
Bagian 12
Selamat Membaca!
◀ ▶
“Kamu habis ketemu Kak Melody, Ge?” tanya Flora menghampiri Geya yang kini tengah berdiri di depan koridor kelas.
Awalnya, Flora hendak mengagetkan Geya terlebih dahulu, namun ketika melihat wajah Geya yang tampak tengah memikirkan sesuatu, Flora mengurungkan niatnya itu. Takut-takut ulahnya malah membuat Geya marah, bila suasana hati gadis itu tengah tidak baik.
Geya menoleh kepada Flora, lantas menganggukan kepala. “Iya.”
“Gimana hasilnya? Kak Melody mau bantu buat publikasikan terkait klub?”
Sebelum membuat janji bertemu dengan Melody, Geya terlebih dahulu menyampaikan mengenai saran Dean ke grup berisikan anggota klub. Saran tersebut juga diterima baik oleh anggota, oleh karena itu, Geya baru bisa mengambil langkah. Sebab, meski statusnya sebagai seorang ketua, mau bagaimanapun juga dia harus meminta persetujuan dari anggota untuk setiap langkah yang hendak dia ambil.
“Kata Kak Melody, enggak bisa, Flo.”
“Loh, kenapa begitu? Bukannya udah tugas humas untuk publikasikan hal tersebut?”
“Masalahnya, Humas mempublikasikan terkait open recruitment klub itu hanya di awal semester, setiap kali pendaftaran resmi serentak diadakan. Sekarang, udah pertengahan semester, jadi Kak Melody bilang enggak bisa bantu,” jelas Geya sesuai dengan apa yang Melody katakan tadi kepadanya.
“Yah, jadi gimana, dong? Ini udah seminggu lagi, loh, Ge. Sedangkan, masih belum ada perubahan dari yang waktu itu kita diskusikan di kafe. Kalau gini caranya, klub benar-benar bisa terancam diberhentikan,” keluh Flora uang menimbulkan rasa bersalah di hati Geya.
Geya mengalihkan pandangan dari Flora, menundukkan kepala, merenungi mengenai nasib klub yang berada di ujung tanduk ini.
Dia benar-benar kehabisan ide lagi untuk berbuat apa demi mempertahankan klub. Bahkan, setelah kemarin-kemarin mereka menggencarkan ajakan ke kelas lain yang belum tersentuh, hanya ada satu orang yang berniat bergabung. Sisanya, tidak ada yang mau memandang klub tari sedikit pun.
Apa ini adalah bagian dari karmanya? Karena, dia memaksa untuk menjadi ketua klub, setelah dia tahu hal apa yang siap merintanginya di depan.
Melihat perubahan wajah Geya, Flora merasa bersalah. Mungkin, kata-katanya tersebut tak sepantasnya dia lontarkan di depan Geya. Geya bisa saja merasa dipojokkan akan hal itu.
“Ge, aku minta maaf. Aku enggak maksud untuk memojokkan kamu, kok. Aku cuma—”
“Aku paham, kok, Flo,” ujar Geya memotong kalimat Flora. Gadis itu kini memandang Flora dengan senyuman tipis, berusaha meyakinkan Flora bahwa dia baik-baik saja dan tidak merasa terpojoki sama sekali. “Lagian, apa yang kamu katakan itu benar. Ini udah tersisa seminggu lagi, tapi belum ada perubahan yang berarti.”
Flora menepuk bahu Geya, lantas berkata, “Enggak pa-pa. Seminggu itu masih lama, kok. Kita masih bisa memaksimalkan untuk nyari anggota. Jangan patah semangat dulu, Ge.”
Geya mengangguk. Flora benar. Masih ada harapan dalam waktu seminggu ini. Dia tidak boleh menyerah begitu saja. Ini semua demi klub tari.
“By the way, Ge. Nanti jam 4 sampai 7 malam, ada konser musik sekaligus bazar, mau pergi, nggak? Anggap aja kita refreshing karena udah seminggu suntuk mikirin soal klub. Gimana?”
Geya menimang-nimang sejenak ajakan itu, sebelum kemudian menganggukkan kepalanya. “Ajak anak-anak juga, ya. Hari ini, kita refreshing bareng,” ujar Geya antusias.
“Oke, siap, Bu Bos!” sahut Flora tak kalah antusias.
•••
Geya menutup pintu rumahnya secara perlahan, takut bila menyebabkan bunyi yang kemudian memancing kehadiran Hartawan. Tidak seperti malam biasanya, mobil Hartawan bertengger di rumah. Padahal, biasanya papanya tersebut lebih sering pulang ke rumah yang ada di seberang alias ruma Ditya.
Geya yakin, pasti Hartawan telah mengetahui bahwa seharian ini—setelah pulang sekolah—Geya belum pulang ke rumah dan pria itu akan memarahinya maka dari itu, sebisa mungkin, Geya harus segera masuk ke kamar, mengunci pintu supaya Hartawan tidak bisa masuk dan memarahi Geya secara langsung.
Namun sepertinya, untuk malam ini, Dewi keberuntungan belum berpihak di sisi Geya. Sebab, saat gadis itu membalikkan tubuhnya, Hartawan—yang sebelumnya tidak ada di sana—telah duduk manis di sofa seraya memandang ke arahnya. Tatapan pria itu begitu mengintimidasi, membuat Geya meneguk ludahnya takut. Meski sudah berulang kali Hartawan memarahinya, namun tetap saja, Geya masih cukup memiliki rasa takut ketika bertemu pria itu.
“Habis dari mana kamu malam segini baru pulang?” tanya Hartawan, melirik ke arah jam antik dari bahan jati mewah itu.
Mau tak mau, Geya mengikuti arah lirikan itu. Sudah jam 8 malam. Padahal, rencananya tadi, Geya ingin pulang jam 7 seusai konser dan bazar selesai. Sayangnya, anak-anak tari mengajak untuk makan malam bersama. Geya tentu tidak bisa menolak. Alhasil, gadis itu baru bisa pulang semalam ini.
“Jadwal sekolah kamu sampai jam 1, dilanjut bimbel hingga jam setengah tiga. Tidak ada kerja kelompok ataupun kegiatan lainnya. Perjalanan dari sekolah ke rumah memakan waktu sekitar setengah jam. Itu artinya kamu sudah ada di rumah jam 3 sore. Bukan jam 8 malam.”
Geya menghela napasnya. Perkataan Hartawan yang saat itu ingin meminta jadwal sekolah Geya ternyata bukan sekadar gertakan. Hartawan benar-benar meminta daftar kesibukannya dan tentunya kepada Ditya.
“Kali ini, kamu enggak bisa bohongin Papa. Jadi, kamu dari mana?” tanya Hartawan lagi.
“Habis dari konser, Pa.” Untuk kali ini, Geya terpaksa jujur. Sebab, jika hendak berbohong pun, Geya tidak menyiapkan alasan apa yang cocok untuk diberikan kepada Hartawan.
“Sama siapa?”
“Temen, Pa.”
“Temen? Maksud kamu, dengan anak-anak klub sialan itu?”
“Pa!” Harusnya, malam ini, Geya bisa mengontrol intonasi bicaranya. Harusnya, jika saja Hartawan tidak memancingnya dengan mengatakan klub tari dengan kata tersebut.
“Kenapa kamu marah? Kamu enggak terima kalau Papa ngatain klub kamu seperti itu? Atau, memang benar, kalau kamu habis bepergian dengan mereka?”
Geya tidak menjawab. Lebih tepatnya, malas untuk menjawab. Sebab, sekalipun dia menjawab, Hartawan juga akan menyelanya nanti.
“Sudah berapa kali Papa bilang? Keluar dari klub itu. Berhenti ikut kegiatan enggak jelas kayak gitu. Papa bayarin kamu sekolah untuk belajar, bukannya untuk ikut klub enggak jelas itu, Geya.”
“Pa, kenapa, sih? Kenapa Papa selalu menganggap kalau klub tari itu enggak ada gunanya? Papa pikir, tugas aku cuma belajar, belajar, dan belajar? Papa pikir, aku enggak muak belajar terus? Selama ini, aku selalu belajar dengan baik di kelas, Pa. Selama ini, aku selalu dapat juara di kelas. Selama ini, aku berusaha jadi murid yang baik. Apa itu semua enggak cukup? Apa itu semua enggak cukup sampai Papa harus mengekang hal yang aku sukai?”
“Cukup, Geya! Jangan terus-menerus membantah kata-kata Papa. Papa cuma ingin yang terbaik untuk kamu,” sanggah Hartawan.
“Yang terbaik dengan cara mengekang? Gitu?!”
“Geya! Jangan makin kurang ajar, ya, kamu. Selama ini, Papa ngedidik kamu untuk jadi anak yang berbakti. Bukan menjadi kurang ajar seperti ini, suka membangkang orangtua.”
Geya berdecih mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Hartawan. Apa katanya tadi? Mendidik? Yang benar saja.
Semenjak kepergian Risa, Hartawan tidak pernah sekalipun duduk berdua bersama Geya dalam jangka waktu yang lama, mengajarkan bagaimana Geya melangkah ke depan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak. Jangankan untuk itu. Baru beberapa saat berada di ruangan yang sama saja, Hartawan dan semua pengekangannya sudah siap menyerang Geya.
Jadi, bagian mananya yang Hartawan katakan sebagai mendidik?
“Udahlah, Pa. Geya capek berdebat terus sama Papa. Lagian, Papa juga enggak pernah mau dengarin Geya,“ ucap Geya. “Geya mau ke kamar dulu, mau istirahat. Capek.”
“Geya, Papa belum selesai bicara!”
Geya tidak menghiraukan Hartawan, tetap berjalan lurus menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Geya menutup kembali pintu kamar dengan tenaga yang sedikit kuat, sehingga menimbulkan suara gebrakan.
“Kamu enggak ada bedanya sama mama kamu, Geya! Sama-sama keras kepala mempertahankan klub sialan itu,” omel Hartawan ...
yang sialnya, masih didengar oleh Geya meski sudah berada di dalam kamar.
◀ ▶
6 Januari 2023
1.216 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro