I'm Not Her
Malam ini bulan seolah tak ingin menampakkan wujudnya. Gelap gulita menyelimuti perjalanan dua orang gadis yang duduk manis di dalam mobil berwarna merah. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang, meskipun jalanan terlihat sepi.
Luna dan Starla. Kedua gadis itu memiliki wajah yang sama. Ya, mereka kembar identik. Namun di antara keduanya, terdapat dinding perbedaan yang membentang lebar. Sifat dan hal-hal yang disukai keduanya sungguh jauh berbeda.
"Lun, gimana tadi makanannya? Enak nggak?" tanya Starla sambil menatap layar handphone. Sementara Luna masih menatap ke jalanan, berusaha mengemudi sebaik mungkin. Mengingat bahwa ia sering tidak fokus menyetir mobil ketika malam hari.
"Enak, kok. Tapi aku kurang suka sushinya." Luna mengangkat bahunya, ia memang tidak terlalu suka makanan yang berasal dari laut.
"Wah, lo aneh banget, Lun! I love their sushi so much! Kita harus ke sana lagi kapan-kapan." Starla tersenyum semangat.
"But, their ramen is fine. It's good. Aku setuju, sih. Kita harus ke sana lagi. By the way, cowok yang tadi itu siapa, sih?" tanya Luna. Sejujurnya ia sudah menyimpan rasa penasaran ini sedaritadi.
"Oh, Kevin? Dia sahabat gue sejak SMP. Kemaren dia ngajak dinner. Terus gue bilang aja gue mau ngajak lo, Lun." Starla menjelaskan. Luna hanya mengangguk-angguk sambil bersiap memarkirkan mobil di halaman rumah. Pak Dadang -penjaga keamanan di rumahnya- langsung membukakan pagar.
Mobil merah yang dikemudi Luna memasuki halaman rumah dan terparkir rapi di samping mobil ayah mereka. Luna mematikan mesin mobil dan bersiap keluar.
"Lun," panggil Starla tiba-tiba.
"Kenapa, Star? Ayo keluar, aku ngantuk banget, nih." Luna meraih tasnya yang berada di kursi belakang mobil. Lalu matanya melirik jam di pergelangan tangan kanannya. Luna sedikit terkejut melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 11 malam.
"Ini agak aneh, sih. Tapi menurut lo, gimana kalo kita jatuh cinta dengan cowok yang sama?" tanya Starla sambil memasukkan handphonenya ke dalam tas.
Luna kembali duduk dengan tenang. Wajahnya seolah menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang berpikir.
"Kayaknya itu mustahil," jawab Luna seadanya.
"Lho? Kenapa?"
"Kamu suka bad boys yang cool gitu, kan? Kayak si Kevin tadi. Sedangkan aku? Aku sukanya sama cowok yang sederhana aja. Nggak perlu berlebihan, yang penting dia tulus. Jadi, nggak mungkin kita suka cowok yang sama. Emang kenapa nanya kayak gitu, sih?" Luna menautkan alisnya bingung.
"Kevin? Dia sahabat gue, Lun. Nggak mungkin gue suka sama dia. Dan siapa tahu aja lo tertarik juga sama bad boys." Starla tertawa keras, tak memedulikan Luna yang memutar bola matanya sebal.
"Ada-ada aja kamu. Oh iya, kalo lagi jatuh cinta nggak usah ditutupin gitu, deh. Kita kembar, udah 17 tahun kita selalu bareng. Aku tahu banget kamu kalo lagi jatuh cinta pasti kayak gini, nih. Sebenernya kamu ngajak aku dinner karena takut canggung kalo berduaan sama Kevin, kan?" Luna tertawa sambil membuka pintu mobil dan bergegas memasuki rumah.
"Gue? Suka sama Kevin?" tanya Starla pada dirinya sendiri ketika Luna telah keluar dari mobil.
Starla menggelengkan kepalanya cepat-cepat, "Nggak boleh."
***
Starla tersenyum puas menatap sandwich yang telah ia buat untuk bekalnya dan Luna. Menurutnya, akan lebih sehat jika ke sekolah membawa bekal. Starla memang suka memasak, juga suka makan. Tak heran jika tubuhnya lebih berisi dibanding Luna. Gadis itu memasukkan sandwich ke dalam tempat makan berwarna hijau tosca dan biru muda.
"Udah? Ayo berangkat," ajak Luna.
"Nih, buat lo." Starla memberikan tempat makan berwarna biru muda pada Luna.
"Thanks." Luna tersenyum.
"Eh, tunggu." Starla menghentikan langkah kaki Luna. "Kita dijemput Kevin."
"Starla!" Luna mendecak kesal menatap senyum polos Starla.
"Gue nggak bisa nolak."
"Ya udah, kamu berangkat sama Kevin. Dan aku berangkat sendiri."
"Luna!" teriak Starla.
"What?"
"Please," ujar Starla, berharap Luna akan luluh.
"Fine! But only this time! After this, I'm not going to help you anymore." Luna melipat kedua tangannya di depan dada.
Perjalanan mereka tak secanggung yang Luna bayangkan. Kevin mengemudi mobil, Starla duduk di kursi penumpang depan, dan Luna duduk sendirian di kursi belakang. Sesekali Kevin melemparkan pertanyaan pada Luna dan gadis itu menjawabnya dengan ramah. Tak terasa, mereka telah tiba di parkiran sekolah.
"Thanks, Kevin." Luna tersenyum pada Starla dan Kevin lalu berjalan menuju kelasnya.
"Star," panggil Kevin.
"Ya?" Entah mengapa, ada debaran yang tak dapat Starla mengerti.
"Lo mau dinner sama gue lagi besok malam?"
"Besok malam?" tanya Starla memastikan. Sebenarnya ia merasa sangat gugup. Kevin mengangguk.
"Boleh." Starla mengangguk.
"Oke. Udah sana ke kelas." Kevin mencubit pipi Starla pelan lalu tersenyum manis.
Starla berjalan menuju kelasnya, jantungnya seperti ingin melompat keluar. Ia tak pernah begini sebelumnya. Jujur, Starla memang menyimpan rasa untuk Kevin. Namun Starla menyadari bahwa mereka hanya sebatas sahabat, tidak lebih.
"Kevin deketin gue? Apa boleh gue berharap?" pikir Starla.
***
Sepulang sekolah, Kevin menawarkan tumpangan lagi. Luna dan Kevin sudah menunggu di mobil. Namun ternyata Starla sedang mengikuti kelas tambahan karena nilai ulangannya yang jelek. Akhirnya Kevin mengantarkan Luna pulang. Setelah itu, Luna akan mengemudi mobilnya untuk menjemput Starla ketika kelas tambahan berakhir.
Nasib baik sepertinya tidak berpihak pada Starla. Hujan tiba-tiba mengguyur bumi dengan derasnya. Padahal kelas tambahan telah selesai dan ia ingin segera pulang. Namun ternyata ia masih harus menunggu hingga hujan reda. Biasanya Luna tidak berani menyetir mobil ketika hujan deras.
"Luna?" Suara seorang pria mengagetkan Starla.
"Kamu ngapain di sini? Belum pulang?" tanya pria itu lagi. Starla bingung, ia tak mengenal pria di hadapannya ini. Jangan-jangan, pria yang disukai Luna? Pria itu berkacamata dan terlihat baik, tipe pria yang disukai Luna.
"Oh, aku lagi nungguin Starla ikut kelas tambahan. Eh ternyata Starla udah pulang duluan kayaknya." Starla berusaha mengikuti gaya bicara Luna yang terkesan lembut dan sopan.
"Starla? Kembaran kamu? Kalian beda banget, ya. Kamu juara di sekolah kita, tapi kembaran kamu malah ikut kelas tambahan."
Jawaban pria itu benar-benar membuat Starla kesal. Maksudnya apa? Pria itu ingin mengatakan bahwa Starla bodoh?
"Eh, maaf. Aku nggak bermaksud nyindir Starla, Lun," ujar pria itu lagi.
"Gapapa," jawab Starla ketus. Sulit ternyata berpura-pura sebagai Luna yang lemah lembut dan selalu tersenyum.
"Nggak ngambek, kan?" tanya pria itu. Starla menggeleng, tapi wajahnya masih cemberut.
"Maaf, deh. Aku anter pulang aja gimana?"
Starla berpikir. Daripada ia harus menunggu hujan reda dan menunggu Luna, lebih baik ia pulang dengan pria ini, kan?
"Boleh." Starla mengangguk.
"Raka." Pria itu mengulurkan tangannya, sementara Starla mengernyit bingung.
"Lo nggak pinter bersandiwara. Nggak usah pura-pura jadi Luna." Raka tertawa, lalu menyodorkan tangannya ke arah Starla.
"Starla." Starla menjabat tangan Raka dengan sebal.
"Makan dulu ya sebelum pulang? Laper gue."
***
"Lo mau makan apa?" tanya Raka ketika mereka telah sampai di tempat makan pinggir jalan yang menjual aneka seafood.
"Lo suka seafood?" Starla balik bertanya.
"Nggak terlalu, sih."
"Terus kenapa ke sini?"
"Karena kata Luna, lo suka seafood."
"Ooh. Ya udah, gue mau udang goreng mentega, udang saos padang, cumi bakar, sama ikan bakar." Starla menyebutkan dengan semangat. Raka hanya menggelengkan kepala sambil tertawa, tapi tetap dipesankannya juga makanan-makanan itu.
"Lo lucu, beda banget sama Luna."
"Iya gue tahu. Luna pinter, gue bodoh. Luna badannya bagus, gue gendut. Luna pendiem, gue nggak bisa diem. Luna anggun, gue sama sekali nggak. Ada lagi?" tanya Starla dengan wajah jutek andalannya.
"Nggak gitu. Gue minta maaf kalo lo tersinggung sama perkataan gue tadi. Awalnya gue pikir lo itu Luna. Ternyata gue salah orang." Raka menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Lo suka ya sama Luna?" tanya Starla to the point.
"Kok lo tahu?"
"Siapa yang nggak suka sama Luna? Dia perfect banget. Kalo gue jadi cowok, mungkin gue bakal suka dia juga." Starla mengutarakan pendapatnya.
"Berarti, banyak yang suka sama lo juga, dong? Wajah kalian kan sama."
"Yang gue maksud dengan 'perfect' itu bukan wajah, tapi sifat. Dia sempurna banget sebagai cewek yang anggun. Sementara gue jauh dari kata anggun dan lembut." Starla melemparkan cengiran khasnya.
"Tapi menurut gue, lo orangnya seru. Jadi nggak terlalu menyedihkan." Raka tertawa.
"Nggak ada cowok yang naksir sama gue ketika mereka udah ketemu Luna. Mereka lebih pilih Luna daripada gue." Starla tersenyum miris.
Handphone Starla berdering. Ternyata Kevin. Kevin mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada Luna. Kevin ingin Starla mengajak Luna ikut lagi untuk makan malam besok. Entah apa yang terjadi pada Luna dan Kevin tadi ketika mereka pulang berdua. Rasa kesal menghantui Starla.
"Kenapa?" tanya Raka melihat mata Starla berkaca-kaca.
"Gue nggak kenal lo, tapi entah kenapa gue mau curhat." Air mata mulai menetes membanjiri pipi Starla. Tapi entah mengapa, tangisan Starla malah terlihat menggemaskan di mata Raka.
"Cerita aja."
"Cowok yang gue suka, malah suka sama Luna. Gue seburuk itu ya, Ka? Emang salah ya kalo gue nggak sama kayak kembaran gue? Kenapa nggak ada yang bisa terima kalo gue bukan Luna?" tanya Starla. Lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tiba-tiba pelayan datang menghidangkan makanan pesanan mereka. Raka tersenyum
canggung pada pelayan itu yang menatap Starla sedang menangis. Raka memberi isyarat bahwa gadis itu baik-baik saja, lalu pelayan itu pergi.
"Hei, kata siapa? Semua manusia diciptakan berbeda, unik, dan spesial. Bahkan kembar sekalipun, pasti punya perbedaan." Raka berusaha menenangkan Starla, tangannya berusaha meraih tangan Starla agar wajah gadis itu tak tertutup lagi.
"Siapa bilang nggak ada yang bisa terima lo yang begini? Gue kayaknya berubah pikiran. Gue nggak jadi suka sama Luna, deh. Gue suka sama kembarannya aja, lebih menarik." Raka membenarkan posisi kacamatanya dengan gugup.
"Lo ngomong apa tadi? Sorry, gue kurang fokus kalo ada makanan." Starla tersenyum polos.
"Gapapa. Udah sana makan. Jadi diri lo sendiri aja ya, Star." Raka tersenyum. Starla memilih udang saus padang sebagai hidangan pertama yang ia cicipi.
"Oh, gue lihat satu kelebihan di diri lo yang Luna nggak punya," ujar Raka semangat.
"Apa?" tanya Starla bingung sambil mengunyah udangnya.
"Ini." Raka mencubit pipi chubby Starla karena gemas.
"Lo nyebelin banget, sih! Lo ngatain pipi gue? Maksudnya gue kelebihan lemak gitu?"
"Nggak gitu, Star. Maksud gue, pipi lo lucu. Bikin gemes." Raka tertawa.
"Aneh lo!" Akhirnya Starla ikut tertawa.
"Yes! Gue berhasil bikin lo ketawa."
"Dasar aneh! Nyebelin!" Starla mengalihkan pandangannya pada ikan bakar.
"Awas lho, benci jadi cinta."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro