Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Little Hode

"Lo lesbi, ya? Sampai-sampai gue ditolak kayak gini."

"Nyesel gue suka sama cewek sok suci kayak, lo."

Pikiran seorang Seira terus memutar ucapan makhluk itu. Ya, makhluk. Memangnya pria semacam dia masih pantas disebut manusia setelah mengatakan hal seperti itu. Mengingatnya saja sudah membuatnya muak. Tapi otaknya malah otomatis mengingat hal itu. Ya, bahkan memutarnya terus-menerus. Seharusnya, ia bisa melupakan hal itu mengingat deadline untuk mengisi artikel di salah satu majalah sudah semakin dekat. Tapi kenyataanya tidak.

Sekarang, ia tengah berada di sebuah toko bunga. Tempat di mana ia bekerja selama ini. Mengapa? Ia tak mungkin mengandalkan uang hasil menulis artikel di majalah mengingat itu tak seberapa. Lagipula ia pernah punya impian untuk bekerja di toko bunga. Kala itu saat ia masih SD. Saat ia sangat menyukai serial anime "Pastel Yumi" yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta.

Di sisi lain, ia tak mungkin meminta tambahan uang dari orangtuanya. Ia masih cukup tahu diri. Ditambah ia malas bertemu dengan mereka. Katakan ia anak yang tak tahu diri di sini. Tapi bujukan orangtuanya untuk segera menikah menjadi beban yang amat berat. Ini sebenarnya salahnya sendiri yang kala itu bilang akan menikah di usia 22 tahun. Nyatanya, di usianya yang menginjak 25 ini. Ia bahkan tak punya banyak teman lelaki. Lebih parahnya hanya sebatas kenal. Tak terkecuali orang-orang yang menganggapnya sudah dekat dengannya. Termasuk makhluk itu.

"Sialan emang," gumamnya, "siapa juga yang nyangka bakal begini. Emangnya harus nerima orang kayak dia. Ogah, deh."

Kembali pada ingatan itu. Kejadian yang terjadi sekitar sebulan yang lalu. Orang itu sebenarnya adalah orang yang paling dikenal di zaman ia kuliah. Terkecuali dirinya. Bahkan ia hanya tahu namanya. Tanpa tahu kalau ia menyimpan rasa padanya.

Setelah sekian lama. Ya, setelah ia keluar kuliah cukup lama bahkan. Pria itu kebetulan menjadi editor di kantor majalah yang ia isi. Ia mengungkapkan perasaannya pada Seira. Seira yang kala itu tengah mumet-mumetnya langsung menolak mentah-mentah. Dan hell, ingat yang ia katakan. Seira dibilang seorang lesbi. Cowok macam apa yang langsung menyimpulkan hal bodoh itu. Dan saat itu juga ia masuk ke daftar blacklist Seira.

Sambil terus merutuki hal itu dalam hati, ia merangkai bunga-bunga segar itu menjadi ­bucket. Ia bersyukur punya kemampuan ini meskipun pada awalnya hanya sebatas merangkai bunga liar yang ada di depan rumahnya. Itupun dibungkus sampul plastik untuk buku dan hanya diberi pita di ujungnya. Setidaknya, itu hanya permulaan—yang syukurlah bisa ia gunakan saat ini.

"Sei," panggil seseorang membuat Sei menoleh.

"Ya?" Saat menoleh, Seira mendapati Bu Rena—pemilik toko ini—yang sudah mengulas senyumnya. Senyum hangat yang paling Seira sukai selain senyum neneknya. Berbeda dengan mama yang menurut Seira memiliki senyum bak ibu tiri. Oke, cukup di sini. Bisa-bisa Seira semakin durhaka.

"Bisa kemari?" pinta wanita itu.

Setelah meletakan beberapa bunga yang belum terangkai ke dalam suatu keranjang. Ia berjalan ke arah wanita itu. "Ada sesuatu?"

"Tolong antarkan beberapa bucket. Sekalian sarapan dulu. Emang kamu nggak lapar?"

Seira mengulas senyumnya. Wanita itu benar-benar tahu apa yang sedang dirinya rasakan. Padahal ia sendiri tak berpikir sedikit pun untuk sarapan. Ya, walau tak bisa dipungkiri kalau rasa itu diam-diam mendesak perutnya.

"Terima kasih," balas Seira sambil mengangguk. Kemudian bersiap untuk melaksanakan hal itu.

***

Ting tong

"Permisi, Hanano Florist," ucap Seira setelah menekan bel di pintu.

"Sebentar." Suara seseorang terdengar dari mikrofon.

Sebentar. Seira tak mungkin salah dengar. Namun ia harus mengutuk siapa yang mengatakan hal itu barusan. Ia ulang lagi. Sebentar katanya? Seira kini melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. 10 menit setelah suara tadi terdengar. Hell, apa orang itu mati?

Seira sekarang mendekatkan diri pada mikrofon yang ada. Baru membuka mulutnya. Namun....

Cklek

"Ah, maaf membuat—Seira?!"

Seira refleks mundur selangkah saat pria berkacamata itu memanggil namanya. Siapa? Pikir Seira saat itu juga. Ingatannya benar-benar buruk.

"Ya, ugh... lo siapa?" tanya Seira ragu.

"Gila lo, ya? Masa sama gue lupa? Kejam, parah," tanyanya berturut-turut.

Pria itu malah menepuk pundak Seira berkali-kali. Dan sekarang mulai merangkul Seira. Sementara Seira menatap pria itu heran. Sejujurnya, Seira sudah ingin memukul cowok itu. Karena bagaimanpun juga—menurut kamus Seira—ini termasuk pelecehan.

Tak lama, cowok melepskan rangkulannya. Mungkin sudah sadar akan tatapan heran Seira yang berubah jadi tatapan risih dan mirip dengan death glare yang biasa ia tonton di anime. Ah, tampaknya ada yang harus diluruskan di sini.

"Lo ... beneran lupa sama gue ya, Sei?" Pria itu memastikan.

Seira menggeleng pelan. Demi pencipta langit yang membentang luas! Seira benar-benar tak ingat siapa manusia SKSD ini. Bukankah ia tak punya teman lelaki? Mana mngkin ia lupa pada kehidupannya sendiri. Sekalinya ada ya ... hanya yang mengaku-ngaku.

"Ini gue," kata pria itu sambil menunjuk-nunjuk dirinya. "Ari, Sei...."

"Ari?" ulang Seira. "Gue gak punya temen namanya Ari."

"Narariya Azka," pria itu mengeja namanya. "Temen kecil lo, Pikun!"

Oke, sepertinya Seira sudah lupa kalau tujuannya ke sini adalah mengantarkan bunga. Sekarang, ia malah mengingat masa lalunya dengan sang costumer yang punya nama Narariya. Tunggu!

­Nara—riya? Nara?

Nama yang tidak asing, sih. Dia kan ... oke, sekarang pikiran Seira terbang menuju masa lalunya. Mengingat sesosok gadis ber-twintail yang suka loncat-loncat dari atas ayunan. Tapi sekarang yang ada di hadapannya malah sesosok pria jangkung yang Seira akui err... kakkoi. Apa jangan-jangan—

"Jangan-jangan lo—"

"Ya, ya!" Pria itu memotong dugaan Seira.

"Lo transgender?!"

Pletak

"Kagaklah!" sangakalnya bersamaan dengan pukulan yang mendarat di kepala Seira.

"Sakit, anjir!" pekik Seira sambil mengusap tempurung kepalanya yang baru saja dapat sapaan dari manusia yang ia duga seorang transgender. "Selow bisa kali!"

"Sori," cicit pria itu.

Ah, jangan bilang kalau dugaan Seira benar. Lihat saja sikapnya. Untuk ukuran pria yang sepertinya cukup mapan itu sangat ia ragukan. Tapi, kalo lihat sangkalannya. Tak ada kata bohong. Tetapi, siapa tahu?

"Kalo nama lo Narariya, temen gue pas bocah, gue bisa jamin kalo lo transgender," simpul Seira sepihak.

"Lo emang punya bukti?" tanya pria itu.

Seira bungkam. Ia memang tak punya bukti. Tapi kalau bocah rambutnya dikucir dua ya ... pasti cewek lah.

"Gue emang gak punya bukti. Emang lo sendiri punya?" Hanya satu yang ada di otak Seira. Yaitu membalikkan pertanyaan padanya.

"Bukan bukti, sih." Pria itu sekarang malah nyengir. Seira jadi bergidik sekaligus percaya kalau orang yang ada di hadapannya adalah pria. Bukan transgender. Ah, sejak kapan ia jadi tahu banyak tentang pria? Barusan?

"Apa?" tantang Seira.

"Mungkin bocah itu dulu suka pake rok, dikucir dua, tapi lo ga sadar sama tingkanya yang bahkan gak mirip sama anak cewek kebanyakan. Lebih banyak gerak." Mau tak mau Seira mengakuinya dengan cara mengangguk. "Tapi yang terpenting—"

"Cepet elah," potong Seira.

Sekali lagi, pria itu sudah mengeluarkan cengirrannya. "Lo ... nggak pernah, 'kan, mandi bareng dia?"

Blush

Wajah Seira sudah merah padam. Demi pencipta lautan yang bisa membuatnya tenggelam dalam sekejap! Ia tak mengerti kenapa efek dari ucapan pria itu bisa membuatnya seperti ini.

"Ng—ngapain juga?!"

"Hahahaha, ngakak gue liat lo kayak gitu. Baru sadar, kan?" Pria itu masih saja tertawa. "Gue emang dari kecil cowok. Emak gue aja yang nge-hode-in anaknya dari bocah. Tapi jiwa sama raganya tetep cowok."

Oh ... oke, batin Seira.

"Gitu doang reaksi lo setelah puluhan tahun nggak ketemu?" katanya. Sementara Seira sedang bingung memilih nama panggilan pada cowok ini.

"Puluhan tahun? Bahkan ini baru menginjak 19 tahun gue lulus TK." Pria itu tersenyum ... sialnya lembut. "Apa lagi ... Ari?" Pada akhirnya ia memanggil nama itu.

Tiba-tiba, tanpa Seira sadari. Ari sudah mendekapnya erat. Hell, pelukan pertamanya dengan seorang pria.

"Gue kangen sama lo."

Deg

Bunyi apa barusan?

***

Seira kesal, sebal, marah, dan segala embel-embel yang punya kaitan dengan sesuatu yang membuat otaknya kembali mumet. Kenapa? Pasalnya sang bunda sudah menerornya tadi sore. Apa itu? Sesuatu yang membuatnya gila di usia muda. Kau tahu? Dijodohkan! Ia ingin mati di tempat rasanya.

Sekarang, ia sudah berada di depan meja makan. Lengkap bersama papa dan mama juga kakak-kakaknya yang sudah tersenyum manis. Kali ini ia tak bisa kabur. Pasalnya mama menyuruh ia pulang sekalian beli bunga di toko tempatnya kerja. Dan kenyataannya, itulah jebakan batman yang mama pasang. Sesampainya di rumah, mama langsung memblokir segala akses keluar. Dan baru memberitahunya tentang perjodohan ini sekitar ... 15 menit lalu. Tepat di meja makan ini.

Great, buat novelnya! Maka kau akan terkenal akan kisahmu sendiri, Sei, batinnya sambil tertawa dalam hati. Tawa paling memilukan selama ia hidup.

Ting tong

"Mereka datang," kata mama antusias, "Sei..., setrika mukamu agar tak kusut!"

"BAIK, MA!" balasku lantang diiringi pelototan mama.

Tak lama, sepasang suami istri masuk ke ruang makan keluargaku. Mana orang yang katanya mau dijodohkan dengannya, huh? Tunggu, Seira merasa ada yang janggal di sini. Wanita itu ... iya, yang baru datang itu. Bukankah ia adalah....

Oh, shit! Drama macam apa lagi ini?

"Maaf telat."

Deg

Mata Seira membelalak. Sosok itu kan ... si bocah hode yang lengkap dengan bucket hasil ia mengantar tadi siang. Selamat, Seira. Selamat.

***

Note :

[ 1 ] Kakkoi : Keren ; Cakep

[ 2 ]Hode : Menyamar jadi lawan jenis

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro