Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 42

Selamat Membaca!

◀ ▶

Ditya baru saja selesai mandi saat suara ketukan pintu kosan terdengar. Dengan sebelah tangan yang memegang handuk guna mengeringkan rambut, lelaki itu berjalan menuju ruang tamu. Mendapati Geya yang saat ingin tengah berdiri di dekat jendela dan mengintip keluar lewat celah tirai yang gadis itu buka.

“Geya, kamu ngapain di situ?” tanya Ditya yang sepertinya sedikit mengejutkan Geya. Terbukti dari gestur gadis itu yang tersontak keci karenanya.

Geya meletakkan jari telunjuk di bibir, memberikan kode agar Ditya tidak mengeluarkan suaranya dengan keras. Setelah itu, Geya berjalan menghampiri Ditya.

“Kenapa bokap sama nyokap lo bisa ada di depan kosan? Mereka tahu dari mana kosan ini?” tanya Geya dengan sedikit berbisik.

Ditya menghentikan pergerakan tangannya yang mengusap rambut dengan handuk, kemudian melihat Geya dengan lekat. “Saya yang kasi tahu alamat kosan ke mereka, Geya.”

Mendengar jawaban dari Ditya, Geya membelalakkan mata. Sebelum Geya menyemprotkan kemarahannya, Ditya terlebih dahulu bersuara.

“Kamu tenang saja, mereka datang ke sini pasti hanya untuk melihat kondisi saya. Saya jamin, mereka enggak akan mengusik kamu, Geya,” jelas Ditya.

Sebenarnya, pada awalnya, lelaki itu juga sedikit ragu untuk memberitahukan perihal alamat kos-kosan Geya—tempatnya tinggal sekarang—kepada Calista. Akan tetapi, Ditya terpaksa memberitahu hal tersebut daripada Calista semakin khawatir.

Ditya meletakkan mangkuk yang sudah kosong ke atas meja di sebelah ranjang Calista, kemudian mengambil satu strip obat.

“Ma, sekarang Mama makan obat dulu, ya, biar cepat sembuh,” ujar Ditya lalu menyerahkan satu butir obat kepada Calista.

Wanita itu segera mengambil obat dari tangan Ditya, juga segelas air, lalu memasukkan obat tersebut ke dalam mulut. Dibantu dengan air, dalam sekali tegukan, obat tersebut telah mengalir masuk melalui kerongkongan wanita itu.

Ditya menerima gelas dari Calista, kemudian membantu Calista untuk membetulkan posisinya menjadi setengah berbaring, bersandar menggunakan bantal dan guling yang ditumpuk satu.

“Sekarang, Mama istirahat, ya,” ujar Ditya kemudian bangkit dari kursi yang lelaki itu gunakan tadi.

“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Calista yang membuat pergerakan Ditya terhenti.

“Ditya mau taruh ini ke belakang, Ma. Sekalian Ditya mau pamit pulang,” ungkap Ditya.

Calista yang mendengar pernyataan Ditya, terkejut. “Pulang? Ini bukannya rumah kamu, Ditya?”

“Maksud Ditya, ke kosannya Geya, Ma.”

Raut wajah Calista kembali berubah menjadi sendu saat putranya akan kembali meninggalkan dirinya. “Kenapa kamu enggak mau di sini? Kamu masih marah sama Mama, Sayang?” tanya Calista lirih.

Ditya dengan cepat menggeleng. “Enggak, ma. Ditya udah enggak marah sama Mama. Kalau Ditya  masih marah sama Mama, mungkin Ditya enggak bakal mau ke sini nemuin Mama.”

“Lalu, kenapa kamu masih mau pergi?”

Ditya menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Ditya masih butuh waktu untuk berdamai dengan semua ini, Ma. Mama tahu, kan? Hal ini enggak mudah untuk Ditya,” ujar Ditya secara perlahan, takut bila ada perkataannya yang menyinggung wanita yang sedang sakit itu. “Tapi, Ditya janji. Setelah Ditua udah baikan, Ditya bakal pulang ke sini. Sekalian, Ditya nemenin Geya di kosan. Ditya takut Geya ngerasa kesepian. Bukannya dari dulu, Mama selalu pesan ke Ditya untuk jagain Geya?”

Cukup lama Calista merenung, hingga wanita itu akhirnya memperbolehkan Ditya untuk pergi dan kembali beristirahat di kosan Geya.

“Tapi, Mama boleh minta alamat kosan Geya, kan? Nanti, kalau Papa kamu pulang kerjanya awal, Papa dan Mama akan pergi ngunjungin kalian,” pinta Calista.

Ditya berpikir untuk beberapa saat, mempertimbangkan permintaan itu, sebelum akhirnya Ditya menganggukkan kepala. “Iya, boleh, Ma. Alamat kosan Geya di ….”

•••

Geya menghela napasnya pasrah mendengar penjelasan dari Ditya. Gadis itu hendak marah, karena tidak memberitahukan masalah ini kepada dirinya. Namun, apa boleh buat? Kedua orangtua Ditya sudah berada di depan.

Geya menarik kakinya, berjalan dengan sedikit malas-malasan dan duduk di kursi. Sementara itu, Ditya bergegas membuka pintu.

“Ditya,” seru Calista yang langsung memeluk putranya. Ditya membalas pelukan itu sejenak, sebelum melepas dan mempersilakan keduanya untuk masuk ke dalam.

“Halo, Tante, Om …,” sapa Geya dengan memasang senyum ramah. “Maaf kos-kosannya sedikit sempit.”

“Enggak pa-pa, Geya. Yang terpenting, nyaman untuk ditinggali,” ujar Calista.

Geya menganggukkan kepala. “Om sama Tante mau minum apa? Biar Geya buatin,” tawar Geya yang kemudian ditolak secara halus oleh Calista.

“Enggak usah repot-repot, Geya. Kami ke sini cuma sebentar aja, kok,” ungkap Calista.

“Enggak pa-pa, Tan. Kalau gitu, aku permisi ke belakang dan buatin minum bentar, ya.”

Setelahnya, Geya bergegas ke dapur. Sebenarnya, dalam konteks ini Geya memang sengaja pamit ke dapur. Sebab, selain untuk membuatkan minum, Geya juga berniat memberikan sedikit ruang dan waktu untuk Ditya berbicara bersama Hartawan dan Calista.

Di sela-sela tangannya yang bergerak mengaduk teh, Geya dapat mendengar apa yang tengah dibicarakan oleh Ditya. Tidak bermaksud menguping, hanya saja dinding kos-kosan yang tipis seolah mampu menghantarkan suara dari ruang tamu.

“Gimana tidur kamu, Sayang? Nyenyak?”  Suara Calista terdengar, bergiliran dengan Hartawan.

“Kamu tidur di mana? Enggak sekamar dengan Geya, kan?”

“Enggak, Pa. Ditya tidur di sini, di kursi. Nyaman-nyaman aja, kebetulan di sini enggak banyak nyamuk.”

“Jadi, gimana, Sayang? Kapan kamu mau pulang ke rumah? Kamu udah lama tinggal di sini, Ditya.”

Geya meletakkan sendok di atas meja, setelah mengaduk gula hingga larut di dalam cangkir berisikan teh. Dengan menggunakan nampan, Geya lantas menyajikan teh tersebut ke hadapan Hartawan dan Calista.

“Ini, Om, Tante, tehnya. Silakan diminum.”

“Makasih, Geya,” ujar Calista seraya menerima cangkir dari Geya.

“Sama-sama, Tan.”

Setelahnya, Geya ikut duduk di sebelah Ditya.

“Ditya masih butuh waktu, Ma, Pa,” ungkap Ditya yang membuat Hartawan mendesah.

“Mau sampai kapan kamu terus begini, Ditya? Kamu enggak kasihan sama Mama kamu? Setiap hari, dia cemasin kamu, tanya kapan kamu akan pulang,” ujar pria itu.

“Ditya tahu, Pa. Sejujurnya, Ditya juga enggak suka begini, tapi Ditya enggak punya pilihan lain. Lagi pula, di sini Ditya juga bisa sekalian jagain Geya, kan?”

“Geya bisa tinggal di rumah kita juga, Ditya.”

Kalimat dari Calista barusan membuat Geya terkejut. Kenapa wanita itu berkata demikian?

Geya menoleh kepada Ditya yang kini juga tengah memandang ke arahnya. Cukup lama keduanya bersitatap, hingga Ditya memutuskan kontak mata itu terlebih dahulu dan mengeluarkan suara.

“Oke, Ditya bakal pulang ke rumah. Tapi, dengan satu syarat.”

“Apa itu, Sayang?”

“Ditya bakal pulang, dengan catatan Geya juga ikut pulang dan tinggal bersama kita.”

Mendengar itu, Geya membelalakkan mata. “APA?!” pekik gadis itu. “Gue enggak mau, Ditya. Jangan sembarang ambil keputusan,” cerca Geya.

“Tenang dulu, Geya,” ujar Ditya yang membuat Geya tidak habis pikir. Bagaimana Ditya dengan mudah menyuruh Geya untuk tenang, sedangkan lelaki itu dengan sembarangan menentukan keputusan?

“Oke, kalau gitu, Papa setuju.” Persetujuan dari Hartawan semakin membuat Geya frustrasi.

"Enggak, Om. Enggak usah dengerin kata Ditya, Ditya—"

“Mama sama Papa mungkin boleh pulang dulu, nanti masalah ini akan coba aku diskusikan sama Geya.”

◀ ▶

29 Januari 2023
1.085 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro