Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Yang Tak Terbayang

Masa muda. Satu hal yang akhir-akhir ini terpatri dalam benak seorang Kanara. Masa yang saat ini akan segera berakhir. Entah apa yang selama ini terjadi sampai-sampai keberadaan sang waktu tak pernah ia sadari. Semuanya berlalu begitu cepat.

Hari ini, ujian nasional yang menjadi momok menakutkan bagi sekian banyak orang telah berakhir. Well, entahlah. Jujur saja, Nara tak merasakan hal itu pada masa putih abu ini. Justru rasa santai berlebihan yang membuatnya takut. Saking santainya ujian kali ini. Mungkinkah karena pengalaman ujian nasional yang ke sekian kalinya? Ia bahkan tak bisa memastikan hal itu.

"Cieee, sesi dua kelar," ucap seseorang saat gadis itu mendaratkan tubuhnya di sebuah bangku. Refleks, gadis itu menoleh dan mendapati sosok yang akhir-akhir ini ... ia—rasa ia—rindukan. Belum membalas, ia malah mengulas senyumannya.

Padahal sendirinya sesi dua, batin Nara.

"Loh, tumben lu nggak nyerocos," kata cowok itu bingung. Sekarang ia sudah duduk di bangku kosong sebelah Nara. Tanpa sadar, gadis itu menahan tawanya. Juga, ocehan dalam benaknya yang sudah lama tak ia lontarkan pada cowok itu.

Oh ya, cowok itu Rio. Cowok yang sebenarnya adalah teman sekelas Nara sejak tiga tahun lalu. Bukan hanya Rio, sih. Satu angkatan mereka memang tidak dipecah sejak dulu. Padahal angkatan di atas dan di bawah mereka dipecah. Lagipula, kalau kelas mereka dipecah, Nara tak tahu apa yang akan terjadi. Termasuk tentang keberadaan seorang Rio.

Kembali soal Rio. Dua minggu kemarin, kelas mereka dipecah—pada akhirnya. Sesuai mata pelajaran yang dipilih oleh siswa untuk diujikan—tadi. Nara mengambil kelas Biologi. Sementara Rio ada di kelas Fisika. Well, cowok itu memang pintar.

"Nar, lu nggak apa?" tanya Rio. Nara yang tengah melamun itu langsung mengerjapkan matanya. Sial, ia sepertinya kebablasan.

"E--eh, ahahaha, sorry!" Nara mencoba mencairkan suasana. Namun tawanya malah menyebabkan kecanggungan yang ... di luar dugaannya. "Umm, lu lanjut kemana?"

"Belum tau," jawabnya. Sekarang matanya tengah menerawang ke arah langit. Lalu menolehkan wajahnya ke arah Nara. Menampilkan cengiran khas miliknya yang Nara rasa hanya ditujukkan pada dirinya. Bukan geer. Entahlah, Rio itu dingin pada orang lain.

"Gue tau lu boong," tukas Nara.

Cowok itu kini terkekeh. "Tanpa bilang pun, gue yakin lu udah tahu."

Nara memasang wajah heran. Sesaat, kecanggungan yang tadi menjadi atmosfer antara mereka menghilang. Tak lama, Nara mengangguk santai. Sementara Rio semakin menunjukkan cengirannya karena menyadari respon lambat dari refleks seorang Nara.

"Tau, kan?" pancing Rio. Lagi-lagi Nara hanya menganggukan kepalanya santai. Ayo mulai berhitung.

Satu.

Dua.

Tiga

Em—"Lu mau ke Jepang?!" Sontak Rio membekap mulut gadis itu. Tanpa sadar telah membuat debaran di balik dada gadis itu menyentak kencang. Wajahnya mendadak memanas saat menyadari wajah samping Rio. Sialnya, ia malah menahan napas.

Kenapa Rio ... jadi sedekat ini?

"Jangan bilang siapa-siapa," katanya tenang sembari melepaskan bekapannya. Mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. "Ini juga belum pasti soalnya."

Nara terdiam kembali. Bukan karena efek bekapan dan debaran tadi. Tapi, lagi-lagi tentang keberadaan seorang Rio yang akan benar-benar jauh dari jangkauannya. Lagipula, apa alasannya? Bukankah ia tak menyukai Rio? Iya, kan?

"Kalo dapet waifu ­orang sana, nikah di sana. Jangan sampai nggak ngundang gue, ya?" Setan emang setan. Entah apa yang merasuki tubuh Nara sampai-sampai berkata hal yang tak masuk akal itu.

Rio kembali mematri cengiran di bibirnya. "Waifu-nya lu aja, deh."

Seketika Nara membulatkan matanya. Kata-kata sialan itu malah membuat jantungnya kembali berdetak lebih kencang. "Bangke!"

Di sisi lain, Rio sudah siap siaga untuk kabur dan menghindari sikutan maut ala Nara. Dan lagi, tanpa mereka sadari. Tak ada yang menginginkan semua ini berakhir. Lalu dilupakan begitu saja.

***

Kasur, benda yang langsung Nara tuju sepulang sekolah. Apa lagi memang? Ia butuh benda itu. Tanpa melepas seragamnya, ia merebahkan tubuhnya begitu saja. Pikirannya terbang ke segala arah. Termasuk pada cowok itu. Siapa lagi? Tentu saja Rio.

"Plis, bukan waktunya buat mikirin hal begituna, Nar," tekadnya pada diri sendiri, "ini cuma rasa sesaat, ingat? Dia hadir di pikiran lu karena keberadaannya yang memang udah terbiasa di ruang lingkup lu, Nar."

Masih dengan ocehannya. Ocehan yang sebenarnya telah ia ulang setiap akhir semester genap. Berbicara seolah semua itu hanya tentang keberadaan. Tanpa pernah mengingat kalau itu bukan sekadar 'hanya'.

***

Hari demi hari telah berlalu. Satu per satu kenangan yang ada di masa ini pergi beterbangan. Setiap orang mulai melangkah pada jalannya masing-masing. Melambaikan tangannya pertanda selamat tinggal. Menuju jalan yang disebut jalan masa depan.

Hari ini kelulusan. Hari yang paling tidak ingin Nara temui saat ini. Hari yang dibalut nama kebahagiaan yang nyatanya menyakitkan. Hari yang menjadi pemutus masa muda miliknya. Hari yang seolah membiarkan segalanya berakhir. Apa lagi setelah ia menyadari keberadaan perasaan yang selama ini ia hindari.

Kali ini, kelulusan yang sekaligus jadi perpisahan dilaksanakan di sekolah. Tanpa baju adat melainkan seragam warna putih abu. Bagi Nara, semua ini lebih baik. Karena dengan begitu. Keberadaan kenangan yang selama ini terpatri—setidaknya—tidak terlalu mudah dilupakan.

Sekarang, ia tengah berada di parkiran belakang sekolah. Tempat yang—normalnya—selalu ramai. Namun tidak untuk kali ini.

"Dulu kita ketemu di sini, ya?" Nara mulai bermonolog sambil menghadap pohon kersen yang ada di hadapannya. "Kita berantem gara-gara jatuhin motor orang. Saling nuduh satu sama lain. Padahal kita sama-sama salah."

Masih memandang arah yang sama. Gadis itu tak sadar dengan suara langkah kaki yang mendekat. Terlalu menikmati suasana seorang diri. Bahkan sesosok siswa yang sekarang tengah berdiri tepat di belakang gadis itu hanya terdiam. Anggap saja ia penasaran.

"Setelah itu, kita malah ketemu di gugus yang sama. Juga duduk di bangku yang sama karena perintah dari Kak Rendy." Sosok di belakang gadis itu mengernyitkan dahinya. Ia penasaran dengan kelanjutan monolog gadis itu. Monolog yang—bahkan—membuat gadis tak menyadari keberadaannya. "Dan tiga tahun seterusnya, kita malah ada di kelas yang sama." Ia menghentikan ocehannya. Menghapus air mata yang tanpa sadar telah hadir sejak tadi.

Sementara sang pendengar mulai menyimpulkan monolog yang diucapkan gadis itu. Merangkainya bersama dengan ingatan yang selama ini—tanpa sadar—terpatri dalam ingatannya. Mengendap bersama memori berharga lainnya.

"Berulang kali ngelak sama perasaan yang muncul di setiap akhir semester genap," kata Nara membuat tubuh cowok itu menegang. "Tapi gue nggak bisa. Bahkan setiap kenaikan kelas—"

Grep

"Gue gak bisa bayangin kalo pisah sama lu."

Yang terakhir itu bukan suara Nara. Itu suara Rio yang kini tengah mendekap gadis itu dari belakang. Membiarkan tubuh Nara menegang karenanya. Sembari berpikir, sejak kapan ia ada di situ?

***

Note :

1. Waifu : Wife

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro