Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Story Between Us

"Huh? Ivy mau pindah?"

Aku terbengong. Teman-temanku mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut alasanku mengikuti perbincangan mereka barusan. Sebenarnya bukan salahku juga, tadi mereka sempat membahas seputar penilaian cewek di sekolah ini dan aku lebih fokus berbicara heboh perihal WWE dengan Andrew.

"Ray, kenapa lo?"

"Enggak, nggak apa. Sampai mana kita tadi?" tanyaku sambil mengulum senyum tipis.

Tidak akan kubiarkan siapapun tahu tentang apa yang kupikirkan. Ini terlalu memalukan dan tiba-tiba untuk dibicarakan.

.

.

.

Ya, setidaknya itu info yang aku dengar dari ocehan Farhan dkk bulan lalu.

Aku duduk di meja, bertopang dagu memperhatikan seorang cewek yang tengah tertawa bersama kedua temannya di depan sana.

Ivy Chayasa Putri.

Cewek yang sudah kukenal sejak SD kelas 1, teman sebangkuku saat SMP 1 dan kami masih sekelas hingga saat ini—SMA 1.

Katakanlah aku pengecut. Aku punya firasat bahwa Ivy menyukai Andrew karena aku sering mendapati Ivy mencuri-curi pandang ke Andrew. Andrewpun sebenarnya tahu, tapi Andrew juga terang-terangan mengabaikan Ivy. Terakhir kali aku menemukan mereka berbicara adalah saat kelas 2 SMP.

Setiap kali aku bertanya pada Andrew, Andrew akan menyangkal habis-habisan dan akan berusaha mengalihkan topik. Lalu Andrew akan mengatakan hal seolah ia membenci Ivy setengah mati. Padahal kupikir Ivy bukan tipe orang yang akan membuat seseorang membencinya.

Ivy manis.

"Ray, mau ke kantin nggak?" tegur Andrew.

Aku menyempatkan diri untuk menatap ke depan. Ivy langsung memalingkan wajahnya begitu mendapatiku menangkap basah dirinya menatap Andrew lama-lama.

Aku ingin tahu tentang Ivy.

"Lo duluan aja. Gue ada urusan," sahutku sambil beranjak dari kursiku.

Kulihat Andrew tak kunjung pergi darisana, malah diam memperhatikanku yang melangkah ke depan ke tempat duduk Ivy dan kedua temannya yang tengah berbincang tentang OST lagu anime yang hanya mereka tahu.

"Vy."

Ivy mendongak, lalu menatapku heran. Kerutan di keningnya membuktikan bahwa dia heran. Aku sebelumnya memang tidak pernah bertukar sapa dengan Ivy ketika di kelas. Interaksi kami seperti kebanyakan teman sekelas pada umumnya. Aku memang selalu menunjukan perhatikanku padanya sama seperti orang-orang agar Ivy tidak pernah tahu tentang perasaanku.

"Kenapa, Ray?" tanyanya.

Alih-alih mengungkapkan apa yang ingin kutanyakan, aku malah berdiri dengan keringat dingin membanjiri keningku. Detik itu aku memaki diriku sendiri, mempertanyakan kemana perginya sifat jantan-ku yang selalu kubangga-banggakan.

Daguku hampir jatuh lagi dan aku masih berusaha untuk menunjukannya. Aku menyadari keterbatasan waktuku dengan Ivy dan aku tidak ingin menyia-nyiakan hal itu.

"Lo...pindah ya, pas kelas sebelas?"

Ivy yang memang kukenal sebagai cewek ekspresif itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, lalu tersenyum ingin tahu. "Tau darimana, Ray?"

"Beneran ya?"

Ivy menganggukan kepala, "Iya, soalnya Bokap gue sudah berhasil beli rumah di sana. Jadi daripada Nyokap sama Bokap LDR-an mulu, kami pindah, deh."

Sebenarnya akupun tahu soal Ayah Ivy yang bekerja di kota lain untuk menghidupi keluarga. Aku pernah bertemu dengan beliau karena memang di kota kecil ini, Ayahnya Ivy cukup terkenal dan mengenal banyak orang. Singkatnya, kedua orangtua kami saling mengenal dan bahkan pernah satu sekolah saat masa SMP dulu.

Aku hanya heran...mengapa bisa Ivy menjawab dengan tenangnya?

Kedua temannya merengek di sampingnya, "Udah dong, Vy. Jangan omongin perpisahan dulu..."

Ivy tertawa pelan sambil mengelus tengkuknya, "Habisnya gimana ya? Kalau Nyokap dan saudara-saudara gue pindah, gue udah nggak ada alasan buat tetap di sini, dong."

Aku benci mendengarkan Ivy berkata begitu. Aku juga benci dengan diriku yang kini ingin membentak Ivy dan memintanya menjadikan Andrew sebagai alasan.

Aku hanya ingin dia tetap di sini.

"Ray." Dari belakang aku mendengar suara Andrew, lalu rangkulan di bahu membuatku berasa kembali ke dunia nyata. "Ke kantin, yuk."

Aku bisa melihat bagaimana ekspresi Ivy berubah drastis. Dia yang tadi tersenyum, kali ini tidak lagi tersenyum. Ivy memilih kembali ke tempat duduknya dan berbincang dengan kedua temannya tanpa menganggap aku dan Andrew ada di sini.

Aku tidak membantah kali ini. Lebih baik aku pergi dari sini sekarang dan menjernihkan pikiran, sebelum aku melakukan kesalahan yang membuat Ivy muak dengan keegoisanku.

*

"Gue tau lo suka dia..."

Ucapan pembuka Andrew saat kami tengah duduk di kursi taman membuatku membisu. Andrew yang duduk di depanku itu sama sekali tak menatap ke arahku, dia lebih fokus menatap roti yang ada di depannya.

"Dia...siapa?" Aku bertanya dengan patah-patah.

"Lo suka Ivy, kan?"

"Enggak!" Aku membantah keras, "Gue nggak suka dia!"

Andrew memutar bola matanya kesal. "Masih nggak mau jujur?"

"Gue lagi jujur!"

Bohong lo, Ray.

"Jadi..." Aku menjeda beberapa saat. "Itu yang bikin lo menjauhi Ivy?"

Andrew tidak menjawab, dia meremuk sampah plastiknya dan menyimpannya dalam sakunya. "Nggak gitu juga, sih."

"Jadi?"

Andrew mengelus tengkuknya, tampak bingung bagaimana menjelaskan semuanya. "Gue biasa aja ke dia, dia-nya aja yang tiba-tiba menghindar kayak ketemu kriminal. Lo liat sendiri kan, tadi?"

"Kenapa?"

Andrew mendesah lelah. "Mana gue tau! Lo tanya-lah sama dia!"

"Pada akhirnya Andrew juga merasa penasaran, kan?" Aku berdecak sinis.

"Penasaran sih enggak, gue mah cuek aja. Lo tuh yang dari dulu kepo tingkat dewa kalau ngebahas Ivy-Ivy," balas Andrew sambil memutar bola matanya kesal. "Nah, jadi lo mau apa sekarang? Lo jelas-jelas tau dia mau pindah."

"Mau apa? Kan bukan berarti gue suka Ivy..."

Andrew terdiam cukup lama, "Yakin, nih?"

"Yakin apanya?"

"Nggak suka Ivy?" tekan Andrew sekali lagi. "Kalau suka ya ngomong suka, nanti nyesel, lho."

Akhirnya, dengan berat hati aku mengakui itu pada Andrew. "Iya deh, iya. Gue suka."

Untuk beberapa saat, Andrew termenung, lalu tersenyum jahil. "Oh? Lo suka gue? Gue suka suka kok, sama lo."

Aku menatap Andrew datar, "Males dih, ngomong sama lo."

Andrew mengumpat sambil tertawa.

"Thanks ya, Drew," ucapku tulus.

Aku bertekad aan mengatakannya pada Ivy. Waktuku memang terbatas, tapi setidaknya aku harus mencoba lebih dulu.

.

.

.

"Sorry, Ray, gue udah suka sama orang lain..."

Andrew.

Hanya nama itu yang tiba-tiba saja dibisikan oleh setan di kepalaku.

Aku mengelus tengkuk dan menatapnya canggung. "Sorry juga kalau yang gue katakan malah bikin pikiran lo banyak..."

Hal pertama yang kupikirkan begitu Ivy meninggalkanku sendirian di halaman belakang sekolah adalah, segera menemui Andrew untuk mengabarkan berita ini. Tidak, aku tidak takut Andrew akan menertawakanku karena habis ditolak. Entahlah, mungkin aku hanya ingin melihat reaksinya dulu.

Jelas, aku jelas terpukul soal penolakan Ivy. Tapi aku seperti telah menyiapkan diri untuk ditolak, jadi aku sudah bersiap-siap patah hati sejak awal.

"And-"

Aku terdiam saat melihat Andrew duduk di lantai dengan posisi tubuhnya memeluk lutut. Tidak ada tanda-tanda Andrew tertidur, aku malah menemukan pundaknya bergetar dan tangannya mengepal erat.

Entahlah...apa yang membuatnya begitu kecewa.

"...Vy," lirihnya.

Aku terluka hanya dengan mendengar bisikan itu.

Aku menghampiri Andrew dengan langkah pelan. Andrew yang saat itu merasakan kehadiranku langsung mengangkat kepalanya, dia tidak menangis, tapi matanya sangat merah. Sangat merah.

"Lo ngapain?" tanyanya saat aku mengulurkan tanganku untuk memeluknya.

Aku merasa bersalah karena tidak menyadari perasaan Andrew. Andrew jelas-jelas juga menyukai Ivy. Andrew pasti sudah tahu dari dulu bahwa aku menyukainya, dan dia memutuskan untuk mundur. Ya, pasti begitu.

"...Belum telat, Drew," ucapku sambil menepuk kepalanya. "Ayo, berdiri."

Andrew malah menahan tubuhnya agar aku tidak mampu mengangkatnya naik. "Gue nggak mau! Lo nggak ngerti yang gue rasain! Keluarganya dan keluarga gue aja udah kayak langit dan bumi! Lo aja yang sama Ivy, gue nggak mau!"

"Lo beneran nggak mau?" tanyaku emosi. "Beneran? Sampai tadi lo kayak gitu?"

Andrew memalingkan wajahnya. "Gue tau diri."

"Lo nggak tau diri!" umpatku sambil menarik kerahnya. "Sana! Ngomong ke Ivy! Jangan mau nyesal!"

"Ngomong ke dia malah bakal bikin gue nyesel," balas Andrew.

Tanganku gatal untuk tidak memberikan satu tonjokan di perutnya.

"Lo apaan sih, Ray?!"

"Lo yang apaan! Sok nyemangatin gue buat nembak cewek yang lo suka?"

Andrew menatapku sinis, "Emang lo nggak sakit hati apa, kalau gue ngaku ke Ivy?"

Aku? Tentu saja aku sakit hati. Tapi rasanya aku sama sekali tidak keberatan, karena mereka berdua teramat berharga untukku.

"Enggak!"

Andrew berdiri dari duduknya, lalu memberikan satu pukulan di perutku yang membuatku mengaduh kesakitan.

"Kalau lo nggak sakit hati, selamat sakit perut!" Usai berkata begitu, Andrew berlari meninggalkanku...

Aku menarik nafas panjang, tersenyum tipis.

Akhirnya...semua ini selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro