Bagian 10
Selamat Membaca!
◀ ▶
"Baik, karena sudah melewati dari tenggat yang telah ditetapkan dan target yang ditentukan belum tercapai, maka dengan ini, klub tari resmi diberhentikan untuk sementara dalam waktu yang belum bisa ditentukan."
Rasa-rasanya, pendingin ruangan sudah bekerja semaksimal mungkin. Namun, faktanya hal tersebut masih tidak cukup untuk menginginkan setiap kepala yang ada di ruangan OSIS saat ini.
Semua pengurus inti OSIS dikumpulkan. Tak lupa, juga anggota klub tari dan ketua. Sebab, hari ini, tepatnya dua minggu sebelum hari ini, kesepakatan dibuat. Kesepakatan perihal anggota klub tari yang harus bertambah dari jumlah yang sebelumya. Namun, hingga hari ini, dua minggu setelahnya, kesepakatan tersebut masih belum tercapai sebagaimana mestinya.
"Dan, oleh sebab itu, maka ruangan latihan tari akan dialihkan menjadi ruangan klub merajut."
Setelahnya, bunyi ketukan palu terdengar menandakan bahwa hal yang telah disampaikan oleh Diego selaku ketua OSIS tersebut telah sah keberadaannya. Seiring dengan bunyi palu yang diketuk tiga kali tersebut, desahan kecewa mulai terlontar dari masing-masing anggota klub.
Wajah-wajah penyesalan dan kekecewaan menyelimuti semua anggota yang ada di sana. Penyesalan karena mereka tidak berjuang lebih keras dan maksimal untuk mempertahankan eksistensi klub dan kekecewaan karena mulai detik ini, mereka tidak lagi mempunyai tempat untuk beristirahat dari dunia sekolah yang melelahkan.
Termasuk, bagi Geya sendiri. Sebagai ketua klub, dia merasa sangat malu karena tidak bisa mempertahankan keutuhan klubnya. Sebagai ketua, dia gagal menepati semua komitmen yang dia buat di awal ketika terpilih menjadi ketua klub. Salah satunya adalah untuk senantiasa membawa perubahan yang lebih baik bagi klub. Gadis itu merasa gagal. Sangat gagal.
Di tempat duduknya, Geya mengerang frustrasi. Geya mencengkeram kedua sisi kepalanya dengan erat. Berusaha menghilangkan semua rasa sakit yang mendera di kepalanya.
"Arghh, aku gagal. Aku gagal!" teriaknya.
"Geya, tenang, Geya. Jangan kayak gini. Geya!"
"Aaaaa!"
Tubuh Geya nyaris terpental dari tempatnya sekarang. Gadis itu berusaha mengatur pernapasannya yang beradu cepat, tak seperti biasanya.
Setelah napasnya teratur, Geya lantas memandang ke sekitar ruangan. Dia ada di kamarnya. Bukan di ruang OSIS seperti apa yang tadi dia bayangkan.
Jadi, itu semua hanya mimpi? Klub tari yang resmi diberhentikan sementara itu hanya dalam mimpi?
Geya menghela napasnya lega. Gadis itu memundurkan tubuhnya, bersandar pada sandaran tempat tidur seraya memeluk boneka Doraemon miliknya.
"Cuma mimpi, kok, Geya," ujarnya menenangkan diri.
Sebetulnya, ini bukan kali pertama Geya bermimpi, terkhususnya mimpi buruk. Dia sudah pernah memimpikan hal-hal yang paling menyeramkan dari semua yang pernah ada. Dikejar zombie hingga dirinya sendiri berubah menjadi bentuk serupa, korban penculikan layaknya tengah berada di adegan-adegan film thriller, dan masih banyak mimpi buruk lainnya. Bahkan, Geya pernah memimpikan bagaimana dia mati dengan cara yang begitu tragis.
Tapi, di antara semua mimpi buruk yang ada, rasanya mimpi yang dia alami hari ini adalah yang terburuk.
Kenapa dia harus memimpikan mengenai klub tari? Apa ini adalah sebuah pertanda bahwa klub itu tidak bisa dipertahankan? Terlebih, ini masih awal.
Geya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak. Dia tidak boleh pesimis seperti ini. Masih ada seminggu lewat dua hari untuk dirinya berjuang dan membuktikan kepada Diego-serta terutama Ditya-bahwa klub tari bisa bertahan dan bertambah jumlah sesuai dengan apa yang telah ditargetkan.
Mendadak, Geya merasa haus setelah diterjang oleh mimpi sialan itu. Geya memutuskan untuk pergi ke dapur guna mengambil segelas air minum.
Kondisi jalan menuju dapur terlihat gelap, membuat Geya harus mencari sakelar untuk menghidupkan lampu terlebih dahulu.
Geya memandang ke jam dinding yang ada di dapur. Jarum pendek jam berada di pertengahan angka 3 dan 4. Itu artinya dia sudah tertidur selama kurang lebih 2 jam lamanya. Hari-hari yang berat dan melelahkan membuatnya ketiduran saat pulang sekolah tadi.
Setelah menyiram kerongkongan dengan segelas air, Geya kembali masuk ke kamarnya untuk bersiap mandi. Namun, sebuah panggilan suara yang terdengar menggema di seisi ruangan membuat Geya bergegas meraih ponselnya.
Nama Dean terpampang di layar ponsel sebagai penelepon. Geya mengernyitkan kening. Tumben sekali Dean meneleponnya. Tanpa membiarkan Dean menunggu lebih lama, Geya segera menggeser tombol hijau ke atas.
"Halo, Dean?"
"Halo, Geya. Maaf Eike ganggu sore-sore gini. Geya enggak lagi sibuk, kan?"
"Enggak, kok, Dean. Aku habis bangun karena tadi ketiduran. Ada apa, Dean? Tumben kamu nelepon?"
"Iya, nih, Geya. Tadi pas Eike lagi mandi di kamar mandi, Eike mendadak mendapatkan sebuah ilham di sela-sela waktu itu. Gimana kalau kita minta tolong anak humas untuk membuat pamflet open member klub lalu dipasang di mading sekolah, lalu buat podcast di siaran sekolah?"
Mendengar apa yang disarankan oleh Dean, Geya berpikir sejenak. Saran itu tidaklah buruk. Kenapa Geya tidak kepikiran? Seharusnya, mereka tidak perlu susah payah menghubungi satu per satu teman-teman sekelas untuk mengajak mereka bergabung ke klub. Sebab, ada anak Hubungan Masyarakat yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengumumkan semua tentang kegiatan sekolah termasuk klub, lewat mading dan siaran sekolah.
Sepertinya, Geya perlu mereset isi kepalanya supaya hal-hal seperti ini dapat dia pikirkan di kepalanya. Tanpa harus menunggu, anggotanya yang bekerja ekstra memikirkan ini.
"Halo, Geya? Kenapa diam aja? Saran Eike enggak bagus, ya? Eike minta ma-"
"Enggak, kok," ujar Geya segera memotong kalimat Dean. "Saran kamu bagus banget. Tadi aku diam aja karena aku mikir, kenapa aku enggak kepikiran akan hal itu."
"Oh, begitu. Syukurlah. Eike pikir, saran Eike jelek."
"Makasih banyak, ya, Dean, untuk sarannya. Makasih juga udah sampaikan saran itu ke aku. Besok aku bakal coba omongin ini sama Kak Melody selaku sekbid humas," ujar Geya.
"Oke, Geya."
Panggilan pun terputus dan Geya kemudian memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya yang sudah lengket akan keringat.
•••
Geya mendaratkan tubuhnya di kursi meja rias sembari mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang ada di tangan. Sebetulnya, Geya bisa-bisa saja menggunakan alat pengering untuk mengeringkan rambutnya dengan cepat. Namun, Geya enggan menggunakannya. Lagipula, dia tidak sedang dikejar waktu untuk buru-buru.
Cacing-cacing di dalam perut Geya seketika melayangkan aksi demo, membuat suara tidak menyenangkan keluar dari sana. Geya memang belum makan sejak pulang sekolah tadi. Terakhir kali dia makan, saat jam istirahat. Wajar jika cacing-cacing tersebut mulai protes meminta makan.
Merasa malas memasak sore ini, Geya memutuskan untuk membeli makan di luar. Seusai mengeringkan rambut, Geya lantas mengambil kunci motor, ponsel, dan beberapa lembar uang yang sekiranya cukup untuk membeli makan.
"Geya, mau ke mana?"
Geya nyaris terlonjak dan refleks mengusap dadanya saat mendengar suara yang mendadak datang saat dia mengunci pintu rumah.
"Ngapain lo di sini?" tanya Geya sarkas.
"Kamu mau ke mana, Geya?" tanya Ditya lagi.
"Maaf, tapi sepertinya, ini bukan urusan Anda, Bapak Ditya yang terhormat," ujar Geya dengan memberikan penekanan yang utuh pada setiap katanya.
Geya sendiri tidak menemukan alasan apa yang membuat seorang Ditya datang ke rumahnya dan menanyakan dirinya hendak ke mana. Terlalu basa-basi.
"Lagian, lo ngapain ke sini, sih? Siapa yang nyuruh lo? Nyokap lo? Atau bokap?"
Ditya menggeleng. "Saya yang berinisiatif kemari. Saya hanya ingin memastikan kamu enggak kelayapan ke mana-mana."
Sebentar. Sejak kapan lelaki itu jadi peduli kepadanya?
"Enggak perlu sok peduli, Ditya. Gue enggak butuh kepedulian lo. Dan, apa tadi lo bilang? Mastiin gue untuk enggak kelayapan? Sorry, gue bukan tipikal cewek nakal yang suka kelayapan ke mana-mana. Sekarang, lebih baik lo minggir. Gue mau pergi."
Geya lantas mendorong tubuh Ditya yang sedikit menghalangi jalannya, membuat Ditya mau tak mau bergeser.
"Geya, kapan kamu bisa berhenti membenci saya seperti itu?"
Pertanyaan Ditya membuat Geya berhenti melangkah. Gadis itu memutar kepala, melihat kepada Ditya yang masih ada di posisinya. Perlahan, seutas senyum tampak di wajah cantik milik Geya.
"Saat lo bisa ngembaliin semua kebahagiaan yang udah lo dan nyokap lo renggut dari gue."
◀ ▶
4 Januari 2023
1.239 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro