
Bagian 4
Selamat Membaca!
◀ ▶
“Kalau Kak Ditya sudah cukup mewakili, buat apa dipilih ketua dari masing-masing klub? Untuk pajangan aja, Kak?”
Ditya mengusap wajahnya kasar. Kenapa Geya terkesan tidak sopan seperti itu? Terlebih, saat ini gadis itu tengah berbicara dengan Diego.
Padahal tadi, Ditya telah menegurnya untuk lebih sopan, namun sepertinya perkataan Ditya hanya masuk ke telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan.
Ditya memilih untuk duduk di sofa lain yang sedikit berjarak dari Diego dan Geya. Membiarkan agar kedua manusia itu dapat berbincang lebih serius. Membicarakan perihal dispensasi yang kemudian diajukan oleh Diego sebagai bentuk kesepakatan bersama.
Ditya tahu bahwa Geya tidak akan rela begitu saja ketika klub tari kesayangannya akan diberhentikan sementara. Gadis itu tentu akan terus melayangkan protes hingga merasa bahwa hal tersebut sesuai dengan apa yang seharusnya.
Benar-benar keras kepala.
“Kalau begitu, kamu boleh meninggalkan ruangan ini, Geya.”
Ditya segera mengangkat kepala. Menyadari bahwa Geya akan keluar dari ruangan itu, Ditya menghampiri Diego.
“Go, gue keluar sebentar,” ujarnya, lantas bergegas menahan pintu ruangan yang hampir tertutup, guna menyusul gadis yang baru keluar tadi.
Dengan mempercepat langkah, Ditya berhasil mencekal pergelangan tangan Geya, membuat Geya berhenti melangkah dan memutar tubuh terhadap Ditya.
“Geya, saya harap, kamu berhenti dari klub tari. Ini demi kebaikan kamu.”
Setelah kalimat itu terlontar, Ditya dapat melihat sebuah senyuman terbit di wajah Geya. Ditya tahu, itu bukan senyuman tulus, melainkan sebuah senyuman sinis yang diberikan gadis itu.
“Sayangnya, ini bukan urusan Anda ... Bapak Ditya Gevariel,” tukas Geya, menghempas tangan Ditya secara kasar dan berlalu begitu saja dari hadapan.
Seusai kepergian Geya, Ditya menghela napas. “Kapan kamu bisa berhenti melakukan hal yang enggak Papa kamu sukai, Geya?”
Ditya kembali masuk ke ruang OSIS, merasa tidak ada hal yang perlu dia lakukan lagi di sana, lelaki itu lantas berpamitan kepada Diego yang sekarang tengah fokus dengan laptop di hadapannya. Entah apa yang disibukkan oleh ketua OSIS itu.
Ditya sedikit merasa bersyukur dirinya tidak terpilih menjadi ketua saat itu. Jika tidak, maka mungkin dia akan menjadi sibuk seperti apa yang tampak pada Diego sekarang.
“Go, gue pulang duluan.”
Diego melirik Ditya sejenak. “Tumben? Biasanya juga lo setia kawan nemenin gue di sini,” seloroh Diego.
“Capek,” jawab Ditya singkat. “Gue duluan, ya.”
“Hati-hati, Bro. Bawa motornya jangan ngebut. Jangan ngelindes semut di jalan. Kasihan.”
Kalimat itu hanya masuk ke telinga Ditya, tanpa mendapatkan balasan. Terkadang, Ditya bertanya-tanya. Apakah seorang Diego memiliki kepribadian ganda? Pasalnya, lelaki itu bisa bersikap bijaksana sebagai seorang ketua, namun juga bersikap nyeleneh ketika tidak di hadapan anggota lain.
Entahlah. Mungkin, itu adalah cara Diego menyelamatkan mental yang selalu direcoki oleh banyak kesibukan.
•••
Motor Aerox dengan lis hijau neon milik Ditya berhenti tepat di depan sebuah rumah. Lelaki itu turun dari motor guna mendorong gerbang, memberikan ruang agar motornya bisa masuk ke dalam. Setelah memarkirkan motornya di pekarangan, Ditya kembali menutup gerbang, namun tidak rapat.
Lelaki itu berjalan memasuki teras. Suasana rumahnya saat ini begitu sepi. Sepertinya, kedua orangtuanya sedang tidak di rumah.
Oleh karenanya, Ditya tidak langsung masuk. Dia memilih untuk duduk di kursi santai berbahan jati yang ada di sebelah kiri teras. Menyelonjorkan kaki, berusaha mendapatkan posisi ternyaman untuk merilekskan tubuh yang terasa sedikit lelah hari ini.
Lelaki itu meletakkan tangannya di wajah, menutupi kedua mata dari silaunya cahaya matahari.
Dalam waktu sekejap saja, Ditya sudah terlelap, terbuai ke dalam alam mimpi yang membuatnya tidak sadar bila ada seseorang yang melangkah masuk dari gerbangnya.
“Udah berapa kali gue bilang, stop ikut campur urusan orang lain. Memangnya, enggak ada hal lain yang lebih penting yang bisa lo urus, selain kehidupan gue?!”
Lelaki itu terperanjat ketika mendengar suara yang dilontarkan penuh penekanan itu. Kedua bola matanya bahkan terbuka secara paksa, mengingat kantuk yang menguasai. Namun, kantuk itu menghilang tatkala menyadari siapa seseorang yang berdiri di hadapannya.
Itu Geya.
“Kenapa kamu tiba-tiba ada di sini, Geya?” tanya Ditya yang kini ikut berdiri, membuat Geya sedikit mendongakkan kepala untuk melihat wajah Ditya.
“Enggak usah banyak basa-basi. Gue tekankan sekali lagi, berhenti ikut campur masalah gue, Ditya. Ber-hen-ti.”
Sepertinya, Geya sengaja memberikan penekanan yang lebih pada kata terakhir, agar Ditya dapat mendengar jelas sekaligus menuruti permintaannya. Sayangnya, Ditya tidak bisa berhenti begitu saja.
“Saya enggak bisa, Ge. Lebih baik, kamu yang berhenti dari klub tari. Saya bisa carikan orang yang bisa menggantikan posisi kamu sebagai ketua klub.”
Geya tersenyum kecil. “Lo pikir, segampang itu nyari orang untuk jadi ketua klub? Dulu aja, gue bimbang buat jadi ketua klub. And, now? Sepertinya, lo meremehkan jabatan ketua.”
“Saya bukannya meremehkan, hanya saja jika kamu benar-benar mau berhenti, saya akan berusaha mencari pengganti kamu, Geya. Saya mohon, berhenti. Ini semua demi kebaikan kamu.”
“Lo budek apa gimana, sih?” hardik Geya. “Gue udah bilang, berhenti ikut campur masalah gue. Gue mau berhenti dari tari atau enggak, itu urusan gue. Bukan urusan lo!”
Nada bicara Geya semakin meninggi membuat Ditya menghela napas kasar. Lelaki itu menatap dalam kedua bola mata Geya, mencari setitik tatapan lembut seperti apa yang selalu Geya tampilkan kepada orang-orang di sekitar. Namun, nihil. Yang tersisa untuk Ditya hanya tatapan tajam dan sinis, khas aura kebencian.
“Saya ikut campur masalah kamu karena saya peduli dengan kamu, Geya.”
“Peduli?” Geya tertawa. “Lo bilang apa? Peduli?”
Ditya mengernyit. “Iya, ada yang salah?”
“YA, JELAS SALAH!” murka Geya. “Enggak usah sok-sokan peduli, deh, sama gue. Percuma. Itu enggak akan bikin gue respect sama lo.”
“Saya enggak meminta respect dari kamu, Geya. Saya cuma ingin kamu berhenti dari tari agar kamu selamat dari Papa kamu. Kamu tahu, kan, Papa kamu benci sekali dengan klub tari. Jadi, apa salahnya kalau kamu keluar dari klub itu guna memperbaiki hubungan kamu dengan beliau?”
Untuk sejenak, Geya terdiam. Sepertinya, gadis itu mulai merenungi apa yang dikatakan oleh Ditya. Ditya harap, apa yang dilontarkannya tadi bisa membuat Geya berubah pikiran dan keluar dari klub tari.
"Oh, gitu, ya?”
“Iya, Geya.”
Ditya sedikit bernapas lega. Karena, intonasi bicara Geya telah kembali normal.
“Kamu bujuk aku untuk keluar dari klub tari, lalu nanti hubunganku dengan Papa akan membaik ....”
Ditya tersenyum. Gadis itu benar-benar memahami maksudnya.
“Setelah itu, Papa akan muji kamu, karena telah berhasil bujukin aku.”
Senyuman lelaki itu memudar. Kenapa kalimat Geya menjadi seperti itu?
“Dan, Papa bakal tambah lebih sayang sama kamu.”
“Geya, bukan itu—”
“Itu, kan, maksud kamu? Iya, kan?!”
“Geya, kamu jangan salah paham. Ini semua engga—”
“Ditya, kapan, sih? Kapan lo berhenti ngurusin hidup gue? Enggak cukup nyokap lo ngerebut kebahagian nyokap gue dulu? Enggak cukup dulu nyokap lo ngerusak hubungan orangtua gue? Kenapa sekarang lo masih berusaha untuk ngerebut kebahagiaan gue?”
“Geya. Jaga bicara kamu,” tegur Ditya. Laki-laki itu sedikit terganggu ketika Geya mengikutsertakan mamanya ke dalam masalah ini. “Lebih baik kamu pulang, Geya.”
Bukannya merasa tersinggung karena telah diusir secara halus oleh Ditya, Geya malah semakin menggencarkan kalimatnya. “Kenapa? Enggak senang gue bilang kayak gitu? Lagian, emang kenyataannya kayak gitu, kok. Nyokap lo perusak hubungan orang, Ditya. Harusnya, lo sadar akan hal itu. Lo—”
“Saya bilang, pulang!”
Ditya dapat melihat gadis itu tersentak karena bentakannya tadi. Tapi, Ditya terpaksa melakukannya. Dia tidak ingin melihat wajah Geya untuk sekarang ini.
Geya bebas untuk menganggapnya selalu merebut perhatian dari sang papa ataupun menghinanya. Ditya tidak akan pernah marah. Tetapi, Ditya tidak akan bisa terima jika Geya menjelekkan mamanya, wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
Tanpa berbasa-basi, Geya undur diri dari hadapan Ditya. Lelaki itu menatap punggung Geya yang semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik gerbang.
Tak berselang lama, sebuah mobil putih yang amat Ditya kenal berada di depan gerbang. Itu mobil Calista, mamanya.
Ditya yakin, mamanya itu sempat melihat keberadaan Geya di depan gerbang tadi. Pasti, mamanya akan berpikiran yang tidak-tidak kepadanya.
“Ditya, tadi Mama lihat ada Geya di depan. Dia tadi ke sini?”
Keyakinan Ditya tidak pernah salah, bukan?
“Iya, Ma. Tadi Geya sempat ke sini.”
“Kenapa? Kamu buat masalah lagi sama Geya?”
Ditya menggeleng cepat. “Enggak, Ma. Tadi Geya cuma bahas kerjaan OSIS, kok,” alibi Ditya.
Di dalam hati, lelaki itu merasa bersalah karena harus membohongi Calista. Namun, hanya itu yang bisa Ditya lakukan agar Calista tidak bertanya lebih lanjut.
“Oh, gitu. Baguslah. Mama kira kamu buat masalah lagi sama Geya. Ingat pesan Mama, ya, Sayang. Meskipun Geya terkesan membenci kita, tapi Mama mau kamu jagain Geya. Walau bagaimanapun, dia tetap anak papa kamu. Kamu mengerti?”
“Iya, Ma. Ditya ngerti.”
Terkadang, Ditya tidak paham. Mengapa Calista begitu memedulikan Geya yang bahkan tidak pernah bersikap baik kepadanya. Tapi, satu yang Ditya tahu, Calista hanya berusaha untuk menjaga Geya dari berbagai risiko yang berkemungkinan terjadi ... dan menghancurkan gadis itu hingga ke titik terdalam.
Dan, Ditya juga bertanggung jawab untuk hal tersebut.
◀ ▶
29 Desember 2022
1.428 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro