Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 2

Selamat Membaca!

◀ ▶

Sebuah tarikan napas panjang dilakukan Geya, sebelum gadis itu mengangkat tangan dan mengetuk pintu yang ada di hadapan. Tak lama setelah ketukan diberikan, pintu dengan papan nama 'Ruang OSIS' itu terbuka, menampilkan sosok lelaki berkacamata di sana.

Itu Diego. Diego Shailendra, ketua OSIS SMA Pertiwi. Orang yang memanggil Geya hingga berada di depan ruangan ini.

“Halo, Geya. Silakan masuk,” sapa Diego, lantas mempersilakan Geya untuk masuk ke dalam ruangan. Geya menganggukkan kepalanya sekali, mengikuti arahan Diego untuk duduk di sofa yang ada di dalam.

Ruang OSIS kali ini terlihat sepi. Padahal biasanya, akan dengan mudah menemukan anak OSIS di ruang ini ketika pulang sekolah. Biasanya, mereka akan membahas laporan terkait program kerja mingguan dari OSIS atau sekadar menunda waktu untuk pulang ke rumah.

“Kata Rika,  Kak Diego manggil saya?” tanya Geya sekadar berbasa-basi. Sebab, 1 menit berlalu terhitung sejak dia duduk di sofa, Diego masih belum mengeluarkan sepatah kata pun.

“Bahasanya enggak usah terlalu formal, Geya. Santai aja,” ujar Diego tersenyum.

“Eh, iya, Kak. Maksudku, tadi Kak Diego manggil aku?” Geya mengulangi pertanyaannya.

“Iya, Geya. Tadi Kakak minta tolong Rika untuk manggil kamu ke ruangan.”

“Kalau boleh tahu, ada apa, ya, Kak? Kakak manggil aku ke sini?“

“Memangnya, enggak boleh?”

Geya refleks menggeleng. “Eh, boleh, kok, Kak. Aku cuma heran aja, Kakak tiba-tiba manggil aku ke ruangan,” balas Geya, meninggalkan senyuman di ujung kalimat. “Jadi, ada hal penting apa, Kak? Bukan bermaksud mendesak, aku cuma kepo aja.”

“Enggak pa-pa. Kakak mau tanya aja, gimana sama perkembangan klub tari?”

Geya membetulkan posisi duduknya dan mencari posisi nyaman agar tidak terkesan tegang, ketika Diego mulai masuk ke pembahasan. Karena, jika boleh jujur, Geya sedikit canggung bercampur tegang ketika berhadapan langsung dengan Diego yang notabenenya adalah ketua OSIS. Biasanya, jika menyangkut masalah klub, dia lebih sering berkoordinasi dengan Ditya selaku Sekbid MinBa.

“Untuk perkembangan tari, aman-aman aja, Kak,“ jawab Geya sekenanya.

Sebetulnya, Geya sendiri bingung. Kata 'aman' yang dimaksudkan dalam konteks pembicaraan ini yang seperti apa.

“Latihannya bagaimana? Masih rutin seminggu sekali?”

“Latihannya juga aman, kok, Kak. Masih rutin latihan seminggu sekali. Anak-anak pada semangat latihan, bahkan ada yang request untuk latihannya diperbanyak, jadi 2 kali dalam seminggu. Cuma, masih aku pertimbangkan. Soalnya, kasihan ke mereka. Udah sekolah sampai siang, lalu ada beberapa yang ikut bimbel tambahan di sekolah. Takutnya mereka kecapekan,” jelas Geya.

Diego mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda dia memahami penjelasan dari Geya dengan baik. “Jadi, untuk keseluruhan aman, ya.”

“Iya, Kak.”

Diego kembali terdiam. Diego manggut-manggut seraya membaca laporan yang ada di tangannya.

Hal ini tentu membuat suasana menjadi tidak enak bagi Geya. Kenapa Diego terdiam setelah menanyakan perihal progres klub tari? Lalu, laporan apa yang tengah dibaca oleh ketua OSIS itu? Apa ini berkaitan dengan pertanyaan Diego terkait klub tari?

Demi membayar rasa penasarannya, Geya memutuskan untuk melayangkan tanya kepada lelaki itu. “Maaf, Kak, sebelumnya. Kenapa Kakak tiba-tiba nanya soal progres klub tari? Apa ada hal yang fatal menyangkut klub tari?”

Mendengar itu, Diego mengangkat kepala, memindahkan fokusnya dari laporan menuju Geya. Laki-laki itu tersenyum tipis.

“Sebenarnya, kalau dibilang fatal, sih, enggak, Geya ...,” Diego menjeda kalimatnya, sebelum kembali melanjutkan, “Hanya saja, memang ada hal yang pengin Kakak bahas sama kamu terkait klub tari. Kenapa Kakak langsung bahas ke kamu dan bukan ke Ditya? Itu karena Kakak merasa kamu sebagai ketua klub lebih memahami perkembangan klub, dibanding Ditya. Walau, tentu untuk perkembangan sekecil apa pun, tetap kamu kabari ke dia.”

“Tentang apa, Kak?”

Diego berdeham sejenak, menaruh laporan ke meja yang ada di sebelah sofa, kemudian kembali fokus kepada Geya. “Ini terkait anggota klub.”

“Anggota?” Geya membeo.

“Iya. Sampai sekarang, ada berapa anggota klub yang masih bertahan?”

Geya berpikir sejenak, sebelum menjawab, “Sepuluh, Kak.”

“Bukannya kemarin masih ada di atas sepuluh?”

“Ada beberapa anggota klub dari anak kelas 12 yang mengundurkan diri dari klub, dengan alasan ingin fokus sama studi, Kak. Jadi, yang tersisa sekarang hanya sepuluh, dan semuanya merupakan anak kelas 10 dan 11.”

“Apa kamu tahu, kalau saat ini, jumlah anggota klub tari itu paling sedikit di antara jumlah anggota klub lain?”

Geya meneguk ludahnya. Entah kenapa, mendengar pertanyaan Diego barusan membuat hatinya gusar.

"... jumlah anggota klub tari itu paling sedikit di antara jumlah anggota klub lain ...”

Kenapa redaksi pertanyaan itu seolah-olah memojokkan klub tari dari segi jumlah anggota?

Melihat reaksi Geya yang tidak responsif, Diego kembali bersuara. “Bahkan, klub merajut yang baru-baru ini diresmikan mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak dibanding klub tari. Ya, meskipun jumlahnya tidak berselisih jauh. Tapi, apa kamu bisa menangkap maksud omongan Kakak?”

“Aku paham, Kak,” balas Geya.

Dia sungguh paham dengan maksud dari Diego. Jika saja klub merajut yang baru diresmikan itu bisa meraih anggota yang lebih banyak, kenapa klub tari yang sudah lama eksistensinya memiliki anggota yang lebih kurang?

“Jadi, menurutmu bagaimana, Geya? Sebagai ketua klub, apa tanggapan kamu?” Diego kembali menyerang Geya dengan pertanyaan, membuat gadis itu semakin merasa terpojokkan atas klub yang dia pegang.

Geya menarik napasnya dalam, sebelum menjawab, “Menurutku, itu hal yang wajar, sih, Kak, kalau anggota klub merajut lebih banyak dari klub tari. Soalnya, klub merajut itu masih baru, sehingga anak-anak penasaran dan memilih untuk mencoba join ke klub itu. Berbeda halnya dengan klub tari yang mungkin udah lama eksistensinya.”

Geya harap, itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan dari Diego. Demi apa pun, rasanya Geya ingin segera keluar dari ruangan yang seketika menjadi ruang sidang ini.

“Sayangnya, jawaban kamu kurang memuaskan untuk Kakak, Geya,” tutur Diego.

Kedua bahu Geya melemas.

“Kalau memang anak-anak yang join ke klub merajut itu karena rasa penasaran, seharusnya kamu sebagai ketua klub tari juga bisa menciptakan suatu inovasi baru yang dapat menarik minat dan rasa penasaran anak-anak. Apakah kamu sudah mencoba untuk memikirkan hal itu?”

Geya menggeleng perlahan. “Belum, Kak.”

“Anak sekolah itu ada ratusan, Ge, bukan puluhan. Agak mustahil kalau dibilang enggak ada satupun yang berniat bergabung lagi. Apalagi,  kalian mempunyai ruangan untuk latihan. Sedangkan, klub merajut yang enggak ada ruangan khusus malah lebih banyak diminati.”

“Iya, Kak. Aku paham. Sebelumnya, mohon maaf, kenapa Kakak tiba-tiba menyinggung perihal jumlah anggota dan ruangan klub?” tanya Geya berhati-hati.

Diego bergeming. Membuat Geya semakin keras mencoba menerka-nerka maksud lelaki di hadapannya itu.

Tiba-tiba saja, suara dehaman terdengar. Bukan dari Diego, melainkan dari seseorang yang ternyata juga ada di ruangan ini. Bagaimana Geya baru menyadari bila ada orang lain di sini, selain dirinya dan Diego? Dan, parahnya, bisa jadi orang itu sedari tadi menikmati perbincangannya dengan Diego.

Orang itu adalah Ditya Gevariel, Sekretaris Bidang Minat dan Bakat, sekaligus orang yang jabatannya berada setingkat di atas Geya.

Ditya yang tadinya berada di dekat pintu, berjalan mendekati Diego dan Geya. Lelaki itu berdiri di sisi sofa sebelah Diego, melipat kedua tangan, dan menatap Geya sejenak.

“Melihat jumlah anggota klub tari yang sedikit dan ruang klub merajut yang belum selesai didirikan, maka Kakak dan Kak Ditya menyepakati bahwa untuk sementara waktu, klub tari akan diberhentikan. Sebagai gantinya, ruangan klub akan dipakai oleh anak-anak klub rajut.”

“Apa?!” refleks Geya sebagai bentuk keterkejutan. “Enggak bisa gitu, dong, Kak. Dari dulu, ruangan itu, kan, khusus anak-anak tari. Kalau klub merajut belum ada ruangan, kan, bisa pakai kelas kosong. Lagian, merajut enggak perlu ruangan khusus gitu juga.

“Lalu, apa tadi? Kakak bilang klub tari akan diberhentikan sementara? Kak, Kakak enggak mikirin gimana perasaan anak-anak tari kalau tahu klub akan diberhentikan, meski dalam jangka waktu sementara?”

Napas Geya memburu seusai melontarkan bentuk ketidakersetujuannya tersebut. Bagaimana Diego dengan semudah itu mengatakan hal tersebut?

“Tapi, ini sudah menjadi keputusan bersama, Geya—”

“Keputusan bersama? Maksud Kakak, keputusan Kakak dan Kak Ditya berdua aja? Apa keputusan itu bisa dikatakan keputusan bersama, Kak? Kayaknya, enggak. Malah rasanya, ini terkesan egois. Kakak cuma meminta pendapat dari dua pihak. Bahkan, aku sebagai ketua klub aja enggak Kakak ajak diskusikan mengenai masalah ini terlebih dahulu,” sela Geya cepat, dengan memberikan sedikit penekanan pada kata "Kak" di depan nama Ditya.

Sebab, jika saja Ditya tidak terlampau jenius dan mengikuti kelas akselerasi yang membuatnya hanya menduduki bangku SMP selama 2 tahun dan berstatus sebagai kakak kelasnya sekarang, maka Geya tidak akan sudi memanggil lelaki itu dengan panggilan tersebut.

Untuk sekarang ini, biar saja Geya terlihat tidak sopan kepada ketuanya. Yang penting, dia bisa meluapkan semua rasa tidak setujunya. Bagaimanapun, dia harus mempertahankan klub tari.

“Geya, jangan terbawa emosi. Ada baiknya, kamu dengarkan penjelasan dari Diego terlebih dahulu,” timpal Ditya.

Bukannya meredam emosi, justru hanya dengan mendengarkan suara Ditya terlontar, emosi Geya semakin membara. Gadis itu menatap tajam Ditya.

Lewat tatapannya itu, Geya seolah berusaha menghidupkan genderang perang.

◀ ▶

27 Desember 2022
1.414 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro