Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 33

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Di … Ditya, gue enggak salah denger, kan?”

“Iya, Ge. Apa yang kamu dengar itu tidak salah.  Semuanya benar. Saya enggak memiliki hubungan darah sama sekali dengan kedua orangtua saya.”

Jawaban Ditya membuat Geya kehilangan akal untuk berbicara lagi. Setelah rahasia mengenai kehidupannya yang baru saja terbongkar, mengapa sekarang Ditya ikut terseret ke dalam permainan semesta?

Untuk saat ini, kenapa Geya merasa semesta mempunyai sejuta permainan yang dia sendiri tidak mengerti alurnya? Apa memang semesta sejahat itu membolak-balikkan kehidupan seseorang?

“Lalu, gimana respons nyokap lo?” tanya Geya.

Ditya terdiam sejenak, sebelum menggeleng kecil.

No response?”

Lagi, Ditya menggeleng. “Saya enggak berikan kesempatan untuk Mama menjelaskan.”

“Kenapa gitu? Kalau lo enggak kasi nyokap lo kesempatan untuk ngejelasin, gimana lo bisa tahu semuanya?”

“Semuanya percuma, Geya. Tanpa penjelasan, saya sudah bisa tahu semuanya. Lagi pula, ada atau tidaknya penjelasan itu, semuanya sama aja. Enggak akan mengubah fakta bahwa saya hanya seorang anak adopsi,” tutur Ditya yang membuat Geya menghela napas.

Gadis itu pasrah. Di saat seperti ini, tidak ada gunanya berdebat dengan Ditya. Suasana hati lelaki itu sedang tidak baik dan berdebat dengannya hanya akan memperburuk suasana hati Ditya.

“Sekarang, lebih baik lo pulang, Ditya. Lo tenangin diri lo terlebih dahulu. Besok masih harus sekolah,” ujar Geya.

Ditya mengacak rambutnya. “Kamu pikir, dengan saya pulang ke rumah, saya bisa tenang? Yang ada, pikiran saya semakin penuh, Geya.”

“Jadi, lo maunya gimana sekarang? Tidur di emperan toko?” tanya Geya ketus.

Sesaat kemudian, tatapannya dengan Ditya menyatu. Geya memiringkan sedikit kepala, merasa ada sesuatu yang aneh yang akan dilontarkan oleh Ditya.

“Untuk sementara waktu, saya menginap di sini dulu, boleh?”

Geya membelalakkan matanya terkejut. “APA?! Lo gila, ya?”

“Saya mohon, Geya. Hanya beberapa hari sampai saya bisa menenangkan diri.”

“Enggak, enggak. Enggak boleh. Nanti kalau pemilik kos atau orang lain tahu lo tinggal di sini, bisa-bisa dikira kumpul kebo. Gue enggak mau!” tukas Geya dengan tegas.

“Saya mohon, Geya. Saya benar-benar enggak punya opsi lain lagi. Lagi pula, kalau ada yang memergoki kita tinggal berdua, kita tinggal bilang kalau kita saudara. Gampang, kan?”

“Gampang-gampang mulut lo! Ngomong mah gampang,” ujar Geya kesal. Kenapa lelaki itu dengan santai menganggap semua ini hal yang mudah?

“Ya sudah. Kalau kamu enggak mengizinkan saya tinggal di sini, saya pamit pergi.” Ditya lalu beranjak dari kursi. Meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

“Eh, Ditya. Lo mau ke mana?” cegat Geya.

“Pergi, Geya.”

“Lo mau tidur di mana nanti?”

“Kamu peduli dengan saya?”

Geya memejamkan mata seraya merutuki kebodohan dirinya. Untuk apa lagi dia menanyakan hal tersebut? Jika memang Ditya hendak pergi, seharusnya Geya senang. Itu artinya dia tidak perlu pusing-pusing memikirkan masalah lelaki itu.

Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya, Geya tidak bisa memungkiri bila gadis itu peduli terhadap Ditya. Selama ini, Ditya sudah begitu baik kepadanya. Terlebih, apa yang baru dialami oleh Ditya semakin membuat Geya tidak tega.

Lantas, di saat-saat seperti ini, apa keputusan Geya membiarkan Ditya pergi adalah opsi yang baik?

“Lo boleh tinggal di sini. Ini udah malem, nanti lo malah malu-maluin tidur di emperan toko,” ujar Geya final.

“Kamu serius?”

“Iya. Enggak usah banyak tanya lagi. Nanti gue berubah pikiran lagi,” tukas Geya. “Lo tunggu bentar di sini.”

Usai mengatakan hal tersebut, Geya bergegas masuk ke dalam kamar. Mengambil sebuah bantal untuk menjadi alas kepala untuk Ditya tidur. Namun, saat hendak meraih selimut, Geya dilanda bimbang. Apakah dia harus memberikan selimut itu kepada Ditya. Jika iya, maka dia harus tidur tanpa menggunakan barang satu itu. Setelah menimang-nimang sejenak, Geya memutuskan untuk memberikan selimut itu kepada Ditya. Tentu, udara di ruang tamu kosannya akan lebih dingin jika dibandingkan dengan di dalam kamar dan Ditya jauh lebih membutuhkan itu. 

“Ini bantal sama selimut. Lo tidur di ruang tamu.” Dengan setengah lemparan, Geya menyerahkan dua benda tersebut yang langsung ditangkap sempurna oleh Ditya.

“Dan, ingat! Jangan coba-coba masuk ke kamar atau lo enggak akan selamat!” lanjut Geya memberikan ancaman. Setelahnya, Geya berlalu dari hadapan Ditya, melangkah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Ditya tersenyum kecil menanggapi hal tersebut. “Terima kasih, Geya. Maaf bila saya merepotkan kamu. Selamat beristirahat.”

Geya yang kini bersandar di balik pintu menyunggingkan senyumnya. “Selamat beristirahat juga, Ditya.”

•••

Sepanjang malam, Geya benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Gadis itu hanya uring-uringan di atas kasur. Mengubah posisi menjadi telentang, telungkup, menyamping dalam waktu yang singkat. Alhasil, jam dua subuh, Geya terbangun dari tidur. Dengan mata yang terasa berat, namun enggan terpejam dalam waktu yang lama, Geya beranjak dari kasurnya dan berjalan keluar kamar.

Niat awal gadis itu ialah hendak menyiram kerongkongan dengan segelas air dan melanjutkan tidur. Namun, melihat tubuh Ditya yang seperti menggigil dari balik selimut, Geya berjalan menghampirinya.

Tangan gadis itu terulur untuk menyentuh kening Ditya. Secepat kilat, Geya kembali menariknya kembali. “Panas banget,” ujar gadis itu mengaduh.

Sepertinya, Ditya terserang demam. Hal itu tentu membuat Geya kalang kabut, mengingat gadis itu yang tidak memiliki stok obat-obatan. Hendak pergi membeli obat pun, Geya tidak yakin ada toko obat yang buka di jam-jam seperti ini.

Geya bergegas berjalan menuju dapur, menuangkan segelas air lalu kembali pada Ditya. “Ditya … bangun dulu. Minum air dulu, habis itu lo pindah ke kamar. Biar gue yang tidur di luar,” panggil Geya seraya memberikan guncangan kecil pada tubuh lelaki itu. Sayangnya, tidak ada reaksi yang diberikan oleh Ditya.

Geya hendak mengguncang tubuh Ditya lebih kencang. Akan tetapi, ketika melihat wajah damai Ditya yang tengah tertidur pulas, Geya mengurungkan niatnya.

“Ditya … masalah ini kayaknya berat banget buat lo, ya? Sampai-sampai lo sakit kayak gini,” ujar Geya lirih.

Geya meletakkan gelas yang berisi air tersebut di atas meja, kemudian berupaya mengambil baskom dan selembar kain kecil. Geya mengisi baskom tersebut dengan air hangat yang baru saja direbusnya.

Gadis itu tidak bisa tenang dan melanjutkan tidur begitu saja jika panas Ditya masih setinggi ini. Maka dari itu, Geya berniat mengompres kening lelaki itu terlebih dahulu.

Dengan telaten, Geya memasukkan kain ke dalam baskom dan memerasnya hingga kering. Geya menyingkirkan rambut Ditya yang menghalangi kening, lalu meletakkan kain tadi ke atas kening lelaki itu. Setelah kain mulai menyerap panas, Geya mengambil kain, mengulangi memasukkan kain ke dalam baskom. Begitu seterusnya untuk beberapa kali.

Geya kembali menyentuh kening Ditya. Geya lantas menyingkap selimut Ditya, turut merasakan suhu di tangan lelaki itu. Kali ini, panasnya sedikit turun. Setidaknya, Geya bisa lebih lega untuk beranjak melanjutkan tidurnya.

Sebelum tidur, Geya menarik selimut Ditya hingga menutupi leher lelaki itu. Senyumnya mengembang beberapa saat, sebelum suaranya terdengar.

“Ternyata, lo kalau sakit, nyusahin juga, ya,” ujarnya terkekeh kecil.

◀ ▶

21 Januari 2023
1.084 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro