Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

Sebagai makhluk yang imut dan lucu, tentu saja aku takkan membiarkan tuanku bersedih. Oh, tidak nyambung, ya? Anggap saja penyampaianku ini nyambung. Aku memang bukan kucing tercerdas, tapi aku selalu berusaha memahami kebutuhan tuanku.

Namanya Dean. Oh, bukan. Itu bukan nama aslinya. Nama itu bisa dibilang nama panggilan. Ia sendiri kurang menyukai nama asli karena toh nama itulah yang kerap ia sebut tiap kali berkenalan dengan orang baru.

Begitu pula dengan pagi ini. Ia datang ke sebuah kedai yang kutebak begitu asing baginya. Selepas menepikan sepeda, Dean mengerutkan kening dan mendesah berat. Ingin rasanya aku bertanya, "Hei. Apa yang membuatmu kecewa?"

Tapi toh itu tidak mungkin. Suaraku bagi para manusia pastilah hanya terdengar 'meong' atau semacamnya. Saat kukira Dean akan mengubah destinasi, ia mengangkatku dari keranjang dan menempatkanku di salah satu bahunya. Ia lantas memasuki sebuah kedai yang cukup ramai.

Seseorang menyambut kami setelah pintu transparan di belakang kami menutup. Ia mengucapkan selamat datang dan ... menyebut nama kafe ini, kurasa. Ah, buatku sih ini lebih cocok disebut kedai. Namanya Gotez[1]? Gotev? Ah, entahlah. Pokoknya nama asing. Yang kutahu, aroma kedai ini sangatlah kuat. Belum lagi orang-orang di sini masih menguarkan aroma sabun dan beberapa juga menguarkan aroma sampo.

Oh, wow. Aku sampai memejamkan mata. Mentega, bawang, keju ... kurasa Dean akan menyukai kedai ini. Barangkali ia akan ikut antre dan sarapan di sini.

Nyatanya, anggapanku salah.

"Maaf. Toko florisnya pindah?" tanya Dean dengan suara serak.

Beberapa orang dengan seragam putih-hitam saling tatap sebelum salah satu dari mereka menghampiri kami. Ia mengangguk sopan. Agaknya Dean mengenali tempat ini sebagai toko bunga. Ya, ya. Aku tahu kok floris atau flora itu bunga. Dean secara tak langsung mengajarkanku lewat lukisan-lukisannya. Maaf kalau keliru. Kan, aku hanya seekor kucing.

"Toko floris milik Pa Hasan memang sudah tutup, Kak. Soal tokonya pindah atau tidak, kami kurang tahu. Maaf."

Lagi-lagi Dean tampak kecewa. "Oke. Terima kasih."

Helaan napas pendek. Bahu yang merosot. Dean bukan hanya kecewa, tapi juga putus asa.

Seandainya aku mengenal Dean jauh lebih awal, aku pasti akan bisa mencari tahu jejak toko bunga itu.

"Duh!" keluh Dean. Tali salah satu sepatunya terlepas sehingga ia harus membenarkannya.

Dean yang malang. Ia begitu tak beruntung hari ini. Samar-samar, kudengar percakapan dari belakang meja kasir.

"... menanyakan toko bunga. Kalau kau tahu, tidak?"

"Tid—"

"Wah. Rambutmu berubah warna lagi, Una!"

Eh?

Cepat-cepat aku menoleh; teringat mimpiku tadi malam. Toko roti. Pelayan dengan rambut berwarna ungu. Juga pintu.

Oh, astaga. Gadis di belakang mesin kasir itu benar-benar memiliki rambut berwarna ungu! Aku sontak melompat dari bahu Dean.

Oke. Lalu, pintu. Mana pintu bergambar kuda itu?

"Ayo pergi, Muzi."

Aku mendongak dan mengeong pada Dean. Sebuah protes, tepatnya. Tidak! Dia tidak boleh pergi dari sini atau ia akan menyesal!

Mimpiku pasti memiliki makna, kan? Sekarang waktunya mencari pintu itu.

"Muzi? Hei. Kita tidak boleh ke sana! Aduh. Maaf ya, mas, mbak. Kucingku malah ke sana."

Toko roti. Gadis berambut ungu. Pintu bergambar kuda. Pasti ada di kedai ini juga! Keempat kakiku lantas menuruni tangga ke ruangan yang lebih gelap. Aku baru saja hampir terantuk sebuah kardus ketika menyadari sebuah pintu kayu tanpa gagang.

Ternyata benar. Aku tak salah lihat. Pintu di hadapanku ini benar-benar tanpa gagang! Persis seperti yang ada di mimpiku.

"Astaga, Muzi. Mau apa kau di rubanah ini? Ayo kita pulang."

Aku melangkah mundur. Kutatap pintu itu penuh arti.

Masuklah ke sana, Dean!

"Bagus juga pintunya. Ada gambar kuda khas mitologi Prancis. Bolehlah untuk inspirasi lukisanku. Hmmm. Rupanya kedai ini benar-benar bernuansa Prancis. Kontras sekali dengan keadaan desa di negara tropis begini. "

Ya, ya. Cukup untuk kekaguman atas kedai ini. Haruskah aku masuk ke sana duluan?

Eh? Sial. Pintu itu tidak bisa kubuka meski sudah kudorong! Meski aku kucing kampung, badanku kan tidak kurus-kurus amat. Ugh.

"Hei, hei. Kenapa kau mencoba untuk masuk? Kita tidak boleh berlama-lama di sini. Kalau kau ingin roti, nanti kubelikan. Aroma di atas sana lebih sedap," ujarnya seraya menggendongku.

Aku memutar mata. Dasar manusia tidak peka! Sana buka pintunya!

"Sebaiknya kita beli roti apa, ya? Aku terpikir—"

Tubuh Dean lantas bergeming. Kepalanya miring ke satu sisi. Kedua matanya menatap pintu kayu itu lekat-lekat.

"Nia?"

Ah, nama itu! Nama yang senantiasa mengingatkan Dean pada sang adik. Aku belum kenal langsung dengan Nia, tapi belakangan ini tuanku memang sering mengigaukan nama itu dalam tidurnya.

"Nia? Kau di dalam sana?"

Oh? Dean mungkin mendengar suara Nia dari dalam sana? Aku sih tidak. Sepertinya tak semua orang bisa masuk ke ruangan itu. Kalau Dean memang bisa, berarti mimpiku semalam memang memiliki pertanda.

Aku pun melompat turun. Detik selanjutnya, sebelah tangan Dean membuka pintu kayu dan ia melangkah ke baliknya ....

Argh, silau sekali! Aku tak sanggup menatapnya. Barangkali memang hanya Dean yang perlu masuk ke sana.

"Eheheh. Mau sampai kapan kau menunggu?"

Aku mendongak. Siapa itu? Oh, ternyata seekor cecak.

"Ya sampai tuanku kembali, lah," jawabku diplomatis.

"Ahahahah. Tuanmu takkan kembali, tahu! Ia mungkin akan keluar lewat tempat lain. Beberapa memang seperti itu faktanya."

"Diam atau kucakar kau."

"Ahahah. Silakan kalau kau bisa memanjat ke sini. Wleee." Ia bergerak mendekati lampu hanya untuk menjulurkan lidahnya ke arahku.

Sialan. Dia mengejekku!

Tenang, Muzi. Tenang. Aku tak boleh terbawa emosi. Ia bukan lawan yang tepat untukku, tapi mungkin ia memang tahu satu atau banyak hal mengenai pintu aneh ini.

"Hei. Kau tahu ke mana pindahnya toko bunga yang sebelumnya ada di sini?"

"Huh. Sebenarnya aku malas bicara denganmu, tapi karena kau sedang menunggu—rasanya pasti tidak enak, bukan? Dan karena aku tengah berbaik hati, baiklah aku jawab. Toko itu pindah ke kota. Persisnya aku tidak tahu, tapi yang jelas nama jalannya pun nama bunga. Kalau tak salah Gera ... gerani—"

"Geranium?" tanyaku.

"Ah, iya! Itu nama jalannya. Sepertinya tempat yang cukup jauh dari sini. Kalau beruntung, kau bisa langsung menemukannya di balik pintu itu. Tak semua orang dapat melihat apalagi masuk ke dalamnya, kendati pegawai di tempat ini sekalipun."

Mungkin cecak itu benar. Dean sedang mengunjungi toko bunga di Jalan Geranium. Beberapa kali Dean juga mengatakan ia ingin sekali melihat langsung bunga geranium. Barangkali ia memerlukan bunga itu sebagai referensi lukisannya.

Jadi, berapa lama lagi Dean akan keluar dari pintu ini? Atau jangan-jangan cecak itu benar. Ia akan keluar dari tempat lain dan kami takkan bertemu kembali.

"Aku baru saja membagikan info yang kau perlukan, Muzi. Eh, itu kan namamu? Kapan kau akan berterima kasih padaku?"

"Nanti," ucapku. "Setelah tuanku keluar dari pintu ini."

"Oh," desahnya. "Terserah, sih. Aku hanya membeberkan fakta. Lagipula, masa hidup hewan sepertiku pun cukup panjang."

Inilah yang membuatku malas berinteraksi dengan cecak. Mereka seringkali tak dapat dipercaya sepenuhnya. Mentang-mentang tak tersentuh dan bisa bersembunyi semau mereka.

Atau justru ... nyatanya demikian?

Aku mengembuskan napas panjang. Kutekuk keempat kakiku. Apa pun yang terjadi, aku akan menunggu Dean di sini. 

●●●

[1] Goutez Le Votre 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro