GOB-014
"Sohyun, denger-denger, mamamu kemarin pingsan, ya, di depan kampus?"
"Iya. Tapi, nggak usah khawatir. Mama cuma kecapaian."
Kelas kami berakhir. Hari ini, Yoojung akan menerima penilaian film pendek yang pernah melibatkanku dulu. Anak itu cepat-cepat membereskan barangnya, lalu menuju ruang club untuk pengumuman evaluasi.
"Aku pergi dulu, ya," sapanya sebelum ia melesat pergi.
"Kau nggak ikut Yoojung?" tanyaku spontan pada Saeron yang masih berdiri santai di belakangku.
"Ini lagi jalan. Toh, evalnya masih setengah jam lagi," jelasnya singkat dan santai seperti tanpa beban.
Saeron memang beda. Kadang, lucu saja membayangkan tentang bagaimana Yoojung dan Saeron dipertemukan. Aku salut juga pada gadis ini, sampai sekarang, aku penasaran bagaimana cara dia bertahan karena memiliki teman secerewet Yoojung.
"Hei, kebetulan, nih."
Baru saja keluar kelas, langkah kami dihadang oleh seorang cewek paling menyebalkan. Siapa lagi? Kim Bora.
"Haduh, tiap hari gandengan sama cewek terus. Mana tuh cowok yang kemarin sama kamu?"
"Maaf, ya, Sunbae. Aku sedang tidak mood berdebat."
"Udah aku duga, pasti kamu masih jomblo sampai sekarang. Bisa diakuin dong, kalo aku yang menang tantangan?"
Aku memaksa bibirku tersenyum, tertawa. Mengaku kalah? Itu bukan sifatku. Aku tidak akan sudi gadis songong ini mendapat apa yang dia mau.
Sejujurnya, dia iri padaku. Aku yakin itu. Tapi, mengejarku sampai ke Perth Glory? Bukannya sudah keterlaluan? Apa maunya, sih?
"Sunbae, sudah kubilang kan kalau kau akan kaget melihat siapa yang jadi pasanganku nanti."
"So, poin pembicaraanmu apa? Kau belum punya pacar. Itu kan? Jadi, aku yang menang."
"Woi! Siapa bilang dia nggak punya pacar?"
Kami menoleh secara bersamaan ke sumber suara. Di sana, berdiri cowok dengan rambut messy warna merah pudarnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana ripped jeans-nya. Tindik di telinganya masih menjadi ciri khas, juga ... aku melihat tato baru di lengan kiri bawahnya.
Lee Taeyong.
"Aku pacarnya."
Mataku melebar, tubuhku membeku. Kalimat Taeyong benar-benar mengoyak akal sehatku, Saeron menatapku curiga sementara Bora berdiri mati rasa.
"Kenapa?" tanya Taeyong dengan mulut tanpa dosanya.
***
Aku mengutuk kesabaranku. Gara-gara lama dijemput, aku memutuskan untuk pulang sendirian. Sedari tadi, anak itu menguntitku. Taeyong, ngapain dia tadi datang ke fakultasku dan ngaku-ngaku jadi pacar?
Saeron jadi salah paham. Ah, tapi aku yakin dia tidak percaya ucapan si berandal itu. Dan Bora, dia meninggalkan kami dengan sudut bibirnya yang terangkat tinggi.
"Mau diantar pulang, cantik?" seru cowok itu yang masih setia membuntutiku dengan motornya dari arah belakang.
"Kenapa kau menggangguku?! Pergilah!"
Dia tertawa. Ah, benar. Ini salahku sendiri karena sudah mencari gara-gara dengannya. Sekarang aku diusiknya, tak ada yang bisa menolongku kecuali diriku sendiri.
"Kau cewek yang semalam mengantarku pulang, ya?" tanyanya kemudian tanpa jeda.
"Kalau iya?"
"Aku tidak suka balas budi. Cih."
Taeyong menghentikan langkahku karena tiba-tiba motornya direm di depanku. Hampir saja aku tertabrak olehnya.
"Naiklah. Akan kuantar pulang."
Aku mundur tiga langkah. Ada apa ini? Mendadak sekali, dia mencurigakan. Bagaimana kalau ternyata aku mau diculik, terus disiksanya di sebuah gudang atau gang sempit?
Tidak. Tidak akan kubiarkan!
"Nggak. Nggak mau!"
"Naik atau aku terus menerormu."
"Aku tau kau membual, Lee Taeyong. Jadi, lupakan saja ancamanmu. Aku tidak takut."
Aku mengabaikannya, berjalan angkuh melewati motornya. Namun, tanganku ditarik olehnya. Sebuah helm terpasang di kepalaku tanpa kuminta.
"Naik!" perintahnya. "Sekarang juga atau kuobrak-abrik lagi kelasmu itu."
Ancamannya kali ini membuatku takut. Aku tidak masalah jika Taeyong menerorku, tapi teman-temanku? Mereka tidak salah apapun, jadi tidak pantas dilibatkan begini.
Sial.
Kepalaku terasa pusing sekarang. Membayangkan aku duduk di boncengan belakang itu, membuat nyaliku ciut. Aku seharusnya menjaga jarak, tapi dengan naik motor itu, jarak di antaraku dengan Taeyong seolah-olah tidak ada.
"Tunggu," pintaku padanya.
Segera kukeluarkan botol air minumku, yang belakangan ini kutahu sering dicampur dengan obat anticemas oleh mama.
Setidaknya, rasa takutku sedikit berkurang. Napasku juga lebih normal daripada sebelumnya—yang seperti orang ngos-ngosan.
"Antar aku ke rumah secepatnya."
Karena aku tidak ingin motor ini ambruk di jalan.
***
"Berhenti!"
"Ada apa?"
"Bukankah itu manusia?"
"Itu, yang merangkak di pinggir jalan," lanjutku.
Aku terpaksa mengulur waktu. Kedua mataku menangkap sebuah pergerakan kecil dari arah depan. Jelas sekali itu manusia, bukan setan. Aku meminta Taeyong mengantarku ke sana untuk memastikan.
"Loh, Hanbin?!"
Aku secepat kilat turun dari motor dan menolong Hanbin yang sudah luka-luka. Kakinya saja tak mampu berdiri. Pipi kanannya membengkak, membiru, sepertinya kena pukul. Sikunya lecet karena gesekan dengan permukaan aspal yang kasar. Juga, dari bibirnya keluar darah. Kacau.
"Apa yang terjadi?"
Hanbin hanya menyebutkan dua kata, "Debt collector."
"Taeyong, bisa kau bonceng dia saja?"
"Apa? Anak lemah ini?!"
"Kumohon ...."
***
"
Sweetie, mereka siapa?"
Mama menyambutku yang pulang ke rumah dengan membawa dua orang cowok.
"Aduh, nanti aku jelasin, deh, Ma. Sekarang mana Pak Yoon?"
"Iya, Nona. Ada apa?"
Sopir pribadiku itu pun muncul dari halaman belakang.
"Eh, Nona Sohyun sudah pulang?" kagetnya.
"Nanti aja, Pak, bahasnya. Sekarang bantuin bawa temen saya masuk ke rumah."
Pak Yoon akhirnya menyusul Taeyong yang kesulitan menurunkan Hanbin yang setengah sadar dari motornya.
Kami berkumpul di ruang tamu. Hanbin dibaringkan di atas sofa, sedangkan aku bergegas untuk mengambilkan kotak P3K. Mama yang masih agak pucat melirikku aneh dari seberang sana.
"Sini, biar aku obati."
Tanganku dengan tangkas membersihkan luka Hanbin dan mengolesinya dengan obat merah. Sesekali ia merintih, merasa kesakitan, tapi mampu ia tahan dengan baik.
"Perhatian amat," sindir Taeyong yang sejak tadi memperhatikanku.
"Kuanggap itu sebagai penawaran bantuan, Tuan Lee."
Aku menyerahkan obat merah lengkap dengan kapasnya ke tangan Taeyong.
"Apa ini maksudnya?"
"Kau kan juga pernah melukainya, yah, anggap saja ini bentuk permintaan maaf atas kelakuan burukmu padanya."
"Ogah!" Taeyong menampik obatnya.
"Stop! Kalau kalian mau berbuat ribut, jangan di dalam rumahku!" bentak mama yang belum beranjak dari ruang tamu.
Baru kali ini mama teriak. Tentu membuatku, dan juga Taeyong, ketakutan. Tapi baguslah, berkat mama, Taeyong mau turun tangan mengobati Hanbin.
"Udah, nggak usah cengeng!" bentak Taeyong ketika Hanbin meringis langsung membuat lelaki itu beringsut.
Aku berjalan menuju dapur, menyusul mama yang sedang membuatkan minuman.
"Biar aku aja, Ma. Mama kan masih sakit, nggak boleh kecapaian."
Aku merebut gelas dan gula dari tangan mama.
"Hm, Sweetie ...."
"Iya?"
"Itu tadi beneran temanmu?"
Pertanyaan mama membuat aktivitasku terhenti.
"Ng–nggak juga."
"Sweetie, bukankah ada kamar kosong di rumah kita?"
"Kenapa? Mama mau merombaknya?"
"Mama mau buka kost khusus pria."
"Apa?!"
"Semakin sering kau dekat dengan cowok, semakin mudah pemulihan fobiamu, Sayang."
Apa aku harus menyetujui ide gila mama lagi?
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro