Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GOB-016


Sementara aku duduk di sofa, keempat pria itu mendapat pengadilan dari mama. Senang melihat mereka menderita. Aku pikir, kenapa tidak dari dulu saja mama memperlakukan mereka seperti ini?

Semua gara-garaku. Benar. Namun, aku tidak menyesalinya sekali pun. Salah sendiri mau tinggal di rumahku. Memang di antara mereka tidak ada yang tahu bahwa aku 'rentan' terhadap 'gangguan' cowok. Terlebih, gangguan pengelihatan semalam yang berhasil menumbangkan kesadaranku.

Ah, tidak!

Aku menggelengkan kepalaku, berniat untuk berhenti mengulang putaran ingatan mengenai 'tontonan' tidak seharusnya seperti kemarin malam. Mana ada, sih, cewek yang rela matanya ternodai? Bahkan dengan cowok—maksudku makhluk— yang paling ingin ia hindari.

Paling tidak, ini adalah akhir. Akhir dari perbuatan sembrono mereka terhadapku. Untuk pertama kalinya, thanks mama.

"Dengar, kalau kalian mengulangi kejadian itu lagi, terutama kamu Hanbin. Saya akan pangkas 'masa depan' kalian sampai tak bersisa!" peringat mama lantang di hadapan keempat pria yang saling tunduk itu. Aku tahu, mereka merinding ketakutan karena aset berharganya terancam hanya karena kesalahan satu orang, Hanbin.

Aku hanya bisa menahan tawa menyaksikan betapa lucunya mimik wajah mereka, terutama Taeyong. Lihatlah, berandal itu bisa menciut juga di depan mama. Kukira, karena dia bertingkah seperti preman, responnya akan biasa saja. Namun, hal yang tadinya aku tuduhkan pada Taeyong, justru terjadi pada si muka triplek, Taehyung.

Kesal juga. Mengapa lelaki itu sama sekali tidak bereaksi? Ancaman mama seolah tak mempan untuknya. Aku jadi penasaran, kelemahan apa yang dimilikinya selain kamar yang berantakan?

"Ya sudah, sekarang kalian bisa bubar."

Setelah itu, mereka sibuk masing-masing. Aku melihat Hanbin dan Eunwoo berjalan menuju kamarnya. Sementara, Taehyung memilih berangkat ke kampus karena ia siap dengan pakaian rapinya sejak pagi. Tasnya pun sudah terpampang indah di punggungnya yang lebar.

Di sini, tinggal aku sendiri. Dan ... Taeyong. Kalian bisa menduganya.

"Wah, tante galak juga, ya?" ucapnya setelah mengambil tempat duduk tak jauh dariku.

Mata Taeyong menyorot tajam, men-scanning-ku dari atas ke bawah. Aku membalikkan badanku ketika tatapannya tak beralih dari dadaku. Mesum.

"Ngapain?" tanya Taeyong yang tiba-tiba sudah ada di depanku.

Tangannya yang kekar menyentuh rambutku. Mencium aromanya dengan mata terpejam.

Sial. Berani sekali dia? Aku tinggal meneriakkan nama 'mama' kujamin, nyawanya akan segera habis.

"Hei!"

"Jangan macam-macam atau kupanggil mama!"

Taeyong bangkit dan menunjukkan seringainya, seraya mengatakan, "Silakan, Nona." Lalu ia berjalan keluar dan menyalakan motornya. Tak tahu kemana.

***

"Hai, Sohyun!" sapaan Yoojung akrab seperti biasanya. Tangannya melambai dan segera aku balas dengan malas.

"Kau kenapa? Tampak lesu begitu?"

"Kau pasti tidak akan percaya," aku memancing Yoojung dengan sebuah berita mencengangkan ini.

"Apa? Apa? Kenapa?"

"Ada empat cowok yang sekarang tinggal serumah denganku!" kesalku sambil menghentakkan kaki.

Oke, ini bukan sifat asliku ketika bersama mereka—Yoojung dan Saeron. Tapi, emosi sedang menguasaiku. Entah bagaimana, aku sangat ingin mengusir keempat pria itu dari surgaku.

Bagaimanapun caranya!

"Hebat! Apa kau menikahi mereka sekaligus?"

"Apa maksudmu?"

Sontak, pertanyaan konyol Yoojung membuatku kaget. Menikah? Dengan empat pria? Sekaligus?

Malah aku tak berencana ingin menikah! Menikah hanya akan menambah masalah. Lagi pula, semua cowok tidak bisa diandalkan. Mereka diciptakan hanya untuk menyakiti kaum wanita. Mereka penjahat wanita. Bagaimana ada hukum pernikahan di dunia ini? Laki-laki dan perempuan tak akan pernah diciptakan untuk saling mendamaikan. Persatuan kedua jenis kelamin itu hanya akan menambah pedas bumbu-bumbu drama di dunia ini.

"Kemungkinan yang membuat Sohyun tinggal bersama empat pria itu: a) Rumah Sohyun dibuka untuk panti asuhan; b) Rumah Sohyun dijadikan tempat penampungan korban bencana; c) Mereka saudara-saudara Sohyun; d) Sohyun menyewakan kamar di rumahnya; e)–"

"Stop, cukup, Saeron. Aku takut kau semakin melantur. Tapi, opsi 'd' itu yang paling tepat."

"Wah! Kalo gitu, izinin aku tinggal di sana juga, dong! Mau ketemu cowok ganteng!"

Ya, insting Yoojung sebagai seorang cewek langsung turn on. Kalau sudah begini, aku yang akan kewalahan menghadapinya. Untung saja tidak kusebutkan, siapa saja cowok yang seatap denganku itu. Kalau sampai Yoojung tahu, dia akan nekad menyelinap di rumahku.

"Tapi, maaf. Yoojung, ini khusus cowok. Kau perlu mengganti kelaminmu kalau mau tinggal di rumahku."

"Ah, jahat sekali!"

Kalimat itu menutup percakapan singkat kami di pagi setengah siang ini. Sudah pukul sembilan tepat, kami harus menyelesaikan kelas Komunikasi Visual yang berlangsung satu setengah jam ke depan.

***

Aku menyandarkan tubuhku ke sofa yang empuk. Menanti tak sabar sesi konseling membosankan ini sampai tuntas. Mama begitu antusias mendengarkan setiap detail yang diperbincangkan oleh Dokter Sohee. Sementara aku, mengalihkan bola mataku ke arah yang tak jelas. Merenung, melamun. Benar-benar bosan.

"Sohyun, kau dengar? Cobalah banyak berinteraksi dengan mereka."

"Ma, jangan bodoh. Bagaimana kalau aku pingsan seperti kemarin?" protesku pada mama.

Tadi pagi saja mama membelaku. Bagaimana pikirannya berubah hanya dalam sepersekian detik setelah Dokter Sohee memberinya saran? Tepatnya, saran itu tertuju padaku yang cukup lelah dan mengantuk di ruang keluarga ini.

"Lakukan pelan-pelan saja, Sohyun. Saya yakin, kamu bisa melawan fobiamu."

"Separah itukah, Dok? Saya rasa, saya bisa mengatasinya dengan cara saya sendiri."

"Menghindar?" tanya Dokter Sohee. Kedua akisnya terangkat ke atas, namun senyum masih mengembang cantik di bibir merah mudanya. Ya, dia dokter kejiwaan yang masih muda dan cantik. Apa dia juga akan memilih untuk menikah? Kenapa aku jadi penasaran? Huh, tak penting.

"Sohyun, menghindari masalah bukan cara yang tepat. Androfobia bisa mempengaruhi segala aktivitas sosialmu. Kalau dibiarkan, segala urusan duniawimu akan terhambat. Termasuk dalam hal pekerjaan. Apa kau mau jadi pengangguran?"

Ucapan Dokter Sohee begitu meyakinkan hingga membuat otakku berpikir keras. Ya, benar. Dunia kerja jangkauannya akan lebih luas lagi. Aku bertemu dengan banyak orang, bahkan kemungkinan aku bekerja dalam tim juga mendekati 90%. Mengingat departemen yang aku pilih di kampus adalah Theatre dan Film. Lalu aku harus bagaimana? Melawan arus dan mulai membuka diri dengan para pria?

Kedengaran mustahil.

"Sohyun, ada kami di sini. Mamamu dan saya akan membantumu untuk sembuh. Kami yakin kamu bisa."

"Hah, semoga saja."

***

Aku tak bisa tidur. Bau ini sangat menggangguku. Rasanya membuat hidungku terbakar. Aku terbatuk-batuk. Tidak tahu dari mana asalnya, yang pasti akan kuusir dan kumusnahkan bebauan ini secepatnya.

Aku keluar kamar, menuruni tangga. Jendela kamarku yang terbuka membiarkan kepulan asap putih transparan masuk tak terelakkan. Membuatku dengan mudah mengetahui di mana sumber asap-asap memuakkan ini berasal. Taman belakang yang letaknya tepat di luar jendela kamarku.

Siapa yang menyalakan rokok malam-malam?!

"Hei, rumahku bukan untuk pria perokok sepertimu! Berhenti atau aku minta mama buat mengusirmu!" kataku refleks sambil menutup hidung.

Aku benci bau rokok.

"Eh, akhirnya datang juga."

Dia menjatuhkan puntung rokoknya. Lalu diinjak-injaklah batang rokok yang tinggal sekelingking itu sampai mati apinya. Baru napasku bisa menghirup segarnya udara secara teratur.

"Bagus," ucapku sekilas.  Memujinya, kemudian hendak beranjak pergi. Namun, sial!

Dia menarik lenganku hingga aku terduduk di pangkuannya!

"Kau! Jangan kurang ajar, Taeyong!"

Aku hampir menamparnya, tetapi, sesak ini datang tiba-tiba.

Aku mengabaikan sikapnya karena terfokus untuk menarik oksigen sekuat-kuatnya. Aku pun terbatuk-batuk. Kali ini bukan karena asap. Melainkan, pasokan udara di paru-paruku terasa menipis. Aku kesulitan bernapas.

Kupukul-pukulkan kepalan tanganku ke dada bidang Taeyong. Memohon agar ia membiarkanku pergi dan melepaskan pelukan yang ia buat di pinggangku.

"Le ... pas," lirihku.

Hingga akhirnya, aku merasakan sebuah kekuatan mendorongku untuk berdiri. Cowok kurang ajar itu melepasku.

Aku meliriknya sesaat, menunjukkan binar 'ingin membunuh' dari kedua mataku. Kupastikan setelah ini dia menyesal karena berbuat hal yang begitu kubenci.

Tepat di saat langkahku hampir mendekati batas pintu, Taeyong meneriakiku.

"Jadi benar?"

"Kau ... androfobia?"















To be Continued.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro