Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 28

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Kak Geya, nanti main ke sini lagi, ya. Kita main barbie bareng lagi!” seru Tania seraya melambaikan tangan kepada Geya yang kini telah berada di dalam mobil Ditya.

Setelah hampir 6 jam menghabiskan waktu bersama anak-anak di panti, Ditya mengajaknya pulang. Meski awalnya Geya menolak dengan alasan masih belum puas bermain bersama, namun akhirnya gadis itu menurut.

Saat mengucapkan salam perpisahan, ada banyak anak-anak panti yang berusaha menghalangi niatan mereka untuk pulang. Ada yang merengek, mengancam ingin menangis, bahkan ada pula yang justru menyuruh mereka untuk menginap saja.

Tak terkecuali Tania. Anak perempuan yang awalnya sedikit canggung dengan Geya kini tampak begitu lengket dengan gadis itu. Bahkan, Ditya yang biasanya diajak bermain saja dikacangkan.

“Iya, Tania. Nanti Kakak bakal datang ke sini lagi dan main sama kalian semua,” ujar Geya turut melambaikan tangannya. “Sampai jumpa, Anak-anak semua.”

“Dadahh, Kak Geya dan Kak Ditya.”

Setelah puas melambaikan tangan kepada anak-anak panti, Geya mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada sandaran mobil, dengan pandangan lurus ke depan, tidak lagi menoleh ke luar lewat jendela.

“Udah siap pulang?” tanya Ditya.

Geya melirik ke arah lelaki itu, lantas mengangguk kecil.

Tidak seperti saat perjalanan pergi tadi, di mana Geya banyak mengeluarkan kata, kini perjalanan pulang hanya dihiasi dengan keheningan. Ditya fokus dengan kegiatan menyetirnya, sementara Geya tampak damai memejamkan kedua mata. Kelelahan, mungkin.

Melihat Geya yang terpulas, Ditya sedikit menarik sudut lengkungan di wajahnya. Akan tetapi, menyadari Geya yang tampak kedinginan, tangan lelaki itu segera terangkat guna mengecilkan suhu pendingin mobil.

•••

“Geya, bangun. Kita udah sampai di kosan kamu,” bisik Ditya, selagi mencoba menggoyangkan tubuh gadis itu.

Merasa sedikit terusik, secara perlahan kedua bola mata Geya terbuka, menatap sayu wajah Ditya yang kini tampak dekat dengannya.

“Astaga, lo mau ngapain?!” pekik Geya lantas refleks mendorong Ditya kuat hingga lelaki itu nyaris terpentok pintu mobil. “Jangan macam-macam, ya, lo.”

“Siapa yang macam-macam, Geya? Saya hanya ingin bangunin kamu. Kita sudah sampai di kosan kamu,” jawab Ditya.

Geya menoleh ke samping kiri. Lewat jendela mobil yang tertutup kaca, Geya dapat melihat kosannya di sana.

“Oh. Kalau bangunin, ya, bangunin aja. Enggak usah modus deket-deket,” kata Geya. Gadis itu lantas meraih pintu dan membukanya.

Sebelah kaki Geya turun, menginjak aspal hitam, sementara itu, sebelah kakinya masih tertahan di mobil.

“Kenapa, Geya?”

Geya menggelengkan kepala. Tanpa menoleh sedikitpun kepada Ditya, gadis itu mencicit. “Makasih, ya.”

“Makasih?”

Geya menarik napasnya panjang. “Makasih karena udah ajak gue untuk nyicipin warna baru di hidup gue hari ini. Makasih ... karena setelah ngelihat anak-anak di sana, mendengar sedikit tentang kisah mereka, gue disadarkan bahwa ada banyak orang yang lebih enggak beruntung dibanding gue.”

“Enggak perlu makasih, Geya. Anggap saja, hari ini saya sedang meminta kamu menemani saya pergi ke panti,” balas Ditya.

“Makasih juga, karena lo udah baik banget sama gue. Meski gue udah banyak jahat sama lo,” sambung Geya segera.

Usai mengatakan kalimat tersebut, tanpa mendengar apa pun lagi, Geya langsung turun dari mobil, menutup kembali pintu dengan perlahan.

Setelah mobil Ditya bergerak menjauh, tanpa gadis itu sadari, seutas senyum terbit di wajahnya. Barangkali, ini akan menjadi hari bersejarah bagi Geya. Untuk pertama kalinya, gadis itu bersama Ditya dalam jangka waktu yang cukup lama. Juga, hari di mana dia bisa tersenyum lepas setelah beberapa waktu terakhir dirundung kesedihan.

“Geya!”

Langkah Geya terhenti ketika sebuah suara memanggil namanya dengan cukup keras. Geya membalikkan tubuh, mendapati Flora yang berada di jarak kurang lebih dua meter darinya.

Geya mengernyitkan kening. Kenapa Flora ada di sini? Apa jangan-jangan Flora tahu-menahu mengenai kosannya?

“Flo?“ Geya membeo, tetap setia di tempat. Membiarkan Flora yang kini melangkah mendekat kepadanya.

“Kok kamu ada di sini, Flo?“ tanya Geya berbasa-basi.

“Bukannya, aku yang seharusnya nanya kamu? Kenapa kamu ada di sini? Ini bukan wilayah rumah kamu, Geya,” ujar Flora membalikkan keadaan, membuat Geya gelagapan untuk menjawab.

“Geya? Kok diam?”

Geya menghela napas. “Kita ngomongnya di dalam aja, ya, Flo. Enggak enak di luar gini,” ucap Geya lantas mengajak Flora untuk masuk ke dalam kosannya.

“Silakan duduk, Flo,” ujar Geya mempersilakan. Sementara itu, Geya menutup kembali pintu kosan.

“Sejak kapan kamu tinggal di sini, Ge? Rumah kamu, kenapa? Kamu kabur dari rumah, ya?” serang Flora sekaligus. “Tadi juga kamu habis pergi sama siapa? Mobilnya kok kayak kenal? Itu bukan mobil Kak Ditya?”

Geya memijat pangkal hidung kala pusing melanda kepalanya. Gadis itu bingung harus memulai cerita dari mana. Selain itu, apa sekarang saat yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada Flora?

“Geya, jangan diam aja, dong. Jawab,” desak Flora.

“Iya, Flo. Aku pergi dari rumah.”

Satu kalimat pembuka dari Geya berhasil membuat Flora terkejut.

“Ge? Kamu serius?”

Geya mengangguk.

“Lalu, mobil tadi benar punya Kak Ditya? Kamu habis pergi sama Kak Ditya?”

Lagi, Geya menganggukkan kepala. Membuat Flora sibuk menciptakan keterkaitan antara dua hal tersebut di dalam otaknya. “Apa kepergian kamu dari rumah ada kaitannya dengan Kak Ditya?”

Geya menatap Flora cukup lama, mencoba mencerna pertanyaan yang diajukan oleh temannya tersebut, sebelum Geya menundukkan kepala. Helaan napas kasar terdengar dari Geya.

Sepertinya, sudah saatnya Geya menceritakan masalah ini kepada Flora.

“Kamu tahu alasan kenapa setiap kali pengambilan rapor, aku selalu dipanggil ke ruangan guru dan ngambil rapor di sana?”

Flora menggelengkan kepala.

“Itu karena yang ngambil rapor aku adalah orang yang sama dengan yang ngambilin rapor milik Kak Ditya.”

Flora membulatkan matanya. “Maksud kamu, kamu sama Kak Ditya saudara—”

“Beda Ibu.”

“Berarti ... kamu sama Kak Ditya saudara seayah, tapi beda Ibu?”

Geya menyunggingkan senyum. “Awalnya, aku menganggap seperti itu.”

“Awalnya? Maksudnya, gimana, Ge? Aku enggak paham. Coba jelasin dari awal,” pinta Flora.

Geya memejamkan mata. Deru napasnya terdengar semakin berat. Sekelebat memori perbincangannya dengan Hartawan kembali terputar.

“Dulu Mama kamu sama kayak kamu. Keras kepala saat dilarang ikut klub tari. Bahkan, dia sering diam-diam ikut latihan tari sampai pulang malam.”

“Saat Papa menemukan Mama kamu, semuanya udah terlambat, Geya ... semua sudah terlambat.”

“Itu adalah awal mula kehancuran semuanya. Masa depan yang sudah Papa rancang. Hubungan Papa dengan Calista.”

“Selama ini, kamu selalu menganggap Calista sebagai perusak hubungan kami .... Justru Mama kamulah yang merusak hubungan kami—”

Salah memangnya kalau Papa dan Calista ingin mengejar kebahagiaan kami?!”

“Jadi, ini semua ada kaitannya dengan klub yang terancam diberhentikan sementara? Karena, Kak Ditya mau kamu berhenti urus klub?” tanya Flora menyimpulkan.

Sebuah anggukan dari Geya, membuat Flora menatap nanar gadis itu.

“Ge ...,” cicit Flora. “Kenapa kamu enggak pernah cerita ke aku soal ini? Kenapa kamu mendam semuanya sendirian?”

“Aku takut anak-anak tari bakal benci aku kalau tahu yang sesungguhnya, Flo.”

“Bukan itu, Ge. Tentang hubungan kamu sama Kak Ditya,” sela Flora.

“Aku enggak mau orang-orang mengubah pandangan mereka terhadap aku setelah tahu yang sebenarnya, Flo. Aku takut mereka memandang aku rendah. Aku—”

Belum selesai Geya berbicara, Flora terlebih dahulu meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. “Enggak usah diterusin. Aku paham, Ge. Aku paham gimana rasanya saat kita pengen cerita, tapi kita takut dihakimi atas cerita kita sendiri.”

Flora mengelus rambut Geya dengan lembut, sebelum kembali melanjutkan. “Kalau kamu perlu apa-apa, jangan sungkan untuk kasih tahu aku, Ge. Aku pasti bakal selalu bantu kamu. Anak-anak tari juga pasti maklum kalau tahu cerita yang sesungguhnya.”

Geya mengurai pelukan Flora, melihat gadis itu lekat, lalu tersenyum kecil. “Makasih banyak, Flo.”

“Sama-sama, Geya. Jadi, sekarang, kamu tinggal di kosan ini?”

Geya mengangguk ragu.

“Oke, deh. Kalau gitu, nanti aku bakal sering-sering mampir ke sini untuk nemenin kamu. Kamu pasti kesepian di sini,” ucap Flora tersenyum riang.

“Asal bawa makanan, aku oke-oke aja, Flo,” seloroh Geya yang menyemburkan tawa dari keduanya.

◀ ▶

17 Januari 2023
1.248 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro