwi, berikutnya masuk kepada pengumuman juara masing-masing kelas. Seperti tebakan Flora, nama Geya dikumandangkan untuk maju ke depan dengan peringkat satu kelas.
"Sini-sini, biar aku pegangin sertifikat dan pialanya, nanti kamu pasti maju lagi," ucap Flora seraya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mengambil alih kedua benda yang dipegang oleh Geya.
Dan, lagi, apa yang diucapkan Flora benar. Sebab, untuk kedua kalinya, Geya dipanggil untuk maju ke depan. Kali ini, dengan prestasi yang berbeda.
"Selamat kepada Geya Gistara sebagai juara satu paralel angkatan kelas sepuluh sekaligus murid terbaik SMA Pertiwi tahun ini. Kepada Bapak Handoko, saya persilakan untuk memberikan penghargaan bagi Geya."
Pak Handoko melangkah menuju Geya, lalu mengambil sebuah medali di atas nampan beralas kain yang dipegang salah satu anggota OSIS, dan mengalungkannya di leher Geya. Setelah itu, sebuah piala dan buket bunga turut diserahkan oleh Pak Handoko.
"Selamat, ya, Geya. Pertahankan prestasimu," ujar Pak Handoko berpesan.
Geya menundukkan kepala hormat, kemudian mengucapkan terima kasih kepada Pak Handoko.
"Bapak Handoko dimohon untuk tetap di tempat, karena kita akan mengambil foto bersama dengan Geya."
Pandangan Geya kemudian lurus ke depan. Melihat ke arah salah satu anak humas yang telah siap dengan kameranya untuk mengabadikan momen.
"Satu ... dua ... tiga."
Dalam hitungan ketiga, sebuah foto diabadikan, dengan Geya yang tersenyum penuh ke kamera.
"Baik, untuk Pak Handoko dan Geya dipersilakan kembali ke tempat. Demikian pengumuman juara kelas sekaligus murid terbaik dari SMA Pertiwi. Berikutnya, kita lanjutkan dengan pengumuman juara classmeeting yang telah berlangsung selama beberapa hari ...."
Setelah pengumuman juara classmeeting selesai, barisan dibubarkan. Murid-murid sudah diperbolehkan untuk pulang, meski ada beberapa yang masih setia bertengger di lapangan sekolah. Salah satunya adalah kumpulan beberapa anak tari yang tengah memberikan ucapan selamat kepada Geya.
"Lagi-lagi, kamu berhasil bikin kami bangga, Ge. Aku benar-benar salut sama kamu. Selamat, ya, Geya," ujar Flora seraya memeluk Geya yang sedikit kelimpungan dengan beberapa barang yang dipegangnya.
"Ge, selamat, ya. Kamu hebat!" ucap Ayudia memberikan selamat.
"Ya iyalah, mantan ketua kita gitu, loh," sahut Shaga.
Semua yang ada di sana mengucapkan selamat kepada Geya, terkecuali Dean yang masih bergeming di tempat.
"Dean, enggak mau ucapin selamat ke Geya?" tanya Shaga merangkul Dean.
Dean melirik ke arah Shaga, kemudian menatap Geya setelahnya. Lelaki itu menghela napas. Melepaskan rangkulan Shaga di atas bahunya, lalu berjalan menghampiri Geya. Tangannya terulur, seiring dengan suaranya yang terdengar. "Selamat, ya, Geya. Eike ... eike bangga sama Geya," ujar Dean dengan suara yang sedikit bergetar. "Tapi-tapi, eike masih ingat sama janji Geya!"
Geya tersenyum mendengarnya. "Makasih, Dean. Aku juga masih ingat dengan janji aku, kok. Dan, aku pasti bakal tepati itu," kata Geya dengan yakin.
"Benar, Geya?"
"Iya, Dean."
"Kalau gitu, eike butuh bukti!"
"Aku bakal buktiin." Geya mengulurkan jari kelingkingnya, yang kemudian dibalas oleh Dean.
Setelah berbincang cukup lama bersama anak-anak tari, Geya kemudian pamit untuk pulang. Gadis itu segera menghampiri Ditya yang baru saja mengirimkan pesan kepadanya.
"Sepertinya, membawa mobil ke sekolah hari ini adalah pilihan yang tepat. Kalau saya pakai motor, pasti kamu akan kelimpungan bawa semua barang kamu, Geya," ujar Ditya seraya melirik dua buah piala serta buket bunga yang berada di pelukan Geya. Beruntungnya, sertifikat yang gadis itu terima bisa dimasukkan ke dalam tas, juga medali yang menggantung di leher.
"Kayak lo enggak banyak barang bawaan aja," cibir Geya, ketika mengingat Ditya yang ikut memborong penghargaan hari ini. Juara 1 kelas sekaligus paralel di angkatannya. Jangan lupakan, dengan penghargaan yang diraih sebagai perwakilan kelas mengikuti lomba basket dan voli yang keduanya juga mendapatkan juara.
Ditya hanya tertawa kecil, kemudian membantu Geya untuk meletakkan barangnya di jok bagian belakang mobil. Keduanya lantas masuk ke dalam mobil. Bergerak meninggalkan lapangan sekolah yang akan mereka rindukan untuk satu bulan ke depan.
Sesampainya di rumah, kedua insan tersebut mendapatkan sambutan penuh kebanggaan dari Hartawan dan Calista.
"Papa kok pulangnya awal?" tanya Geya mengernyit. Padahal, jam dinding baru menunjukkan pukul 12 kurang, tapi Hartawan sudah berada di rumah sekarang.
"Iya, hari ini Papa pulang awal. Khusus untuk menyambut anak-anak Papa yang penuh prestasi ini," kata Hartawan dengan senyum yang melekat di wajahnya.
"Coba, sini Papa lihat pialanya. Jangan-jangan kalian juara lomba makan kerupuk," ledek Hartawan yang langsung mendapat pelototan dari Geya.
"Enak aja. Sembarangan kalau ngomong! Geya enggak pernah ikut lomba makan kerupuk, ya," ujar Geya setelah menyerahkan piala yang dibawanya kepada Hartawan. Begitu pula dengan Ditya.
Hartawan mengeja setiap tulisan yang tertera di bagian depan piala, lantas tersenyum bangga.
"Papa enggak tahu mau bilang apa, tapi Papa bangga sama kalian. Papa baru sadar, ternyata Papa punya anak-anak yang pintar dan penuh bakat," ujar Hartawan.
"Enak aja anak kamu. Anak aku juga kali, Mas," sambung Calista lalu meraih satu piala dari tangan Hartawan.
Melihat interaksi kedua suami istri tersebut, baik Geya maupun Ditya tersenyum kecil seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Karena kalian udah buat Papa dan Mama bangga, Papa punya hadiah untuk kalian," ujar Hartawan.
"Hadiah apa, Pa?" tanya Geya tak sabaran.
"Hadiahnya ... lusa nanti Papa akan cuti dan kita liburan ke vila di luar kota."
Kedua bola mata Geya berbinar. "Serius, Pa? Kita liburan ke vila?"
Sebuah anggukan kepala dari Hartawan membuat Geya gembira bukan main. Gadis itu melirik kepada Ditya, lalu memeluknya tanpa aba-aba.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Sebab, Geya seketika melepaskan pelukan itu ketika sadar. "Eh, maaf, refleks," ujar gadis itu yang memancing tawa dari ketiganya. Hartawan, Calista, juga Ditya.
◀ ▶
1 Februari 2023
1.677 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro