Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Forgotten


Aku mengerjapkan kedua mata beberapa kali, berusaha untuk beradaptasi dengan cahaya yang perlahan menembus jendela besar di dinding batu. Setelah mengumpulkan kesadaran, aku duduk di pinggir ranjang dan mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Aku ada di mana?

Ruangan ini sangatlah kecil. Dinding dan lantainya terbuat dari batu. Terdapat ranjang kecil di sudut ruangan. Ranjang lusuh itu adalah tempatku tidur semalam. Namun anehnya, aku tak dapat mengingat apapun. Aku tak ingat apa yang terjadi kemarin, aku tak ingat sedang berada di mana, dan bahkan aku tak ingat siapa namaku.

Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan yang terbuka, menyadarkanku dari lamunan panjangku. Seorang wanita berbaju putih memasuki ruangan. Ia mengenakan masker dan sarung tangan. Tangan kanan wanita itu membawa sebuah buku

"Selamat pagi. Namamu adalah Ayla. Kau tinggal di ruangan nomor 7914. Kau berumur 22 tahun. Kau memiliki seorang adik perempuan bernama Alya, ia berumur 12 tahun dan tinggal di ruangan nomor 7915. Pekerjaanmu adalah pelayan. Sekarang kau boleh keluar dan mulai bekerja. Kau harus kembali ke ruangan ini saat tengah malam. Pastikan kau menyelesaikan semua pekerjaanmu dengan baik. Selamat bekerja!" Wanita itu tersenyum dan menutup bukunya setelah ia selesai membaca data mengenai diriku. Kemudian wanita itu bergegas keluar dan menuju ruangan-ruangan berikutnya.

Aku tak mengerti apa maksud dari wanita itu. Barusan ia mengatakan bahwa aku tinggal di ruangan nomor 7914, dan aku memiliki adik perempuan yang tinggal di ruangan nomor 7915. Itu artinya adikku tinggal di ruangan yang terletak persis di sebelah ruanganku, kan?

Dengan ragu, aku melangkahkan kakiku keluar ruangan. Terlihat banyak orang yang juga baru keluar dari ruangan mereka masing-masing. Raut wajah mereka tampak kebingungan. Dan dari semua orang yang kulihat, tak ada satupun orang yang kukenal.

Kedua mataku menelusuri tempat ini. Gedung bertingkat yang terdiri dari banyak ruangan, dan aku berada di lantai satu. Ketika melihat ke atas, aku menyadari bahwa gedung ini benar tinggi dan terdiri dari sangat banyak ruangan. Namun bangunannya terlihat kotor dan tak terawat. Seluruh dindingnya terbuat dari batu yang mulai keropos. Entah karena sudah tua, atau memang dibangun asal-asalan.

"Apakah kau adalah kakakku?" tanya seorang gadis sambil menarik-narik bajuku.

Aku tersenyum sambil mengusap puncak kepala gadis itu.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Namaku Alya. Aku tinggal di ruangan nomor 7915."

"Kalau begitu, kau benar. Aku adalah kakakmu. Aku tinggal di ruangan nomor 7914, dan namaku adalah Ayla," jelasku. Meskipun aku sendiri merasa bingung dengan semua ini.

"Hei, kau! Gadis pelayan dari 7914! Cepat bantu aku! Jangan bermalas-malasan!" seru seorang pria bermata coklat yang sedang membawa tumpukan piring. Aku pun langsung ingat bahwa wanita yang tadi masuk ke dalam ruanganku, mengatakan bahwa pekerjaanku adalah seorang pelayan.

"Ah, maaf! Aku akan segera membantumu. Tapi apakah adikku boleh ikut bersamaku?" tanyaku.

"Tentu saja tidak! Anak kecil memiliki pekerjaan lain. Suruh saja dia untuk tetap tinggal di ruangannya, dan ikuti perintah dari orang-orang yang mengenakan baju putih, masker, dan sarung tangan," jawab pria itu.

"Tidak, aku mau ikut bersamamu. Tolong, jangan tinggalkan aku." Alya mulai meneteskan air mata.

"Hei, dengarkan aku. Aku tidak akan meninggalkanmu. Saat ini aku harus bekerja. Tapi aku berjanji kita akan bertemu lagi nanti malam. Dan kau juga harus berjanji padaku, kau harus bisa menjaga dirimu dan jangan menangis lagi. Kau berjanji?" Aku menghapus jejak air mata di pipi Alya. Sedangkan Alya hanya mengangguk dan langsung memelukku.

Aku mendekap erat tubuh Alya dan mengecup puncak kepalanya. Rasanya tak tega meninggalkannya sendirian.

"Sebaiknya kita segera pergi jika kau tak ingin dimarahi oleh orang-orang berbaju putih itu," ujar pria di sampingku itu. Aku mengangguk sambil berusaha untuk membantunya membawa tumpukan piring.

***

Sesampainya di dapur istana, terlihat banyak orang sedang bekerja. Ada yang memasak, dan ada yang melakukan berbagai pekerjaan lainnya. Jika dihitung, mungkin ada ribuan jumlah orang di dapur ini. Tak heran, karena ukuran dapurnya yang memang sangat luas.

"Kau ingin melamun terus, Ayla? Kau tak ingin membantuku mencuci semua piring ini?"

"Bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku yang penasaran pada pria di hadapanku ini.

Pria itu terdiam, lalu tersenyum. "Aku mengetahuinya begitu saja."

"Sungguh aneh," ujarku pelan. Aku mulai membantunya mencuci peralatan makan.

"Kau tak ingin tahu siapa namaku?" tanya pria itu sambil tertawa.

"Hmmm, biar kutebak. Namamu adalah Adam?"

"Bukan." Pria itu menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu, Anthony?" tanyaku lagi.

Pria itu menggeleng lagi.

"Lalu?" Aku menyerah.

"Namaku Hans," jawabnya tanpa melihat ke arahku. Kedua tangannya masih sibuk mencuci piring.

"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Atau mungkin hanya perasaanku saja?" ujarku pelan, bermaksud bertanya pada diriku sendiri. Namun ternyata Hans mendengarnya, dan ia hanya tersenyum.

Aku dan Hans melanjutkan pekerjaan kami yang begitu banyak. Dimulai dari mencuci peralatan makan, membantu memasak, dan membersihkan dapur. Hingga tak terasa sudah hampir tengah malam, dan kami semua harus kembali ke ruangan masing-masing. Hans memaksa untuk mengantarkanku kembali ke ruanganku.

"Hans, boleh aku bertanya?" tanyaku ketika kami telah sampai di depan ruangan nomor 7914.

"Tentu." Hans mengangguk.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku tidak mengingat apapun ketika aku bangun tadi pagi? Bahkan seorang wanita masuk ke ruanganku dan membacakan identitas diriku. Jika wanita itu tidak melakukannya, mungkin aku tidak akan mengingat apapun tentang diriku sendiri. Apakah kau juga mengalaminya?" Aku sungguh kebingungan.

"Kau sungguh ingin tahu?" Hans balik bertanya.

"Tentu saja," jawabku dengan mantap.

"Jangan minum apapun yang mereka berikan padamu malam ini. Apapun yang terjadi, jangan telan benda yang mereka berikan padamu. Apa kau mengerti?" Hans menatap kedua mataku dalam-dalam. Aku hanya mengangguk dengan kebingungan.

"Baiklah, sekarang aku harus pergi ke ruanganku. Sebaiknya kau masuk ke ruanganmu. Aku yakin adikmu sudah tidur di ruangannya." Hans membelai pipi kananku, lalu berjalan pergi.

Aku terdiam mematung karena kaget dengan perlakuan Hans. Namun di sisi lain, ada hal yang membuatku merasa telah mengenal Hans sejak lama. Semua ini terasa aneh bagiku karena aku tak dapat mengingat apapun.

"Kenapa kau masih berdiri di sini? Ayo masuk ke ruanganmu." Tiba-tiba terdengar suara wanita yang tadi pagi kutemui di ruanganku. Ia menyuruhku untuk masuk ke ruangan dan duduk di atas ranjang.

"Sebelum tidur, kau harus meminum ini. Ini adalah vitamin yang akan menjaga kesehatanmu agar setiap hari kau dapat bekerja dengan baik," ujar wanita itu sambil tersenyum, lalu memberikan sebuah pil dan segelas air padaku.

Aku hanya mengangguk sambil membalas senyumannya. Aku mengamati pil berwarna putih itu, sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam mulutku. Kemudian aku segera meminum air yang diberikan olehnya.

"Baiklah, sekarang kau boleh tidur. Selamat malam," ujar wanita itu, lalu berjalan ke luar ruangan dan menutup pintu rapat-rapat. Setelah itu aku mendengar bunyi pintu yang dikunci dari luar. Sepertinya wanita itu baru saja mengunci pintu ruanganku.

Setelah memastikan bahwa wanita itu telah pergi, aku segera mengeluarkan pil putih itu dari mulutku. Tadi aku menahannya di mulutku dengan susah payah, dan berusaha hanya menelan airnya saja, tanpa menelan pil itu. Dan aku berhasil.

Aku mengamati pil berwarna putih itu sejenak. Bentuknya lingkaran. Tidak terdapat tanda apapun di sana. Karena bingung, akhirnya aku memutuskan untuk membuang pil itu di bawah tempat tidur. Setelah melemparnya dengan asal, aku mendengar bunyi pil itu seperti menabrak benda lain.

Entah mengapa hatiku berdegup kencang. Aku berusaha melihat ada apa di bawah tempat tidurku. Dan ternyata ada banyak pil yang serupa di sana. Itu artinya aku sudah berkali-kali membuang pil itu, namun tidak mengingatnya sama sekali.

***

Suara pintu yang terbuka membangunkanku dari tidurku. Aku mengusap mataku beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaranku.

"Selamat pagi. Namamu adalah Ayla. Kau tinggal di ruangan nomor 7914. Kau berumur 22 tahun. Kau memiliki seorang adik perempuan bernama Alya, ia berumur 12 tahun dan tinggal di ruangan nomor 7915. Pekerjaanmu adalah pelayan. Sekarang kau boleh keluar dan mulai bekerja. Kau harus kembali ke ruangan ini saat tengah malam. Pastikan kau menyelesaikan semua pekerjaanmu dengan baik. Selamat bekerja!" ujar wanita yang sama dengan yang kemarin. Lalu ia berjalan ke luar ruangan.

Aku mengingat semua yang terjadi kemarin. Apakah karena kemarin malam aku tidak meminum pil itu?

Aku berjalan ke luar ruangan dan mendapati Alya berdiri sambil melamun di depan pintu ruangannya.

"Apakah kau kakakku?" tanya Alya ketika melihatku baru saja menutup pintu ruanganku.

"Iya, aku kakakmu." Aku mengusap rambut Alya sambil berpikir. Alya tidak mengingatku. Apa itu artinya Alya telah meminum pil itu?

"Ayla, ada yang harus kutunjukkan padamu. Tapi kita harus bergerak cepat," ujar Hans yang datang tiba-tiba.

Hans menuntunku dan Alya untuk berjalan cukup jauh menuju sawah dan perkebunan. Di sana aku melihat pemandangan yang sungguh mengerikan. Orang-orang bekerja sekuat tenaga. Mereka yang berhenti bekerja akan dicambuk dan disiksa.

"Apa kau mengingat semua ini?" tanya Hans. Aku menggeleng.

"Maafkan aku, tapi aku harus mengatakan ini. Sebenarnya ayahmu adalah kepala pemerintahan di negara ini, dan ia yang menyebabkan semua penderitaan ini. Sejak ibumu meninggal, ayahmu menjadi begitu serakah. Dulu kau pernah berusaha untuk menghentikan ayahmu. Namun karena ayahmu ingin mendapatkan banyak keuntungan untuk dirinya sendiri, akhirnya ia membuangmu dan adikmu. Setelah itu, ia menciptakan pil yang dapat membuat kita semua lupa tentang apa yang telah terjadi. Jadi setelah disiksa seharian, orang-orang akan meminum pil itu dan melupakan semuanya. Kemudian keesokkan harinya mereka akan bekerja kembali dan tidak mengingat tentang siksaan di hari kemarin. Semua ini terjadi seperti sebuah siklus."

"Apa?" Aku mengernyitkan dahiku bingung. "Tidak mungkin."

Aku tertawa pelan, "Kau pasti sudah gila! Atau mungkin kau salah orang?"

"Lebih baik aku pergi saja. Aku harus segera bekerja di dapur." Aku hampir berjalan menjauh, namun tangan Hans menahan tanganku.

"Apa kau percaya padaku?" tanya Hans. Aku ingin menangis, aku sungguh tidak mengerti dengan semua ini.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku.

"Aku telah memerintahkan banyak orang untuk tidak meminum pil yang diberikan. Dan aku menunggumu untuk memimpin kami semua. Kami butuh kau untuk memimpin pemberontakan ini, Ayla." Hans berusaha meyakinkanku. Aku melirik sekilas ke arah Alya yang memandangi kami berdua dengan bingung.

Aku menatap sekali lagi ke arah para petani yang dicambuk berkali-kali. Jika memang ini adalah perbuatan ayahku, aku tidak akan pernah memaafkannya.

"Baiklah," jawabku.

Hans segera memberitahu orang-orang untuk mempersiapkan senjata rahasia mereka. Hans yakin bahwa jumlah kami yang sangat banyak akan mampu mengalahkan pasukan pemerintah. Aku pun setuju. Sebelumnya, aku telah merintahkan Alya untuk bersembunyi bersama anak-anak lainnya.

Kami semua pergi menuju istana dan menyingkirkan semua pasukan pemerintah yang berusaha untuk menghalangi langkah kami. Ribuan orang ikut membantuku dalam pemberontakan ini, namun ada banyak pula yang memilih untuk bersembunyi.

"Ayah," ujarku ketika ayahku bersama pasukannya berdiri di depan istana, seperti telah mengetahui rencana kami.

"Ayla, kau masih belum berubah. Masih saja keras kepala. Dan ternyata kau masih bersama dengan pria bodoh itu." Ayahku tertawa.

"Kenapa ayah lakukan semua ini? Apakah ayah tak tahu bahwa seluruh rakyat menderita? Mereka semua harus kehilangan ingatan setiap hari, dan terpisah dari keluarga masing-masing." Aku mulai menangis.

"Kau terlalu lugu, Ayla. Sekarang saatnya kau mati dan pergi bertemu ibumu. Aku harap adikmu itu bisa selamat." Ayahku tertawa lagi, lalu memerintahkan pasukannya untuk menyerang.

Rombonganku segera menyerang pasukan pemerintah. Kulihat Hans berlari menerobos peperangan dan mengangkat pedangnya untuk menyerang ayahku. Namun saat ini yang muncul di pikiranku hanyalah mencari Alya. Aku tersenyum lega mendapat Alya dan anak-anak lainnya yang bersembunyi di balik semak-semak di dekat istana.

Peperangan tak berlangsung lama. Rakyat menang karena jumlahnya yang sangat banyak. Dan di luar dugaanku, ternyata mereka telah menyiapkan berbagai senjata rahasia, sehingga mudah untuk mengalahkan para pasukan pemerintah.

Aku menatap ke sekeliling. Mencari keberadaan Hans. Namun nihil. Aku tak melihatnya di mana pun. Aku mulai menangis. Entah mengapa hatiku terasa perih. Alya memeluk tubuhku erat.

"Hei, kenapa kau menangis? Kita menang, dan kau malah menangis?" Terdengar suara dari belakangku.

Aku memeluk Hans erat-erat. Aku takut sekali. Aku kira akan kehilangan dirinya untuk selamanya.

"Aku mencintaimu." Hans mengecup dahiku. "Aku menunggumu lama sekali."

Aku hanya tertawa sambil menghapus air mataku. Lalu Hans memberi isyarat padaku untuk menatap ke belakang. Aku terkejut ketika mendapati orang-orang yang berlutut di hadapanku.

"Mereka berterima kasih padamu. Kau yang memperjuangkan mereka sejak dulu. Meskipun kau tak dapat mengingatnya," bisik Hans di telingaku. Aku tersenyum.

"Rakyatku, kita telah merebut kembali apa yang menjadi milik kita. Kita telah merebut kembali tanah kita. Meskipun kini telah hancur dan dibanjiri darah, jika terus bersama-sama maka kita pasti mampu membangun negara ini menjadi lebih baik. Jangan biarkan orang lain kembali membodohi kita semua. Aku percaya bahwa kita mampu mempertahankan negara kita," ujarku dengan lantang.

"Hidup, Ratu Ayla!" Seketika sorak sorai terdengar menyebut-nyebut namaku.

Aku kembali meneteskan air mata. Kali ini adalah air mata kebahagiaan. Tak akan ada lagi kenangan yang terlupakan. Tak akan ada lagi para penguasa yang menindas kami. Semua ini akan menjadi sejarah yang kelam namun berarti bagi kami, orang-orang kecil yang terlupakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro