Finesse
Raymond Alfarenza (356/356)
Seorang pemuda memperhatikan hologram transparan di atas jam tangan yang menampilkan namanya pada barisan terbawah peringkat umum ujian akhir semester.
Hembusan napas yang lebih terdengar seperti bentuk kepasrahan keluar dari bibirnya. Beberapa teman, ah tidak, mungkin kenalan lebih tepat, melirik ke arah tempat duduknya dengan pandangan merendahkan lalu melengos begitu saja.
Ia tak peduli, diambilnya tas yang hanya berisi sebuah tablet tipis, membawanya di bahu kemudian keluar kelas dengan tak acuh.
Koridor sekolah terlihat ramai namun sepi di saat bersamaan, tak terdengar canda tawa atau obrolan ringan, hanya suara langkah kaki dan desing pelan sejumlah kamera pengawas yang terbang beberapa meter di atas kepala.
Raymond berbelok ke arah perpustakaan, duduk di bangku paling pojok dan mengamati keadaan sekitar. Beberapa menit berlalu dan akhirnya keadaan yang diharapkannya datang.
Batinnya tersenyum sinis, "Dapat!"
Tepat seperti dugaannya, si ranking satu diseret keluar oleh seorang siswa berbadan besar diikuti beberapa orang lainnya. Murid-murid lain yang berada di sana hanya melirik sekilas, beberapa tersenyum sinis, sisanya melengos maklum.
Raymond mengikuti gerombolan orang tersebut, berjalan santai beberapa meter di belakang agar tak ada yang curiga. Sekumpulan siwa di depannya berbelok ke arah koridor yang lebih sepi sebelum berbelok lagi ke halaman belakang sekolah.
Raymond bersembunyi di balik tembok, mengamati apa yang akan dilakukan oleh preman-preman itu. Ah, kalau tidak salah, mereka adalah si ranking empat puluh satu hingga empat puluh lima. Raymond tak begitu ingat nama mereka, tapi ia yakin melihat foto mereka terpampang di layar hologramnya beberapa menit lalu saat ia mengecek peringkat paralel sekolah.
Suara pukulan yang cukup keras membuat Raymond kembali pada kesadaran dan kembali mengamati. Ia sedikit terkesiap saat si ranking satu sudah jatuh tersungkur, kepalanya membentur ujung runcing bangku bekas, darah yang mengalir dari hidung dan bibirnya terciprat dan membaur dengan bekas darah lain yang telah mengering.
"Sial!" Raymond yang merasa kecolongan berlari keluar dari persembunyiannya dan langsung menahan kepalan tangan yang akan meninju si ranking satu lagi.
Beberapa orang di sana mendengus kesal dengan kehadiran Raymond. Saat itu Raymond baru menyadari formasi kelima orang itu. Salah satu di antara mereka duduk bersila, bersandar pada temboh dengan tangan mengutak-atik hologram, sepertinya ia sedang meretas sistem keamanan sekolah agar tak ada kamera pengawas yang melewati mereka, dua orang memegangi tangan si ranking satu, ditambah seseorang yang sedang membongkar kacamata canggih si ranking satu, dan satu sisanya sedang berusaha melepaskan kepalan tangannya dari cengkraman Raymond.
"Ternyata benar desas-desus yang kudengar, si ranking terakhir suka mencampuri urusan orang lain, huh?" Si ranking empat puluh tiga, yang berbadan paling besar mengeluarkan suara setelah berhasil menarik kepalan tangannya.
Raymond tersenyum menanggapinya. "Ah, aku tidak bermaksud begitu. Tapi bukankah perbuatan yang kalian lakukan ini bukan hal baik?"
Si ranking empat puluh dua yang sebelumnya berkutat dengan kacamata milik ranking satu menyahut dengan wajah tengil, "Pergilah sebelum terlambat bung, atau kau mau menjemput ajalmu juga seperti si jenius ini?"
"Tak perlu membunuhnya juga, hanya membuang tenaga, ia sama sekali tidak penting." Ranking empat puluh satu menimpali dengan mata yang tak beralih dari hologram.
Raymond mundur selangkah mendengar obrolan mereka, tangannya meraba bagian belakang saku celananya. Ah, sial. Ia sedikit melotot dan memaki dalam hati saat tangannya tak berhasil menemukan pisau lipat yang seharusnya berada di sana. Senyum politiknya masih tersungging saat kelima pasang mata menatapnya dengan pandangan menusuk.
"Sepertinya aku memang mengganggu ya, baiklah aku akan pergi."
Ia berjalan mundur dan berbalik untuk segera pergi dari tempat ini. Suara hantaman keras dan erangan kesakitan terdengar seiring langkah kakinya berjalan cepat.
Sial! Sial! Sial! Mengapa aku seceroboh itu meninggalkan pisaunya! Si ranking satu itu pasti sudah mati sekarang.
Raymond terus saja merutuki dirinya yang tidak berhasil menggagalkan rencana pembunuhan untuk ke sekian kalinya. Ia membawa kakinya menuju ke adah lift dan pergi ke bagian teratas sekolahnya.
Ya, ini bukan kasus pembunuhan pertama yang berusaha digagalkannya. Pembunuhan di sekolah ini tentu bukan hal yang dilakukan tanpa sebab dan sepertinya bukan sekolahnya saja yang memiliki kasus pembunuhan setidaknya setiap sebulan sekali.
Satu-satunya penyebab pembunuhan ini tak lain adalah karena perebutan peringkat. Semua siswa-siswi berlomba-lomba agar menjadi yang teratas, mengejar peringkat tertinggi ujian kelulusan sekolah.
Raymond berjalan ke arah pagar pembatas transparan, mengamati pemandangan kota yang dihiasi langit jingga yang hampir menggelap. Kota ini tak pernah tidur. Ya, setidaknya segala teknologi yang dilihatnya saat ini tak pernah terlihat sedang tertidur.
Manusia tak perlu lagi bersusah payah, segala pekerjaannya sudah dilakukan oleh mesin dan robot-robot yang dapat ditemui di hampir setiap tempat di dunia. Bahkan di tempat orang-orang kumuh yang hidup berdampingan dengan tumpukan sampah masih ada robot yang terlihat robot yang bertugas memilah sampah atau teknologi yang berusaha menghancurkannya.
Namun itulah masalahnya. Hampir tak ada lagi pekerjaan yang dapat dilakukan manusia. Hampir segala kemampuan manusia telah digantikan oleh ribuan, bahkan jutaan teknologi canggih yang telah tercipta.
Ya, hampir. Tentu saja, ada dua bidang pekerjaan yang masih harus diambil alih oleh manusia, pemerintahan dan keamanan.
Karena itulah semua murid berlomba-lomba dalam bidang pendidikan, segala cara dihalalkan untuk mejadi yang teratas, untuk menduduki kursi pemerintahan maupun kemiliteran yang tersisa. Sayangnya hal tersebut sama sekali tidak mudah.
Kerasnya sistem pendidikan, tuntutan untuk menjadi sempurna, teknologi yang menumpulkan otak. Juga penentu masa depan mereka, sekolah tinggi yang akan mereka jalani seusai kelulusan. Sekolah tinggi itu yang akan membawa nasib mereka, penentu posisi mereka di pemerintahan, kemiliteran, atau menjadi gelandangan yang hidup bagai rongsokan.
Sayangnya, sekali lagi, tak mudah untuk dapat belajar di perguruan tinggi. Membludaknya populasi, kebutuhan akan tingginya kualitas, dan keterbatasan tempat membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan. Hanya lima puluh orang terbaik di ujian kelulusan setiap sekolah yang dapat belajar di sekolah tinggi, dua puluh lima teratas di pemerintahan dan sisanya akan berada di kemiliteran.
Memang masih ada pekerjaan lain yang tersisa, pekerjaan yang menyangkut pengetahuan dan seni misalnya. Tapi dengan adanya segala teknologi saat ini, manusia tak merasa membutuhkan pengetahuan baru yang dapat menunjang hidup mereka. Dan sesuatu seperti kisah fiksi dan keindahan tak lagi dianggap begitu penting, hiburan memang dibutuhkan, tetapi seniman tak terlalu menjanjikan.
Setelah puas memandangi perkotaan di bawahnya, Raymond duduk bersila dan mengeluarkan tabletnya. Tanpa terasa, langit sudah menggelap sepenuhnya saat ia mengeluarkan tablet tipis dari tas dan mulai mempelajari beberapa mata pelajaran yang harus ia perisapkan untuk ujian akhir beberapa bulan lagi. Tak ada yang perlu ditakutkan, Raymond yakin di dalam gedung sekolahnya masih banyak murid yang fokus pada tablet yang berisi jutaan data yang dibutuhkan untuk mengangkat peringkat mereka.
***
Beberapa bulan berlalu. Raymond tetap sama, peringkatnya tak pernah naik dari tiga ratus lima puluh enam, si terakhir. Ia tetap sama, berusaha menggagalkan setiap rencana pembunuhan yang ia tahu. Lima kali, satu kali berhasil, sisanya gagal. Ia tetap Raymond yang sama di sekolah yang sama, Raymond yang dipandang rendah, yabg dianggap tak akan mengancam masa depan siapapun.
Ya, ia tetap sama. Kecuali hari ini.
Ujian kelulusan telah berlalu satu hari yang lalu dan beberapa menit lagi data kelulusan dan peringkat mereka akan diumumkan, masa depan mereka akan ditentukan.
Ting
Notifikasi yang berbunyi serentak di seluruh penghuni sekolah mengagetkan Raymond. Seperti murid yang lain, ia langsung membuka notifikasi tersebut.
Tatapan dari teman-teman—ralat, kenalan—sekelasnya sama sekali tak dihiraukan. Raymond hanya menatap tak acuh apa yang tertera di layar hologram, seolah yang tertampil di sana sudah diketahuinya jauh-jauh hari. Tanpa banyak tingkah, ia menyampirkan tas yang hanya berisi sebuah tablet tipis dan melenggang keluar kelas, tersenyum sinis dengan segala tatapan yang kini terarah kepadanya.
Raymond Alfarenza (1/351)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro