Bagian 26
Selamat Membaca!
◀ ▶
“Ditya, soal yang kemarin, itu cuma dare doang. Gue enggak senarsis itu buat ngajakin lo foto, kok. Apalagi di depan kafe gitu. Gue masih punya malu kali. Kalau bukan karena tantangan dan sifat sportif, gue enggak bakal minta foto sama lo,” ujar Geya panjang lebar, berusaha meluruskan hal yang bisa menjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Ditya.
Sebenarnya, itu bukan hal yang besar. Namun, Geya tidak ingin karena hal sepele itu, Ditya malah kegeeran dan menganggap dirinya sebagai salah satu penggemar dari laki-laki itu.
“Fotonya nanti bakal gue hapus, kok. Lo tenang aja. Gue juga enggak berniat buat nyimpen foto itu. Gue—”
“Udah cukup penjelasannya?” potong Ditya yang membuat Geya seketika menjadi kicep.
Sedikit memalingkan wajah dari Ditya yang saat ini fokus menyetir mobil, Geya merutuki kebodohannya. Kenapa Geya menjadi banyak bicara seperti tadi? Ditya tentu akan menganggapnya banyak omong. Itu hal yang lebih memalukan dibanding meminta foto bersama Ditya di kafe kemarin.
Lagi pula, untuk apa Geya harus repot-repot menjelaskan mengenai hal tersebut? Seharusnya, Geya bersikap biasa saja, seolah tidak ada sesuatu hal yang terjadi. Ditya juga tidak terlihat sebagai tipikal laki-laki yang mudah menaikkan intensitas percaya diri.
Cara Geya menjelaskan kepada Ditya tadi terkesan seperti seorang pacar yang keciduk berselingkuh. Mengeluarkan semua kata-kata penjelasan hanya untuk meminimalisir kesalahpahaman.
Benar-benar memalukan.
Geya mengetuk-ngetukkan jarinya ke kepala, berusaha untuk meluruskan kembali aliran saraf di kepala yang sepertinya sedikit konslet.
“Kamu kenapa mengetuk kepala kamu seperti itu?” tanya Ditya.
Secepat mungkin, Geya berusaha membetulkan posisi duduk dan bersikap biasa saja. “Enggak kenapa-napa,” jawabnya.
“Soal kemarin, kamu tenang saja. Saya tidak masalah. Saya juga tidak menganggap kamu narsis mengajak saya berfoto. Jadi, simpan saja semua penjelasan kamu,“ tutur Ditya. “Kamu juga tidak perlu repot-repot menghapus foto tersebut. Anggap saja, itu kenang-kenangan.”
Mendengar itu, Geya berdecih. “Siapa juga yang mau punya kenang-kenangan sama lo?”
Ditya tertawa kecil. “Kenapa kamu secepat itu berubah?”
“Berubah apanya?”
“Tadi kamu bersikap seperti pacar yang terciduk selingkuh, berkata panjang lebar untuk menjelaskan kepada saya. Sekarang kamu bersikap ketus seperti itu.”
Geya memejamkan mata. Ternyata, bukan hanya dirinya. Ditya juga berpendapat serupa bila tingkah Geya tadi khas seperti pacar yang berselingkuh.
“Enggak lucu,” balas Geya singkat. “Ngomong-ngomong kita mau ke mana, sih? Mana bawa mainan banyak banget lagi.”
Geya melirik ke bagian belakang mobil. Terdapat dua kantong besar berisikan beraneka ragam mainan yang entah sejak kapan berada di sana. Yang jelas, saat Geya berniat untuk duduk di belakang, barang-barang tersebut telah menghalangi niatan Geya. Alhasil, Geya duduk berdampingan dengan Ditya saat ini.
Alih-alih menjawab pertanyaan Geya dan membayar rasa penasaran gadis itu, Ditya malah mengeluarkan sebuah pernyataan yang membuat kepala Geya hendak meledak. “Nanti juga kamu bakalan tahu.”
Jadi, apa laki-laki di sampingnya sekarang sedang ingin mengajaknya bermain sebuah teka-teki?
Guna menghilangkan rasa kesal yang siap meledak di kepala, Geya memutuskan untuk melihat ke luar jendela mobil. Sepertinya, pemandangan di luar sana lebih menarik untuk dipandang dibanding melihat wajah Ditya yang mengesalkan.
Kernyitan di kening Geya mulai tampak saat mobil milik Ditya berjalan masuk ke suatu daerah yang berbeda dengan suasana di tempatnya tinggal. Seperti suatu perkampungan yang jaraknya jauh dari pusat kota. Pantas saja, perjalanan hari ini terasa sedikit melelahkan. Tubuh Geya serasa pegal setelah duduk untuk waktu sekian lama.
“Panti Asuhan Kasih Mutiara?” Geya membeo. Membaca tulisan yang terpampang besar di sebuah papan yang tertempel di depan sebuah rumah kayu sederhana.
Geya refleks menoleh kepada Ditya, menagih tujuan dari lelaki itu membawanya kemari. Namun, Ditya malah tidak bersuara. Hanya memberikan kode agar Geya membantunya mengeluarkan kantong plastik besar yang ada di jok belakang mobil.
Mau tak mau, Geya melepas seatbelt, lantas keluar dari mobil dan mengambil satu kantong mainan.
“Berat banget,” keluh gadis itu. Saat Geya hendak melangkah, tiba-tiba saja sebuah tangan terulur kepadanya.
“Biar saya aja yang bawa,“ ungkap Ditya, lantas mengambil alih kantong plastik di tangan Geya dengan tangannya.
Menatap Ditya yang melangkah masuk ke panti asuhan tersebut dengan masing-masing tangan yang memegang kantong plastik, Geya bergeming di tempat.
Meski benci harus mengakui, namun Geya tidak bisa memungkiri bahwa seorang Ditya adalah tipikal laki-laki idaman yang tidak tega membiarkan perempuannya membawa barang dalam kapasitas yang berat. Sesuatu hal yang mendasar yang sayangnya sering diabaikan oleh banyak kaum adam.
“Geya, mau sampai kapan kamu berdiri di sana?” tanya Ditya yang membuat Geya tersadar dan langsung berlari menyusul lelaki itu.
Geya asyik menjelajahi ruangan pertama yang ada di panti tersebut, hingga tidak menyadari seorang wanita yang keluar dari dalam.
“Nak Ditya, ternyata kamu yang datang toh? Kenapa enggak kasi tahu Ibu sebelum datang?” tanya wanita yang diperkirakan tidak lagi berusia muda. Kerutan di wajah wanita itulah yang menjadi bukti.
“Ditya sengaja enggak kasi tahu, Bu. Mau kasi kejutan,” jawab Ditya seraya menyunggingkan senyum.
Ditya meletakkan dua kantong plastik di tepi ruangan, lantas menyalami wanita tersebut. Setelahnya, lelaki itu menoleh ke belakang, melihat ke arah Geya yang berdiam diri di sana.
“Geya, sini,” panggil Ditya.
Geya lantas berjalan mendekat.
“Kenalin ini Ibu Laksmi, pemilik panti asuhan. Bu, ini Geya, teman saya,” ujar Ditya memperkenalkan masing-masing dari mereka.
“Halo, Bu Laksmi. Salam kenal. Saya Geya,” ucap Geya sembari menyalami tangan Bu Laksmi.
Bu Laksmi tersenyum manis. “Halo, Nak Geya. Salam kenal juga. Senang rasanya bisa bertemu dengan Nak Geya.”
Saat melihat senyuman Bu Laksmi, entah kenapa, rasanya hati Geya begitu tenang. Menyalami tangan wanita tersebut memberikan kesan kehangatan yang sudah lama tak Geya terima dari sosok seorang ibu.
“Bu, anak-anak pada ke mana, ya? Kenapa panti sepi?” Ditya bersuara.
“Oh, anak-anak lagi tidur siang. Mungkin, capek karena bermain tadi pagi.”
Ditya mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau gitu, kami datang di waktu yang salah, ya, Bu.”
“Ah, enggak. Paling sebentar lagi, mereka bangun. Atau, mau Ibu bangunkan?”
Dengan segera, Ditya menolak. “Enggak perlu, Bu. Kasihan anak-anak kalau dibangunin. Kalau begitu, saya dan teman saya menunggu aja.”
“Oh, iya-iya, Nak. Silakan duduk kalau gitu. Astaga, Ibu sampai lupa mempersilakan kalian duduk,” ujar Bu Laksmi menepuk keningnya perlahan. “Kalian tunggu dulu, ya. Ibu buatin minum bentar.”
“Enggak perlu repot-repot, Bu,” sela Ditya.
“Enggak pa-pa. Udah, kalian duduk saja dulu, ya. Ibu ke belakang dulu.”
Sepeninggal Bu Laksmi, Ditya dan Geya saling bersitatap. Seolah mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak Geya, Ditya lantas mengajak gadis itu untuk berbicara di luar panti.
“Ada yang mau kamu tanyakan?” tanya Ditya.
Geya mengernyit tidak paham.
“Saya lihat, sedari tadi kamu menyimpan segudang pertanyaan di otak kamu.”
Geya mengangguk. Ditya benar. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggantung di kepala gadis itu.
“Pertanyaan pertama. Lo sering ke sini, ya? Sampai Bu Laksmi aja kenal sama lo.”
“Lumayan,” jawab Ditya.
“Pertanyaan kedua. Lo tahu dari mana ada panti asuhan di sini?”
“Saat itu, saya menyelamatkan salah satu anak panti sini yang diserempet oleh pengguna motor di jalan. Lalu, saat saya menawarkan diri untuk mengantar anak itu pulang ke rumah, anak itu malah mengantarkan saya ke sini. Ke tempat yang dia sebut sebagai rumah.”
Kalimat terakhir dari Ditya membuat Geya terdiam.
Rumah?
Setelah sekian lama hidup di bumi, sepertinya baru sekarang Geya hendak mempertanyakan maksa sesungguhnya dari kata tersebut.
“Geya? Pertanyaan ketiga? Masih ada?“
Geya menatap dalam kedua bola mata Ditya yang juga kini melihatnya. Helaan napas terdengar, mengawali pertanyaan terakhir dari Geya.
“Dari sekian banyak tempat, kenapa lo bawa gue ke sini?”
◀ ▶
16 Januari 2023
1.218 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro