
Bagian 31
Selamat Membaca!
◀ ▶
Seusai membersihkan tubuh yang sedikit lengket akan keringat, Geya mengeringkan rambut yang basah menggunakan handuk kecil. Gadis itu lantas duduk di atas kasur kecil di kosan yang telah menemaninya tidur selama beberapa hari terakhir.
Dengan sebelah tangan mengeringkan rambut, sebelah tangannya lagi meraih ransel sekolah, mencari ponsel di dalam sana. Namun, yang tangannya berhasil raih adalah sebuah benda seperti kartu kecil.
Geya menariknya keluar, lantas menghela napasnya ketika menyadari bahwa kartu itu ialah kartu ATM yang diberikan oleh Ditya tadi.
“Lo masih ada agenda apa habis ini?” tanya Geya setelah dirasa pembahasan mereka yang cukup serius tersebut telah habis.
Dalam hati, gadis itu sudah tidak tahan ingin pulang, bergegas untuk mandi, mengingat mengingat tubuhnya yang sudah mengeluarkan banyak keringat saat jam olahraga tadi. Lelah yang melanda juga membuat Geya ingin segera menyentuh kasur.
“Enggak ada. Kamu mau pulang?”
Dengan mantap, Geya menganggukkan kepalanya. “Kalau udah enggak ada apa-apa lagi, gue mau balik ke kosan. Mau istirahat, capek.”
“Ya, sudah, kalau gitu. Kita pulang.”
Geya bersiap menyampirkan kembali ranselnya ke bahu, namun uluran tangan dari Ditya membuat gadis itu menoleh.
“Itu apa?” tanya Geya mendapati sebuah kartu yang tengah dipegang Ditya.
“Kartu ATM kamu.”
Gey mengernyitkan kening. “Dari mana lo dapatin itu?”
“Papa yang ngasikan ke saya. Dia minta tolong kasikan ke kamu. Katanya, takut kamu enggak megang sepeser pun uang.”
Kalimat Ditya membuat Geya bergeming. Apakah Hartawan masih mempedulikannya?
“Enggak perlu,” ujar Geya cepat.
“Ambil, Geya.”
“Gue bilang enggak perlu, Ditya. Gue—”
“Saya tahu, kamu sekarang butuh pegangan uang. Uang yang kemarin saya kasih pasti sudah habis untuk membeli makan. Iya, kan?” sela Ditya, segera menyodorkan kartu tersebut ke tangan Geya. Mau tak mau, Geya mengambilnya.
“Makasih. Oh, iya, untuk uang lo yang kemarin lo kasi ke gue—”
“Enggak perlu dikembaliin. Anggap saja, saat itu saya membantu kamu.”
Pikiran Geya mendadak penuh. Apa Hartawan masih peduli terhadap dirinya? Setelah malam itu dia bersikap kurang ajar terhadap Hartawan dan juga mengatakan secara kasar bahwa dia tidak akan mengambil sepeser pun dari harta milik pria itu. Tapi, bukankah waktu itu Hartawan juga mewanti-wanti mengenai hal tersebut? Lalu, kenapa sekarang pria itu malah berbaik hati dan menyuruh Ditya untuk memberikan kartu tersebut kepada dirinya?
Persetan dengan semua itu, Geya mencoba untuk menepisnya. Semua hal yang berkaitan dengan masa lalu gadis itu benar-benar membuat kepalanya pusing.
Setelah mengeringkan rambut, Geya menggantung handuk kecilnya di gantungan khusus handuk yang ada di dekat pintu kamar, lantas melemparkan tubuhnya di atas kasur.
Hari ini, dia benar-benar lelah. Maka, membiarkan diri untuk beristirahat selama beberapa saat adalah pilihan yang tepat.
•••
Geya mengerjapkan mata beberapa kali, tersadar bahwa dirinya telah tertidur untuk sekian lama. Bahkan, langit yang tadinya berwarna biru saat gadis itu merebahkan tubuh di atas kasur, kini telah berganti warna menjadi hitam pekat, dengan beberapa kerlip bintang yang menghiasi di sana.
Geya menyentuh perutnya, merasakan sedikit rasa sakit akibat aksi demonstrasi dari cacing-cacing yang ada di perut. Ini sudah memasuki jadwal makan malam. Namun, setelah mengecek sisa bahan makanan di dapur, Geya menghela napas. Tidak ada yang bisa dia masak untuk makan malam hari ini.
Alhasil, gadis itu meraih jaket yang tergantung di belakang pintu kamar, mengambil beberapa lembar uang, lantas pergi ke minimarket untuk membeli beberapa bahan makanan.
Tangannya dengan cekatan meraih beberapa barang yang hendak dibeli, lalu membawa ke kasir dan membayarnya.
“Totalnya delapan puluh dua ribu, Kak,” ucap sang kasir.
Geya mengambil uang yang diselipkan di belakang case ponsel, kemudian menyerahkannya kepada kasir.
“Oke, Kak. Uangnya pas, ya. Ini belanjaannya, terima kasih.”
“Iya, sama-sama, Kak.”
Geya menenteng kantong belanjaan, melangkah keluar dari minimarket dan berjalan pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, Geya membuka ponsel, melakukan browsing untuk mencari makanan sederhana yang bisa dia masak malam ini menggunakan bahan-bahan yang telah dia beli. Senyum gadis itu merekah tatkala mendapat ide mengenai makanan yang akan dirinya masak.
Geya memasukkan kembali ponsel di saku jaket, lantas bersenandung kecil untuk mengusir kebosanan di jalan.
Sesampainya di depan kosan, gadis itu memberhentikan langkah. Menatap dengan penuh keheranan lelaki yang kini berdiri di sana.
“Ditya?” Geya membeo. Langkahnya membawa Geya lebih dekat dengan Ditya.
“Kamu dari mana?” tanya Ditya.
Geya mengernyit. Bukankah harusnya gadis itu yang bertanya? Menanyakan perihal tujuan kedatangan Ditya kemari malam ini.
Geya mengangkat barang belanjaannya. “Habis beli barang. Lo ngapain ke sini malam-malam?”
“Lo habis nangis?” tanya Geya kembali, ketika menyadari ada bengkak kecil di sekitar mata Ditya. Khas seperti orang yang baru saja habis menangis.
Ditya hanya bergeming. Tanpa menjawab, lelaki itu tiba-tiba memeluk Geya, membuat tubuh Geya seketika membeku. Bahkan, untuk sekadar melayangkan protes saja, dia tidak bisa.
Kedua tangan Geya melemas. Tanpa sadar menjatuhkan kantong belanjaannya ke lantai.
Jari-jari Geya menegang. Namun, berupaya bergerak untuk menjauhkan tubuh Ditya darinya.
“Geya, tolong biarkan seperti ini dulu,” ujar Ditya yang terdengar lirih.
Mendengar kalimat Ditya tersebut, Geya mengurungkan niat. Entah apa tujuan Ditya menghambur guna memeluk Geya, tapi yang jelas, Geya yakin ada sesuatu yang baru saja terjadi pada lelaki itu.
Cukup lama keduanya mempertahankan posisi itu, hingga Ditya mengurai pelukan itu.
Geya menatap dalam kedua bola mata Ditya yang seperti enggan menatapnya balik.
“Lo kenapa?” tanya Geya dengan hati-hati.
Ditya memalingkan wajah, kini tatapan keduanya beradu menjadi satu.
“Eh,” ujar Geya refleks ketika Ditya kembali memeluknya. Kali ini, Geya merasakan bagaimana lelaki itu mendekapnya dengan begitu kuat. Seperti tengah meluapkan semua emosinya. Beruntung, Geya masih dapat bernapas.
Posisi keduanya yang begitu dekat membuat Geya dapat mendengar jelas napas Ditya yang memburu.
Entah apa yang merasuki tubuh Geya, gadis itu mengangkat tangannya, lantas membalas pelukan Ditya tersebut. Telapak tangannya bergerak, mengelus pundak lelaki itu dengan lembut.
Beberapa saat setelahnya, Ditya kembali melepaskan pelukan itu. Setelahnya, Ditya berjalan sedikit menjauh dari Geya. Mungkin merasa malu dengan tindakannya barusan yang telah sembarangan memeluk Geya.
Buru-buru, Geya mengambil kunci dan membuka pintu kosan. Meraih kembali kantong belanjaannya lantas menoleh kepada Ditya yang masih membeku di tempat.
Sebelum gadis itu beranjak masuk ke dalam kosan, dia terlebih dahulu bersuara.
“Kalau lo masih mau nenangin diri di luar, silakan. Tapi, kalau lo udah merasa tenang dan siap cerita semuanya, pintu kosan gue terbuka. Gue ke dalam dulu,” ujar Geya, lantas melangkah masuk meninggalkan Ditya.
◀ ▶
19 Januari 2023
1.025 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro