Shitty Thing
"Gak! Pokoknya Tara gak mau nikah, Ma!"
Mama memandangku dengan raut aneh, perpaduan antara kesal dan sedih. Aku masih diam, tidak, kali ini aku tidak akan mengikuti kemauan mama.
"Kamu udah tua, Ra. Umurmu udah 25 tahun, dan kamu anak pertama. Kamu mau dilangkahi adikmu?"
Aku mengangguk mantap. "Langkahin aja. Tara gak masalah. Tara masih mau senang-senang, Ma. Gak mau ngurus anak. Jangankan anak atau suami, ngurus diri sendiri aja Tara belum becus."
Mama hanya diam mendengar penjelasanku, membuatku menghela napas panjang. Aku mendekati mamaku dan mencium pipinya.
"Kalau Mama mau punya cucu, nanti Tara culik anak orang."
Aku menyambar tasku dengan cepat dan berlari tanpa mempedulikan teriakan mamaku. Senyum jahil tersungging di bibirku.
****
Aku masih sibuk berkutat dengan laporan keuangan yang penuh coretan di hadapanku, kacamata menggantung di lekuk hidungku dan sesekali aku memijat pelipisku. Kenapa banyak sekali data yang tidak balance?
"Tara."
Aku menengadahkan wajahku. Di hadapanku sudah berdiri bu Diana dan seorang laki-laki yang kutebak berusia awal 20 tahun.
"Iya, Bu?"
Bu Diana menatapku tajam dan berkata, "Ini Dhany, karyawan baru di divisi audit. Saya minta kamu membantu Dhany beradaptasi."
Aku mengangguk lalu beralih pada Dhany dan mengulurkan tanganku padanya. "Tara."
Dhany menjabat tanganku dan tersenyum. "Dhany."
"Dhany, kamu bisa bertanya apa pun pada Tara mengenai pekerjaanmu di sini. Selamat datang dan selamat bekerja," kata bu Diana lalu berjalan meninggalkan kami.
"Kubikelku di sebelah sana," kata Dhany menunjuk pada dua kubikel di sebelah kananku.
"Ya, ya," jawabku.
Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengannya. Sudah banyak karyawan baru yang dititipkan bu Diana padaku, dan mereka rata-rata merepotkan. Karenanya aku tidak begitu suka jabatanku saat ini. Ya, di usiaku yang menginjak 25 tahun, aku sudah menjabat sebagai tangan kiri bu Diana di divisi audit.
Sesekali mataku memperhatikan Dhany yang terduduk di hadapanku sambil melihat beberapa laporan yang sedang kukerjakan. Biarlah, mungkin dia ingin mempelajarinya.
"Aku rasa di sini salah," kata Dhany tiba-tiba.
Salah? Aku salah? Dalam pekerjaan yang merupakan keahlianku? Sepertinya anak baru ini sok tahu juga.
"Apanya?"
"Lihat," ucapnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku dengan tujuan menunjukkan kesalahan menurutnya. Aku sedikit terpana, parfumnya boleh juga. Bvlgari Man? Ah, entah. Harum parfumnya membuatku ingin berlama-lama di dekatnya.
"Hermes Terre d'Hermes," katanya tiba-tiba.
"Eh?"
"Parfumku Hermes Terre d'Hermes, bukan Bvlgari Man."
Aku diam, tersentak dengan jawabannya. Dari mana dia tahu aku memikirkan jenis parfum yang dipakainya?
"Jangan banyak bicara. Tunjukkan di mana kesalahanku," kataku masam.
Dhany tertawa kemudian memberikan beberapa penjelasan tentang beban biaya yang seharusnya kupindahkan pada kolom satunya. Jika tidak, maka akan tercipta dana siluman yang cukup besar dan akan membuatku menjadi tersangka korupsi. Sial, dia begitu cerdas dan teliti. Atau aku yang begitu ceroboh?
"Rasanya aku yang perlu membimbingmu," katanya dengan tawa tertahan.
"Aku hanya sedang tidak fokus. Terima kasih," jawabku cepat.
Dhany tersenyum kemudian berjalan ke kubikelnya. Sial, sial, sial! Aku terpana hanya karena caranya berjalan. Dhany itu ... berbeda. Aku bisa merasakannya. Mungkin, menyenangkan jika bisa dekat dengannya.
Bodoh! Aku mencubit pelan tanganku, kenapa aku malah memikirkan Dhany? Dia itu tengil dan sok tahu, terlebih dia jauh lebih muda dariku. Lupakan, Tara. Lupakan.
****
Aku melihat jam di tangan kiriku, sudah pukul 9 malam lewat. Berbeda dengan kantor keuangan lain yang selalu lembur di akhir bulan, kantor tempatku bekerja membuat lembur semakin panjang. Seminggu sebelum akhir bulan dan seminggu setelah awal bulan. Dan hal itu memaksaku pulang selarut ini.
Langit semakin kelam, hawa dingin menusuk tubuhku, sepertinya akan turun hujan. Aku mulai gemetar, aku takut pada hujan.
Dengan tergesa aku mengeluarkan ponselku dan memesan taksi berbasis online. Namun, aplikasi tersebut tidak berfungsi. Apa sinyalku kacau? Atau tidak ada yang mengambil pesananku?
Sementara itu hujan mulai turun perlahan. Tidak, tidak, aku tidak bisa terkena hujan. Sebagai seorang ombrophobia, aku bisa mati gemetar hanya karena terkena setetes hujan.
Dengan tergesa aku kembali masuk ke dalam lobi kantor dan berjalan menuju lift. Mungkin di lantai tempatku tadi lembur masih tersisa beberapa karyawan yang belum pulang.
Sampai di lantai 15, aku menuju ruangan divisiku. Mataku menjelajah ruangan yang mulai gelap sementara di luar sana petir mulai bersahutan.
Dengan langkah yang semakin gemetar, aku berjalan terus menuju kubikelku. Sesampainya di kubikel, aku menjatuhkan diri di sana dan menangis. Hujan semakin deras, bunyinya membuat jantungku berdetak tidak karuan, keringat dingin membasahiku dan tubuhku gemetar.
"Tara?"
Aku bungkam meski mendengar namaku disebut. Tubuhku terus gemetar dan isakanku semakin keras. Persetan dengan hujan, aku benci hujan!
Tiba-tiba aku merasa seseorang menarikku ke arahnya kemudian kepalaku terasa seperti ada yang mengusapnya pelan.
"Tenang, Tara. Itu hanya hujan. Aku yakin kamu pasti bisa melawan ketakutanmu," katanya pelan menenangkan.
Aku masih terisak, tapi sedikit lebih tenang. Aroma parfum orang ini mengingatkanku pada Dhany. Namun, mana mungkin anak tengil itu masih di sini? Karyawan baru tidak dituntut untuk lembur di bulan pertamanya bekerja.
Perlahan hujan berhenti, membuatku sedikit tenang karenanya. Kujauhkan tubuhku dari sosok yang sejak tadi menjagaku.
"Terima kasih," kataku.
Dia tersenyum. "Sama-sama. Udah tenang?"
Aku mengangguk. Ternyata di depanku benar-benar Dhany. Ketenanganku tidak berlangsung lama ketika tiba-tiba listrik padam. Mungkin efek hujan petir beberapa waktu lalu baru berimbas sekarang. Dan anehnya ketika gelap menyelimuti ruangan, Dhany sedikit terlonjak. Aku menyentuh tangannya, dingin.
Apa mungkin ...
"Iya, aku acluophobia," desisnya pelan.
Sedikit senyum jahil tersungging di bibirku. "Biasanya kalau gelap suka ada monster, loh."
Dhany membelalakkan matanya. "Jangan sembarangan!"
Reaksinya yang lucu membuatku tertawa keras. Kemudian kuambil ponselku dan segera menelepon ke pos pengamanan, bicara mengenai padamnya listrik.
"Mereka bilang lagi berusaha nyalain genset. Are you okay?" tanyaku pada Dhany setelah mematikan sambungan.
"Honesty, no. Aku sesak."
"Be calm, aku nemenin, kok, di sini."
"Ajak aku ngobrol," pintanya.
Aku mengernyit, sebenarnya aku malas meladeninya. Namun, mengingat yang sudah dilakukannya saat ombrophobia-ku kumat, aku rasa aku harus membalas budi, bukan?
"Ask me anything," kataku.
"Udah berapa lama kerja di sini?"
Aku berpikir sebentar kemudian menjawab, "Sekitar dua tahun. Dan anehnya posisiku bisa langsung stabil di sini. Sepertinya aku memang hebat."
Dhany mencibir, membuatku mencubit lengannya pelan dan menjauhkan tanganku yang sedari tadi dipegangnya. Apa-apaan, seperti remaja picisan saja.
"Don't. Jangan menjauh, aku bisa makin sesak kalau merasa sendirian."
Aku balik mencibir. Apa benar penderita acluophobia bisa berlebihan begini? Atau ini hanya modusnya saja?
"Aku serius, bukan modus."
Aku tertawa mendengar ucapannya. "Kamu kayak cenayang."
"Jadi, kira-kira apa yang bisa membuat posisimu stabil secepat itu di kantor ini?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Em," aku berpikir sebentar, "sepertinya karena sifatku yang dingin dan terkesan tidak ingin ikut campur urusan orang lain. Dan, oh, beberapa kali aku menemukan adanya karyawan curang sehingga bu Diana mempercayaiku."
Dhany hanya mengangguk pelan. "Apa rahasia yang—"
Ting!
Listrik kembali hidup. Aku tersenyum riang dan bangkit dari dudukku. Kulihat Dhany juga melakukan hal yang sama. Ternyata di ruangan ini masih tersisa beberapa orang, tapi kenapa tadi begitu sepi?
"Aku pulang," kataku sambil meninggalkan Dhany.
****
Sesampainya di rumah, aku membersihkan tubuhku dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Sial, bayangan Dhany selalu menghantuiku. Aku tersenyum mengingat aroma parfumnya, caranya berbicara, dan bagaimana dia mendekapku saat ombrophobia-ku kumat.
"Kenapa senyum-senyum gitu?"
Aku tersentak dan langsung bangun. "Mama! Kok masuk gak ngetuk dulu?"
"Mama ngetuk dari tadi dan kamu cuek aja. Kenapa senyum mulu gitu?"
"Mama jadi mau punya menantu, gak? Doain, ya. Tara lagi jatuh cinta kayaknya, nih."
Mama membelalakkan matanya. "Serius? Sama siapa? Berapa umurnya? Kerjaannya apa? Kayak apa orangnya?"
"Namanya Dhany, karyawan baru di divisiku. Orangnya baik, lucu, pokoknya unik. Cuma, dia beberapa tahun umurnya di bawahku kayaknya," jelasku sambil membayangkan wajah Dhany.
"Ujungnya mentok sama brondong juga," cibir Mama.
Aku tidak menjawab ocehan mama dan menjatuhkan diriku di tempat tidur lagi. Mimpi indah sepertinya akan menghampiriku. Tara konyol, kemana sifat anggun yang kumiliki?
****
Aku memicingkan mata saat kulihat kubikelku kosong. Barang-barangku telah dimasukkan ke dalam kotak dengan rapi. Ada apa ini? Apa yang salah? Apa aku melakukan kesalahan?
"Tara."
Suara berat dari arah belakang mengejutkanku. Aku segera berbalik dan menemukan bu Diana berdiri dengan tatapan tajam, di sebelahnya berdiri Dhany dengan ekspresi yang tidak bisa kujelaskan.
"Kamu dipecat."
Aku terpaku di tempat. Apa salah yang kuperbuat?
"Maaf, tapi salah saya apa, Bu?" tanyaku tidak terima.
"Kamu telah dengan sengaja membuat kekeliruan di dalam laporan ini."
Bu Diana menyerahkan sebuah laporan padaku, aku membukanya cepat dan membacanya. Ini laporan yang kukerjakan kemarin. Dengan teliti kulihat dimana kesalahan yang kubuat, mataku menangkap kesalahan yang kemarin diungkapkan oleh Dhany.
"Bu, ta—"
"Tidak ada alasan, silakan keluar dari sini," putus bu Diana dan pergi meninggalkanku.
Aku terpaku. Seingatku, aku sudah membetulkan laporan ini kemarin saat lembur. Namun, kenapa laporan di tanganku ini berubah?
"Aku memberitahumu kemarin," bisik Dhany.
Aku mengangkat wajahku dan melihatnya. Aneh, senyum Dhany aneh. Ada yang tidak beres.
"Aku udah membetulkannya!"
Dhany tertawa kecil. "Aku yang menemukan kesalahan itu, dan hakku untuk membiarkanmu membetulkannya atau tidak."
Aku tercengang. Jadi, semua ini ulahnya? Itukah sebabnya tadi malam dia masih berada di kantor meskipun dia tidak lembur?
"Aku ingin posisimu, Tara," katanya sambil berlalu meninggalkanku.
Sial! Aku ditipu olehnya, dikecohnya sedemikian rupa. Bahkan hatiku sempat hampir direbutnya. Apa yang akan kukatakan pada mamaku?
"Shitty thing!"
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro