Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GOB-032

Sekarang adalah tiga hari berlalu sejak sunbae mengurus VISA untuk keberangkatannya ke Jerman. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sunbae pun mulai sulit dihubungi. Tidak masalah, lagian semua juga sudah mendengar kabar sunbae yang ingin meninggalkan Korea Selatan.

Kini kecemasanku berbeda. Mengenai Yena, sedikit pun aku belum mendengar kabarnya. Teleponku masih juga tak diangkatnya. Rumahnya sepi, aku tidak tahu di mana ia berada. Apakah ia sakit atau sedang ada masalah? Atau ia pergi ke suatu tempat atau malah pergi menyusul kedua orang tuanya?

Yoojung dan Saeron sedang mengurus peminjaman buku di perpustakaan. Mereka memintaku untuk pulang duluan. Sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu bersama mereka, namun rasa nyeri di kepalaku memaksaku untuk segera beristirahat di rumah. Aku menunggu Pak Yoon menjemput. Terik matahari yang terasa panas sampai ke ubun-ubun membuatku semakin pening. Apa ini gara-gara belakangan aku kurang tidur? Tugas kuliah memang luar biasa menghabiskan waktu rehatku. Aku tidak sempat makan tepat waktu, tidak sempat tidur secukupnya, bahkan saking fokusnya mengerjakan tugas aku pun lupa waktu.

"Sohyun."

Aku menoleh begitu ada yang menyebut namaku. Kedua bibirku terbuka, mengembangkan sebuah senyuman kelegaan. Setelah hampir seminggu tanpa kabar, akhirnya dia muncul juga.

Yena menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Namun, yang aku tahu, bibirnya sama-sama menyunggingkan senyum. Aku setengah berlari menghampirinya, memeluknya seerat mungkin untuk mengusir rasa rinduku padanya. Begitu banyak hal ingin kutanyakan pada Yena, tetapi Yena duluan yang menepisnya. Dia menyampaikan lebih dulu maksud hatinya. Tidak. Ia lebih dulu mengajakku pergi ke suatu tempat, ke kafe langganan kami.

Yena memesan minuman favoritnya, juga minuman favoritku tanpa kuminta. Kami pun duduk saling berhadapan. Aku menyangga kepalaku dengan kedua siku. Aku menunggu kalimat Yena terucap. Sungguh aku penasaran, hal penting apa yang akan dia katakan sampai akhirnya Yena sendiri yang menemuiku di kampus?

"Sohyun, maaf. Aku tidak mengangkat teleponmu, juga tidak membalas pesanmu. Aku sedang ada urusan. Kuharap, kau tidak menanyakan apapun soal itu."

Masalah, ya? Kami selalu berbagi masalah bersama dan mencari solusinya bersama. Kali ini berbeda. Yena malah enggan membahasnya, bukankah cukup aneh?

"Baiklah, aku tidak akan menanyakan apapun. Mengetahui kau baik-baik saja bagiku sudah cukup."

Bohong. Padahal aku penasaran setengah mati. Tak apa Sohyun, kau harus menahannya. Memendam beribu pertanyaan itu dalam-dalam dan dengarkan saja apa yang sahabatmu akan bicarakan.

"Bagaimana hubunganmu dengan para lelaki itu?"

"Kau ... menanyakan hubunganku dengan para lelaki? Maksudnya, sunbae, Hanbin, Taeyong dan Taehyung?"

"Kau tahu."

Hmm, entahlah. Terakhir kali aku membicarakan bahwa aku ditembak dengan empat orang lelaki sekaligus, Yena justru ngambek. Tapi, tiada angin tiada hujan, ia mempertanyakan mereka. Lalu kujawab apa?

"Sunbae melanjutkan studinya ke luar negeri. Sedangkan, aku bingung harus membuka hati untuk siapa. Mereka memiliki ketertarikan yang berbeda-beda."

"Jadi ... kau sungguh berniat untuk memilih salah satu di antara mereka?"

"Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya bukan? Oh ya, aku merasa fobiaku benar-benar bisa disembuhkan. Hebat kan?"

Yena diam dan bergumam tidak jelas. Aku mengayunkan telapak tanganku di depan wajahnya, kemudian ia tersadar dan menatapku kembali.

"Kau kenapa? Sakit, ya?"

"Ah ... tidak. Boleh kutanya satu hal lagi? Tapi ... kali ini tolong jawab dengan jujur."

"Sejak kapan aku membohongimu? Apa pun pertanyaanmu pasti kujawab dengan benar dari lubuk hatiku. Jangan khawatir."

"Sohyun ... menurutmu aku ini apa?"

"Hah?"

Reaksiku sungguh membingungkan. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba Yena meminta pendapatku tentangnya. Aku berhenti bicara dan berpikir sejenak.

"Kau? Sudah pasti kau sahabatku. Kita sudah lama berteman, kau orang yang baik, perhatian, tidak egois dan tidak keras kepala. Ramah, baik, dan cantik. Apa lagi?"

"Maksudku, eum," Yena menjeda kalimatnya, ia menarik napas sebentar lalu melanjutkan, "bagaimana menurutmu tentang pasangan lesbian?"

"Yen?"

"Sohyun, tolong jawab aku."

Jadi benar yang Taehyung dan Bora katakan? Benar kalau Yena menyukai sesama jenis?

"Yen, kau tahu kan kalau itu ... tidak wajar. M-maksudku bukannya mau menghina atau apa, tapi ... perempuan dengan perempuan? Aku tak bisa membayangkannya. Itu sangat tidak umum, masyarakat pun tidak mungkin sepenuhnya menyukainya."

Yena merapatkan bibirnya. Kulihat kedua tangannya mengepal di atas meja, tampak seperti menahan suatu emosi.

"Sohyun, jika setelah ini terjadi sesuatu, kuharap kau tidak akan pernah menyesalinya, ya."

"Memangnya akan terjadi apa? Yena, kau jangan macam-macam," kataku dengan suara yang menekankan kalimat terakhir. Aku mengerutkan dahiku dan melirik Yena dengan pikiran penuh kenegatifan.

"Ahaha, tidak. Aku hanya bercanda. Mari kita nikmati pertemuan singkat ini sebelum aku menghilang lagi."

***

"Lagi mikirin apa?"

Aku sedang duduk di teras, hingga seseorang menyusulku dan ikut duduk di sampingku. Aku menyampaikan kegelisahanku soal Yena. Dia banyak mengucapkan kalimat yang terus membuatku tidak bisa tenang.

"Apa artinya jika seseorang mengatakan dia akan menghilang lagi?"

"Ya ... artinya dia akan pergi jauh. Mungkin tidak akan bisa bertemu lagi. Kenapa? Apa Eunwoo yang mengatakannya?"

"Tidak. Bukan siapa-siapa," bohongku. Meskipun aku sangat bertanya-tanya, tapi aku juga tidak bisa mengatakan hal ini kepada siapa pun. Termasuk Taehyung.

"Sohyun, kau ingat, waktu masih SMP dulu aku pernah mengatakan bahwa aku akan menikahimu?"

"Hei! Mana ada? Kau nggak bilang begitu, tuh?"

"Iya. Aku ngomong begitu, kok. Kau saja yang sudah kabur duluan karena tak bisa menahan malu. Maklum, aku dulu masih gendut dan jelek."

"Taehyung, jangan berkata begitu. Aku tidak bermaksud. Waktu itu ... aku kan masih kecil. Nggak nyadar sikap dan omonganku bagaimana, jadi tolong jangan dimasukkan hati."

"Iya, iya. Tapi aku serius, aku pernah mengatakan aku akan menikahimu. Dan, itulah yang sebenarnya ingin aku lakukan di usia dewasa. Aku menunggu jawabanmu, Sohyun. Tolong pilih baik-baik pria untuk masa depanmu."

Taehyung bangkit lalu menjatuhkan sebuah buku yang sedari awal ia pegang tepat di atas pangkuanku. Aku mengerling ke arahnya, tapi dia mengabaikanku dan pergi begitu saja.

"Buku apa ini?"

"101 Cara Menjadi Istri yang Baik? Hya Taehyung!!! Aku belum bilang mau menjadi istrimu!!! Dasar kau!!"

Aku menjauhkan buku itu dari pandanganku. Ya ampun. Percaya diri sekali dia.

***

Rutinitasku dimulai kembali. Pergi ke kampus di pagi hari untuk menimba ilmu. Bertemu dengan Yoojung dan Saeron, lalu bersenang-senang menghabiskan waktu. Namun hari ini perasaanku tak setenang biasanya. Ada rasa gusar yang menetap di dalam hati dan pikiranku, tak tahu apa sebabnya.

Kemudian, saat sampai di depan gerbang fakultasku, seseorang menahan lenganku. Menarikku pergi dengan paksa, hingga membuatku marah.

"Hei, apa sih?! Lepas! Sakit tau!! Kenapa kau kasar sekali?"

"Maaf, maaf. Jangan salah paham. Tapi, hari ini ... kau jangan ke kampus dulu. Jangan kuliah, please!" Katanya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajahku.

"Kau mau mengajariku membolos Tuan Taeyong? Jangan harap aku mau mengikuti jejakmu, ya!"

"Stop! Kubilang jangan Sohyun!"

"Tapi kenapa? Apa alasannya? Jangan kau pikir aku mau melakukannya tanpa alasan."

"Ini demi kebaikanmu, aku tidak akan bicarakan di sini. Sekarang, ikutlah aku."

"Nggak mau! Pokoknya aku mau masuk ke kelas dan kuliah!"

"Sohyun, jangan keras kepala! Aku sudah memperingatkanmu!!"

"Tapi kenapa? Kenapa kau melarangku ke sana? Katakan dengan jelas atau aku akan sangat marah padamu!"

"Baiklah. Aku katakan yang sebenarnya," Taeyong menarik tangannya dari lenganku, "pagi ini ada berita dari akun tidak dikenal. Ia menyebarkan gosip kalau kau ...," Taeyong memutus kalimatnya dan membuat batinku tersiksa. Sial, dia mau bicara tentang apa sih?

"Taeyong, cepat katakan! Atau aku akan pergi sekarang."

"Pagi ini ... ada berita dari akun tidak dikenal. Ia mengatakan bahwa kau ... kau sebenarnya ... penyuka sesama jenis. Berita itu juga didukung dengan video beresolusi rendah, namun jelas kalau yang ada di video itu adalah ... dirimu dan ... Yena."

"Apa?! Atas dasar apa orang itu menuduhku penyuka sesama jenis? Apa mereka percaya begitu saja??"

"Kau pun tahu sendiri, fobiamu terhadap laki-laki sudah menjadi rahasia umum. Jelas saja mereka percaya kalau kau ... lesbian."

"Itu tidak benar! Aku harus mengatakan pada semua orang, berita soal video itu hoax!"

Aku memutar badanku dan buru-buru masuk ke dalam fakultas. Dan lagi-lagi Taeyong menahanku.

"Tidak sekarang, Sohyun! Berita itu lagi hangat-hangatnya! Kau bicara sampai mulutmu berbusa pun mereka tidak akan percaya kalau tidak ada bukti!"

Benar juga. Lalu aku harus bagaimana?

Tak begitu lama, beberapa orang yang melintas di sekitar kami melirikku dengan rasa jijik. Oh, aku benci tatapan seperti itu. Mereka sambil melihat layar ponselnya, lalu memandangku bergantian dengan mengucapakan kata-kata yang samar kudengar.

Aku mencoba tidak peduli. Tetapi setelah itu, ponselku dan ponsel Taeyong berdering bersamaan. Oh, ini dari grup line angkatan.

"Sohyun??"

Taeyong melotot tidak percaya. Pun juga diriku. Berita bahwa aku gay dan lesbian bahkan menyebar sampai ke pemberitaan di beberapa televisi swasta. Astaga! Menjadi anak dari presenter paling hot se-Korea Selatan rupanya berpengaruh besar pada kehidupanku. Nama mamaku pun sampai dikait-kaitkan. Mereka yang menuliskan artikel tidak pantas ini juga menghina kalau mamaku tidak bisa mendidikku dengan benar. Aku tidak tahu bagaimana reaksi mama setelah melihat ini. Kariernya pasti juga akan hancur hanya gara-gara berita dari sumber yang tidak jelas.

Aku kacau! Aku kacau sekali lagi! Rasa takut ini perlahan-lahan mulai mengoyak jiwaku. Hancur sudah harapanku untuk menjadi normal. Mereka memandangku sebelah mata, bagaimana bisa aku memberanikan diri untuk lebih terbuka sekarang?

Masalah rupanya tidak hanya sampai di situ. Ketika sekali lagi ponselku berdering, dengan hati yang berdebar aku membukanya. Tanganku gemetar di saat sebuah link terpampang nyata di grup obrolan angkatanku. Aku memberanikan diri dengan mengklik alamat website berwarna biru itu.

"Sohyun?" Taeyong memanggilku dengan lirih. Dari suaranya, aku menebak ada sebuah rasa kekhawatiran.

"Taeyong ... t-tolong bilang i-ini nggak benar," ucapku sambil terus menyaksikan video yang kuputar.

"Taeyong? Ini ... ini bercanda kan? Ini rekayasa kan?" Kataku setengah berteriak, aku menjadi sangat panik.

"Taeyong! Taeyong ... gadis ini mengiris lehernya! Taeyong!!"

Aku kalap. Emosiku bercampur aduk. Antara marah, sedih, bingung, ingin menangis dan berteriak. Aku menjadi seperti orang gila. Aku benar-benar syok dan melempar ponselku ke sembarang arah.

Aku melihatnya! Bagaimana daging di bagian leher gadis itu terbuka hanya dengan sekali sayat. Bagaimana matanya membelalak lebar dan suara tercekatnya terdengar penuh penyesalan. Aku melihat darah mengalir di mana-mana. Dia ... dia bunuh diri! Gadis itu bunuh diri dan merekam dirinya sendiri! Dia, dia ... Yena sahabatku!

Sebelum dia meninggal, dia menyebutkan namaku. Kim Sohyun.


Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro