Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Silent


Seperti biasa, hari ini adalah hari Senin yang sangat melelahkan. Sebagai siswa tingkat akhir, aku akan bersekolah hingga pukul lima sore, dilanjutkan dengan kelas malam hingga pukul delapan.

"Jadi, silangkanlah susunan DNA ini menjadi ...."

Aku menguap, tanpa sadar. Semua terasa membosankan sekarang. Setiap hari aku terus dicekoki pengajaran yang berbeda dan dituntut untuk menerima semuanya tanpa boleh bertanya.

Tanpa sengaja, kuarahkan mata ke sebelah kiri dan menemukan Caska, teman sekelasku yang cantik itu tampak serius mencatat. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya.

"Pak, tapi jika susunan DNA itu diubah, bukankah hal itu bi—ah!"

Mataku membulat mendengar suara teriakan milik Caska yang kini mengaduh kesakitan. Guruku hanya menoleh, kemudian melanjutkan penjelasannya tanpa mempedulikan Caska yang kesakitan dan memegangi lehernya.

"Seperti yang kalian tahu, tidak ada yang boleh bicara di kelas ini kecuali saya. Kelas saya akhiri lebih cepat, kalian boleh pulang," ucup guruku sambil berjalan ke luar kelas.

Aku merapikan buku-buku yang berserakan di meja dan berjalan menghampiri Caska. Di lehernya terpasang kalung dengan liontin berwarna merah itu kini terlihat bekas jeratan dan luka yang cukup dalam. Kuulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi dengan cepat Caska menepis tanganku.

Mata kami berpandangan, dan melalui matanya aku tahu apa yang akan ia katakan. Pelan, aku menarik kembali tanganku dan segera menjauh darinya. Tidak ada gunanya, aku tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Karena aku hidup di dunia di mana bicara adalah sebuah kesalahan fatal. Kecuali satu, jika aku berhasil mendapat kekuasaan yang cukup. Duniaku berbeda kini, dan aku memilih untuk diam, karena suaraku tidak akan didengar.

***

Aku memainkan liontin kuning yang terpasang di leherku, sesekali kuremas kuat, berharap dapat menghancurkan benda itu, lalu melepasnya lagi karena aku tahu semua akan sia-sia. Ibuku masih menyiapkan makan malam, tetap dalam keheningan.

"Cepat makan dan beristirahat, Zha," kata Ibu pelan.

Tanpa mengucapkan apa pun, aku mengambil sendok dan memakan makanan yang sudah disiapkan dalam diam. Peraturan itu juga berlaku bahkan di rumah, tempat aku harusnya merasa nyaman. Sayangnya benda kecil sialan di leherku ini mampu menghancurkan semuanya.

"Bagaimana sekolahmu?"

Liontinku bergetar dan berkedip pelan, tanda aku boleh berbicara. Kukunyah makanan cepat, kemudian berkata, "Baik-baik saja, Bu, seperti biasa. Hanya saja, ada sebuah kejadian kurang menyenangkan."

"Apa itu?"

"Caska mendapat jeratan di lehernya karena tanpa sadar bicara dan pertanya di pelajaran Pak Hendra. Bahkan Pak Hendra tidak bertanya bagaimana kondisi Caska setelah itu, dia hanya membubarkan kelas, dan pergi."

Ibuku berdeham. "Ibu harap kamu tidak akan melakukan kesalahan seperti itu, Zha. Kita hanya memiliki liontin kuning, kecuali kamu bisa menjadi yang sangat hebat, anggota parlemen misalnya, kita tidak bisa berbicara atau berulah."

Mataku terbuka lebar mendengarnya. "Bahkan Ibu pun tidak bertanya bagaimana kondisi Caska?"

"Semua kesalahan akan mendapat hukuman," jawab Ibu, dingin.

Mulutku terbuka untuk membantah, sayangnya liontin ini berkedip lagi, tanda aku harus diam. Kesal, aku melempar sendok di piring dan berdiri meninggalkan meja makan.

Tidak boleh bicara, tidak boleh protes, tidak boleh membuka mulut. Semua karena pemerintah menetapkan aturan dasar bagi kami. Mereka yang boleh bicara bebas hanya kaum atas dengan liontin merah di kalungnya. Itupun jika pemilik liontin mampu menunjukkan dirinya berkuasa.

Pemilik liontin kuning seperti keluargaku, hanya boleh bicara saat berhadapan dengan kaum kelas bawah, mereka yang menganggur dan hidup serabutan dengan liontin warna hitam di kalungnya.

Aku sangat tidak paham, kenapa kita dilarang bicara dan mengemukakan pendapat? Kenapa tempatku hidup harus sehening ini?

***

Sudah seminggu ini banyak hal terjadi, beberapa kaum bawah ditangkap dan dihukum mati karena mereka bicara dan melakukan demonstrasi besar-besaran. Aku tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, terlalu berisik. Mungkin karena aku tidak terbiasa dengan suara yang terlalu bising, maka telingaku terasa sakit saat mendengarnya.

Setelah seharian dalam diam, aku mendapat pelajaran Sejarah. Salah satu yang kusuka karena melalui sejarah, mungkin aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kata-kata adalah kekuatan terbesar yang manusia punya, Bapak harap kalian dapat mengerti sebab dari terciptanya kalimat itu," ucap Pak Hamid, menutup pelajaran hari ini.

Entah kenapa perkataan itu terus terngiang di pikiranku. Ketika perjalanan pulang, aku kembali melihat demo besar-besaran dari kaum liontin hitam. Langkahku terhenti, entah kenapa tubuhku gemetar mendengarnya.

"Jangan berhenti, terus berjalan."

Aku menoleh, suara tenang itu ternyata milik Caska. Ia menarik tanganku agar terus berjalan. Liontinnya berkedip, tanda dia boleh bicara. Namun, aku tetap tidak boleh. Kasta liontin merah lebih tinggi daripada kuning.

"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi maksud Pak Hamid tadi, aku yakin kamu mengerti," kata Caska lagi.

"Aku lelah dengan ini semua, aku ingin belajar, mencari tahu, bukan menerima apa yang dikatakan oleh orang yang lebih tinggi kastanya dariku," lanjutnya terus, ekspresi wajahnya sangat kesal.

Dalam hati, aku mengiyakan semua perkataannya. Semua ini mengikat, tidak menyenangkan, dan aku juga ingin bisa dengan bebas mengatakan apa yang kuingin.

"Aku tahu tempat mereka berkumpul," ucap Caska sambil tersenyum. "Mereka, demonstran itu. Dan aku akan bergabung dengan mereka, menuntut kesetaraan hak berbicara."

Mataku membulat, apa Caska sudah gila? Dia bahkan berliontin merah, pemilik kasta tertinggi ke dua setelah biru. Kenapa dia melakukan hal ini?

"Mungkin kamu berpikir aneh, tapi sungguh, peraturan ini menyiksaku. Aku yakin, kita dapat berubah, kita bisa mendapatkan keseteraan hak bicara," katanya terus menjelaskan. "Pertanyaanku, apa kamu mau ikut bergabung?"

***

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat aku berada di depan sebuah bangunan tua tidak terawat bersama dengan Caska di sampingku.

"Semua dimulai di sini, Zha. Kita akan bebas, kamu yakin itu, bukan?"

Tanpa menunggu jawabanku, ia menarik tanganku masuk dan berbelok kanan di lorong ke dua, lurus hingga beberapa lorong kemudian berhenti di depan sebuah pintu.

Caska mendekat ke sebuah layar kecil di pinggir pintu, membiarkan sinar biru meneliti iris matanya sebentar. Lalu, pintu pun terbuka dan ia mengajakku masuk.

Pemandangan di dalam sana sangat ... berisik, baru sekarang aku mendengar keramaian ini. Caska terus menarikku masuk dan akhirnya berdiri di depan meja besar, tempat seorang pria duduk.

"Dia pemimpinnya, dan mulai saat ini kita akan bergabung. Melepaskan liontin sialan ini," kata Caska menerangkan.

Aku mengangguk, membaca nama yang terpasang di pahatan meja. Santonius Zikra Ginanta. Aku ... seperti mengenal nama itu, tapi siapa?

"Kami akan melakukannya."

Suara Caska memecah keheningan yang kuciptakan. Sontak, aku mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan sosok itu. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang, aku pernah melihatnya di album?

"Zhatarina?"

"Ayah?"

Sebuah jeratan terasa menyentak leherku dengan keras, aku kehabisan napas. Dan semua menjadi gelap.

***

"Dia anakku."

"Aku meninggalkannya lima belas tahun lalu, tepat ketika peraturan bungkam dibuat. Aku menolak keras, memilih meninggalkan kursi kekuasaanku dan mencari mereka yang mau berjuang bersama."

"Teresa tidak ingin ikut. Dia takut, dan memilih pergi membawa Zhatarina bersamanya. Namun, mata kecil dengan iris cokelat madu itu sangat kukenal."

Sayup, aku merasa pusing dan sedikit mual. Beberapa kali kukedipkan mata untuk menajamkan penglihatanku.

"Jangan bicara dulu," ucap Caska sambil menunjuk leherku. "Kita belum melepas kalung itu, dan peraturannya masih berlaku."

Sekuatku, aku berusaha bangun, memberontak ketika Caska memelukku. Aku membenci Ayah yang meninggalkan Ibu saat aku masih kecil. Sangat membencinya.

"Zha, dengar, maafkan Ayah. Ayah akan menjelaskannya padamu, tapi tidak sekarang. Bisakah kamu tenang dulu? Kita harus melepas kalungmu," kata Ayah sendu.

Aku menggeleng, sungguh aku membencinya, apa pun alasannya. Aku tidak peduli.

"Profesor Zikra, massa yang tertangkap akan dibawa ke pulau di sebelah timur kota untuk dieksekusi mati. Apa yang harus kita lakukan?"

Mendengar itu, Ayah segera berdiri dan mengusap dagunya. "Kita akan bergerak, menuju pulau itu."

"Bukankah itu sangat beresiko, Prof?" tanya Caska tiba-tiba.

"Semua akan baik-baik saja, kamu dan Zhatarina tidak perlu ikut, terlebih Zha. Ayah akan biarkan kamu berpikir dulu," ucap Ayah.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan sekarang, tapi mendengar manusia bisa berbincang dengan bebas seperti ini, membuatku akhirnya menarik lengan Ayah, lalu mengangguk. Aku menginginkan kebebasan ini. Sangat.

"Kamu yakin, Zha?" tanya Caska yang langsung kujawab dengan anggukan.

Ayah tersenyum, berjalan ke mejanya kemudian kembali dengan sebuah gunting berujung lancip, di pegangannya terdapat bahan lempeng berwarna hijau.

"Kita akan buka kalungmu," kata Ayah. "Mungkin awalnya akan terasa sakit, tapi gunting ini akan meminimalisirnya karena ia menyerap listrik yang tersimpan di kalungmu."

Aku memejamkan mata ketika ujung gunting menyentuh kulit, mengisi di antara untaian kalung. Dalam hati aku menghitung, jantungku berdetak sangat kencang. Satu ... dua ... ti—rasa terbakar sedikit terasa, tapi kemudian hilang, dan kalung itu jatuh ke tanganku.

"Cobalah bicara, Nak," kata Ayah.

Kubasahi bibir dan membuka mulut pelan."Kita bebas?"

Lega sekali, aku akhirnya bisa bicara, tanpa perlu menunggu kedipan di liontin itu. Kugenggam liontin yang sudah hancur dan tidak lagi berkilau di tangan.

Setelah Ayah selesai melepas kalung Caska, ia berjalan menuju mejanya kemudian memanggil dua orang yang sepertinya pemimpin juga. Mereka berbincang serius, lalu membuat sebuah denah.

"Prioritas kita adalah menyelamatkan mereka, setelah itu mencari tempat aman. Kita tidak akan kembali ke sini, aku memiliki tempat di pulau kecil seberang pulau itu," kata Ayah menjelaskan.

Pena kecil yang ia gunakan membuat beberapa pola serangan menghasilkan gambar digital yang bisa kulihat dan kupahami dengan mudah.

"Kalian tidak perlu ikut," ucap Ayah padaku dan Caska yang membuat kami berpandangan. "Ayah akan mengirim kalian ke pulau lain demi keselamatan kalian."

"Tidak, Ayah. Aku akan memutuskan bergabung, aku bisa membantu meretas sistem keamanan di sana. Kebetulan, itu adalah hal menyenangkan bagiku," kataku meyakinkan. Ya, aku memang senang meretas dan mengambil alih kendali di berbagai akun.

"Aku bisa membantu kalian menyelamatkan massa. Kita akan baik-baik saja," kata Caska, lagi.

Ayah memandang kami, kemudian mengangguk. "Aku seperti memiliki dua orang anak yang sangat berani. Ayo, segera ganti baju kalian dan kita berangkat."

***

Kami sudah sampai di pulau tahanan, penjagaannya masih ringan di luar pintu masuk bangunan. Dengan mudah aku bisa meretas kata kunci dan mencari tahu jalan aman bagi kami untuk masuk melalui sisi kanan bangunan penjara.

Setelah di dalam, aku dan Profesor Gada berpisah dengan Ayah, Caska dan Profesor Verry karena kami harus meretas keamanan dari kantor pusat, sementara mereka membebaskan massa. Tahanan di sini adalah tahanan tingkat tinggi, mereka yang bicara dengan lantang dan membuat kerusuhan.

Mengendap-endap, kami akhirnya sampai di pintu utama kantor pusat keamanan. Sayangnya, kami tidak bisa masuk karena tidak memiliki akses.

"Sekarang waktunya. Aku akan menyerang siapa pun yang pertama keluar dari pintu itu. Kamu harus masuk, dan menembus mereka, lalu retas agar Profesor Zikra aman. Mengerti?" jelas Profesor Gada padaku yang langsung kujawab dengan anggukan.

Tidak sampai semenit setelah itu, seseorang keluar dari sana. Kami langsung bersembunyi, mencari waktu untuk menyerang. Satu, dua, empat, hingga orang terakhir keluar dan yang lain menghilang di balik lorong.

Profesor Gada dengan cepat menyerang pria berjas hitam terakhir, ia menjerat lehernya hingga pergelutan terjadi. Setelah sang pria menyerah, dan membantu kami masuk ke ruangan itu.

Pria itu menjadi tawanan kami, karena di dalam kantor masih tersisa dua orang penjaga lagi. Profesor Gada mengeratkan kunciannya pada leher pria terakhir, kemudian mengarahkan pistol ke arah dua petugas lain.

Setelah kondisi cukup aman, aku berlari ke komputer utama dan memulai proses peretasan. Sangat rumit, apa lagi jariku gemetar dan aku mulai ketakutan sekarang. Dari ujung mata, aku melihat seorang pria mengeluarkan sesuatu dari jasnya dan berjalan ke arahku.

"Jangan ganggu aku, Bodoh," kataku sambil berbalik dan menendang pria itu tanpa sempat memberinya kesempatan berpikir. Aku memukulnya berulang kali, hingga darah keluar dari hidung dan sudut bibirnya.

Kuambil pistol dari tangan pria itu, lalu berjalan meninggalkannya sambil mengarahkan pistol itu padanya. "Jangan bodoh, apa kalian tidak bosan hidup dengan sunyi bahkan bisikan saja tidak terdengar?"

Setelahnya, aku kembali meretas. Sempat terjadi pergulatan lagi yang berakhir dengan Profesor Gada menembak dua dari tiga tawanan kami.

"Selesai, Prof. Kita harus pergi sekarang," kataku sambil berjalan ke arah luar.

"Semua sudah dibebaskan?"

"Dari apa yang kulihat dan kumanipulasi di layar, Ayah berhasil membebaskan mereka. Mungkin sekarang mereka sudah sampai di pinggir pantai, menunggu kita."

Profesor Gada mengangguk, ia menarik tawanan yang tersisa dan berjalan keluar memimpin. Di lorong pertama, kami bertemu dengan tiga petugas yang dapat dilawan oleh Profesor Gada meski bahunya mengalami luka tembak.

Sedikit lagi kami berhasil mencapai sisi luar bangunan, sayangnya mereka mampu mengambil alih kembali kendali dengan cepat, pintu keluar akan segera tertutup.

Aku berlari dengan cepat, terus tanpa menengok ke belakang. Entah berapa banyak suara tembakan yang terdengar, tapi yang kutahu hanya aku harus pergi dari sini secepatnya.

"Zhatarina," panggil Profesor Gada, sesaat sebelum aku sampai di pintu keluar.

Saat menoleh, aku melihatnya terjatuh dengan sambil memegangi perut kirinya yang berdarah. Dia tertembak, di tempat vital, aku menggeleng, ketakutan. Apa yang harus kulakukan?

"Sampaikan pada Profesor Zikra, semua harus dilanjutkan," ucapnya terengah menahan sakit. "Kalian harus lari, keluar, dan berjuang."

Suasana semakin riuh, petugas berdatangan, dan aku panik. Pelan, kuanggukan kepala dan mengucap terima kasih tanpa suara padanya, lalu berlari keluar pintu tepat sebelum pintu tertutup.

Langkahku tidak berhenti, aku terus berlari menuju gua yang sudah ditandai sebagai tempat pertemuan kami. Air mata mengalir dan membasahi pipiku, semua kejadian tadi masih terekam jelas. Aku berlari, tanpa peduli apa pun, aku harus pergi, dan selamat.

"Zha!"

Suara Caska membuatku tersadar, ia berlari menghampiriku di mulut gua dan memeluk tubuhku erat. Aku memandanginya yang terluka di pelipis, juga memar kecil di sudut bibirnya.

"Maaf, Profesor Gada ... aku, aku kehilangan dia," kataku sambil menangis.

Caska menenangkanku, lalu mengajakku masuk. "Kita akan segera pergi, dengan kapal selam tadi. Semua sudah masuk. Tenangkan dirimu, ya?"

"Di mana Ayah?"

Caska terdiam, menggenggam tanganku erat.

"Di mana Ayah?"

"Kita akan berangkat, sebelum mereka menyadari tempat persembunyian ini, Zha," jawabnya sambil mengajakku masuk ke kapal yang kini terasa penuh.

Beberapa dari mereka tampak lega, meski luka memar menghiasi wajahnya. Caska terus mengajakku masuk, sampai di sebuah ruangan berpintu putih.

"Profesor Zikra mengatakan kita harus meneruskan semua ini. Semua belum selesai, ini baru permulaan. Kita akan merencanakan semua dengan lebih baik lagi. Kamu berjanji?"

Tubuhku melemas, pikiran buruk menghantui. Kubuka pintu ruangan tersebut, dan seketika jatuh terduduk.

"Ayah!"

***

Benar kata Ayah dan Profesor Gada. Perjuangan harus diteruskan. Saat ini kami menyelam dan melarikan diri, tapi bukan untuk selamanya. Kami hanya mempersiapkan segalanya lebih. Laut ini akan menjadi saksi.

Kulangkahkan kaki menuju lambung utama kapal selam, ramai. Semua orang berbincang, dan tersenyum. Aku memejamkan mata. Meski dalam bisikan yang diam, aku tahu Ayah tersenyum sekarang. Aku akan mewujudkan impiannya.

Suatu saat, duniaku tidak akan lagi hening. Tidak hanya akan ada bisikan kesal, atau jeratan di leher ketika kita ingin bicara mengemukakan pendapat. Aku yakin. Suatu hari nanti.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro