Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Back


"Sialan, lari ke mana dia?" Salah seorang dengan pakaian prajurit kerajaan berhenti di sebuah perempatan jalanan yang sepi. Tak lama, keempat temannya menyusul dengan kuda.

Di sisi lain, seorang gadis dengan gaun selutut yang sobek tengah mengintip dari atas atap—tak jauh dari tempat kelima prajurit istana berada. Napasnya masih terengah setelah sebelumnya berusaha memanjat tali dengan cepat. Kalau tidak, sudah ditangkap ia saat ini.

"Ck, awas saja Kau kalau tertangkap nanti, Nephi!" teriak prajurit itu ke segala arah. "Jangan kaupikir aku tidak bisa menangkapmu. Aku hampir menangkapmu tahu! Tunggu saja..." Dengan bujukkan prajurit lainnya, ia berhenti mengoceh kemudian pergi ke salah satu jalan.

Nevi mengembuskan napasnya malas. Rasanya ingin tertawa sekencang mungkin mengingat ucapan salah satu prajurit yang seringkali mengincarnya itu hanyalah bualan.

"Berapa lama aku menunggu?" gumamnya tanpa sadar, lalu melirik satu kantung kertas roti daging yang berada di sebelahnya, mengambil sedikit bagiannya sampai—

"Kau terlalu lengah Esperanza Neph," suara seseorang mencegah roti itu masuk ke tenggorokannya.

Sama halnya dengan tubuh Nevi yang terkunci oleh tangan pria itu. Ah, sialan, ia benar-benar terlalu lengah dan sepertinya ia tak punya pilihan lain selain memejamkan mata begitu saj—

Pria itu menajamkan pandangannya, tubuh gadis itu entah kenapa terasa memberat. Ini bukan yang dirinya inginkan saat menyetujui tugas dari kerajaan untuk menangkap pencuri ulung yang membuat kerajaan kebakaran bulan lalu.

"Berteriaklah," kata pria itu.

Nevi tak menjawab.

"Buka matamu!"

Nevi membukanya, menatap wajah pria itu malas.

"Lakukan sesuatu atau—"

Puih....

Satu semburan dari mulut Nevi terbang dan masuk tepat ke mulut pria itu, membuatnya terdiam seketika. Melepas cekalan tangannya dari gadis itu, sementara wajahnya terlanjur memucat, otaknya mencoba mencerna, dan ... mau tak mau ia menelan—gumpalan roti itu. Iya, roti yang sebelumnya hendak ditelan oleh Nevi.

Serius, itu menjijikan.

"Pffft...." Nevi terbangun dari posisinya yang lebih aman dari sebelumnya. Ia tak boleh lengah, tapi apa daya, ia tak sanggup menahan tawanya dan langsung menyembur pria itu dengan tawanya. "Hahahaha, apa-apaan reaksimu itu? Hahaha, Ya Tuhan, cukup sudah hiburan hari ini. Kenapa aku harus menemukan—"

Pria itu menatapnya tajam, membuat Nevi mundur selangkah sambil menarik kantung kertas berisi roti tadi.

"A—aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya, bukan? He—hei, jangan menatap seolah ini kesalahanku. Kau yang membuatku melakukan hal itu. Lagi pula," Nevi menarik sesuatu dari kantung celananya, sebuah pisau tua yang cukup panjang. Lalu mengulurkannya.

Namun, bukan artinya pria itu akan takut melawan pisau tua itu. Sudah jelas, bukan? Kalau dibandingkan dengan Nevi. Pria yang namanya tak ia ketahui itu lebih bermodal dan mungkin ia punya sebuah pistol otomatis. Tapi tampaknya, ia tak berniat untuk menyerang seperti sebelumnya, atau meringkus Nevi dan membawanya pada pimpinan negeri ini. Sorot matanya berubah saat menyadari sesuatu.

"Cih." Nevi menyadari tatapan itu. "Sekarang apa-apaan tatapanmu itu?" Tangannya mendekap erat-erat kantung kertas itu.

Dan itulah yang dilihat pria jas hitam itu.

"Jangan menatap seolah-olah kau kasihan padaku. Aku tahu kalau kau sama saja seperti orang-orang itu."

Pria itu tergeming. Dan saat itulah, Nevi pergi meninggalkannya.

***

"Sudah kubilang jangan melakukan hal itu lagi," suara pria tua terdengar tegas meskipun sedikit bergetar. "Kau tahu itu berbahaya, bukan?"

Gadis yang diajak bicara olehnya malah tersenyum dan memandang ke arah lain. Tepatnya ruang makan kecil di pojok sana. Ia benar-benar tergila-gila akan kebahagiaan kecil di ujung sana, sampai-sampai tidak mendengarkan apa ucapan Pak Kepala Panti—Nevi biasa memanggilnya Vic. Lagi pula, apa yang ia ucapkan tak akan berubah. Intinya, Nevi tengah dimarahi karena mencuri lagi.

"Esperanza, kau mendengarkanku, bukan?" suara Pak Tua itu meninggi.

Nevi malah bersiul. Ia memang kurangajar, tapi....

"Apa kau sendiri tidak lihat bagaimana bahagianya mereka, Vic?" tanya Nevi mengabaikan pertanyaan yang seharusnya ia jawab.

Ia terdiam sesaat. Sesekali pandangannya beralih pada Nevi, gadis itu memikirkan sepercik kebahagiaan orang lain di tengah kehancuran yang hampir mengepung kerajaan ini. Ia bertingkah seolah ini hanyalah kehidupan biasa dan mencuri seolah ia hanya kucing yang mencuri ikan di pasar.

Padahal, pada kenyataannya tidak demikian. Vic tahu mengingat ia seringkali menemukan Nevi tengah menangis di kamarnya. Lalu, kegagalan-kegagalan gadis itu yang sebenarnya dapat menyisakan trauma. Seperti kejadian bulan lalu kala ia tak sengaja membakar istana. Kaki kanannya terkena luka bakar dan dalam waktu singkat ia sudah melakukan hal-hal berbahaya hanya untuk sepercik kebahagiaan bagi anak-anak panti ini. Beberapa potong roti daging yang biasa ada di awal bulan saja.

Di sisi lain, seharusnya bukan ini kehidupan seorang Nevi.

"Lalu kebahagiaanmu bagaimana?" Tanpa sadar Vic mengatakan hal itu. Dan ucapan itu cukup untuk membuat Nevi menahan napas dan senyum yang sebelumnya terukir.

"Apa kau bahagia hidup di bawah tanah dari reruntuhan bangunan-bangunan yang indah di atas sana?"

Nevi terdiam.

"Kau tahu nama Esperanza Neph sangat buruk di kalangan orang-orang atas? Tapi kau lebih memilih hidup dengan nama itu padahal—"

"Vic!" Satu suara menyentak keluar dari bibir Nevi. Ia tidak bermaksud membentak orang yang lebih tuanya atau apa. Nevi hanya merasa kalau semua ini....

"Kau tahu, Nev?" suara Vic terdengar kembali. "Masih banyak orang-orang yang mengharapkan pimpinannya untuk kembali."

Nevi enggan menjawab. Karena kalau ia menjawab, rasanya hanya akan memberikan sebuah penyesalan saja. Ah, ia memang sudah menyesal sebelumnya.

"Dia—"

"Vic, sudah kubilang dia sudah mati! Putri sialan itu sudah kubunuh! Ia tidak pantas hidup di atas kematian ratusan orang atas kekonyolannya! Ia yang memulai semua kehancuran ini. Sudah sepantasnya ia mati dan sampai kapanpun, sampai kapanpun—"

Bulir air mata membat pandangan gadis itu memburam. Pecah dan menyisakan pemandangan tanpa kejelasan. Satu demi satu dan perlahan mengalir begitu saja.

"Ia tidak boleh—"

Vic mendekat ke arah Nevi, kemudian mengusap lembut kepala gadis itu seperti ayah kepada putrinya. Iya, Nevi sudah ia anggap seperti putrinya setelah dirinya kehilangan putri kandung dan istrinya pada insiden itu.

"Ia harus kembali," gumam Vic pelan. "Ia bukannya mati...."

Nevi semakin terisak mengingat hal itu. Iya, sang putri pada kenyataannya belumlah mati. Ia masih ada d dunia ini. Ia hanya....

"Kau hanya takut mengulang kesalahan yang sbenarnya bukan kesalahanmu, Putri," Nada bicara Vic berubah. Bahkan nama panggilan Nevi yang sesungguhnya pun berubah. "Kau bersikap seolah tak peduli lagi, tak punya hati lagi, padahal ... kausendiri yang paling takut akan kehancuran negeri ini, bukan?"

Nevi enggan mengingatnya. Tapi, kenapa ia malah mengangguk? Hati kecilnya bertanya.

"Kau ingin mengembalikannya seperti semula, bukan?"

Perlahan Nevi mengangguk.

"Kau ingin mereka yang bersembunyi entah di mana itu kembali juga, bukan?"

Lagi-lagi Nevi mengangguk.

"Maka secepatnya, kau harus kembali pada tempatmu."

Rasanya sulit, Nevi takut merasakan hal yang mengerikan di atas sana. Ya, padahal hanya itu. Hanya hal itu yang ingin ia enyahkan dari negeri ini. Tapi tanpa sadar, ia sendiri yang memperburuk keadaan. Ia tak tahu harus apa. Ia hanya ingin....

"Semua menunggumu kembali, Putri."

...mengembalikan kebahagiaan yang ada. Hanya itu.

END

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro