Dwi Jingga
Hidup adalah panggung sandiwara. Mari mainkan bagianmu.
Drama ini bukan milik semesta. Manusia berkehendak bebas memilih alur yang mana.
Semesta hanya bermain sedikit, dampaknya cukup memutar balikkan keadaan, perasaan dan manusia di dalam.
Kamu akan jadi mainan, alih-alih seorang pemain yang menang.
Peran utama di tanganmu.
Lempar dadu tak mengubah nasibmu.
Rolling, action!
"Positive," pada benda tipis putih di tangannya, ada dua garis merah cukup terang. Tangannya gemetar, sesuatu di dalam dirinya bergolak ingin keluar. Matanya nanar menatap dua garis tak berkedip. Seperti ada badai menghantamnya. Namun ia bergeming.
"Ini gila," lagi-lagi ia bermonolog sendiri. Dalam pikirannya kacau dan mulutnya hanya mengumbar kata-kata tak bermakna.
Dalam kamar mandi kecil yang udaranya dipenuhi rasa dingin serta suara halus dari exhaust fan. Dwi Jingga menjerit bagai orang kesurupan.
"GUE HAMIL! YES! YES! YES!!"
***
"Ini gila!!" teriakan histeris Tere di depannya tak menyurutkan senyum Dwi. Wajah Dwi malah semakin dipenuhi rona kebahagian. Binar matanya berkelap-kelip bagai bintang di langit.
"Lo, berapa kali main sama dia?!"
"Sekali," jawab Dwi masih disertai cengiran bahagia hingga giginya memamerkan silau mengerikan di mata Tere.
"Gila! Nggak mungkin. Lo pasti bohong. Atau mungkin ini anak orang lain!" Tere masih tidak memercayai pendengarannya. Masih juga menyanggah pengakuan Dwi.
Dwi memberengut disangka wanita jalang. Tangannya terkepal menahan agar tidak menjambak rambut bondol Tere.
"Oke! Koreksi. Bukan sekali," Dwi menjeda, menggigit bibir bawahnya sebelum berkata, "Tapi seharian. Dengan pria yang sama!"
"For God's sake! Are you insane, Dwi Jingga?!! Lo sadar nggak main sama siapa?!"
"Sadar banget. Sumpah! Gue sama dia dalam keadaan 100% sadar saat melakukannya."
"Mati aja deh lo!"
"Kok gitu sih doanya. Gue lagi bunting nih. Jangan doain yang jelek-jelek."
"Lo sadar nggak? Tante Sari nggak akan kasih restu kalian nikah?"
"Heh! Siapa yang mau nikah?!"
"Lo sama Wendra, lah."
"Hell, no!!"
Di sebuah meja kecil, di samping jendela besar. Terlihat orang mulai ramai mondar-mandir. Tepat pukul dua belas lewat sepuluh menit, kafe yang tadinya lenggang mulai diisi beberapa pengunjung.
"Jadi, maksud lo?" Tere membeliak. Mulutnya menganga lebar ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. "Jangan bilang lo serius sama-" Tere terkesiap. Belum lagi selesai ia berbicara, Dwi sudah mengangguk penuh keyakinan.
"Lo gila!" desis Tere.
Dwi memandang malas sahabatnya. Sudah berapa kali Tere mengatakannya gila? Mungkin sebaiknya drama dalam hidupnya berjudul She's Insane! Atau cewek gila?
***
"Mama minta aku nikah, kan? Nggak mau aku jadi perawan tua. Tapi Mama paling sering jelasin tentang masa produktif wanita. Sekarang Mama nggak perlu takut lagi dong. Aku udah hamil. Bentar lagi Mama jadi nenek, Papa jadi kakek, Abang jadi om. Aku jadi anak berbakti karena telah menyenangkan kedua orangtuanya."
Sari mengelus dadanya. Wajahnya pucat pias memandang anak gadis satu-satunya. Lalu beralih pada wajah suaminya yang super clueless.
"Siapa pria yang menghamilimu, Dwi?" tanya papanya. Suara pria pertengahan lima puluh tahun itu setenang permukaan kolam. "Apa dia teman Abangmu?"
Dwi mengernyit. "Bang Cahaya?" tanyanya memastikan.
"Abang kamu siapa lagi kalau bukan Cahaya Pratama, Dwi?!" tanya Sari gusar. Dadanya naik-turun menahan gejolak dongkol. "Pa, bicara yang jelas sama anakmu! Lihat, karena kamu suka nggak jelas dia jadi gitu!"
Giliran Wahyu yang mengerutkan dahi. "Kamu yang suka bicara aneh-aneh. Nggak kasih pengertian yang jelas sama Dwi. Kenapa salahin Papa?! Anak kamu itu!"
"Kalau aja kamu kasih perhatian lebih sama Dwi, nggak sama Cahaya aja. Dwi pasti nggak-"
Sosok yang dijadikan pembicaraan menutup telinganya rapat-rapat. Memilih meninggalkan kedua orangtuanya di ruang tamu dengan perdebatan tak penting menuju kamarnya.
"Anak Papa, lah. Anak Mama, lah. Padahal kalau nggak ada mereka berdua, gue kan nggak lahir ke dunia," Dwi mengelus perut ratanya. Senyumnya terkembang mengingat sembilan bulan lagi ia akan menjadi seorang ibu.
"Bagusnya, kamu manggil Mama, Mami, Mimi, Mamah, Emak, Ibu atau Bunda, ya?"
***
"Mending lo dikawini sama Pak Jamil, bos genit lo daripada sama Wendra. Lebih jelas. Lo bakal dapat duit selama mengandung anak dia. Belum lagi anak lo dapet harta warisan. Bego lo emang, Wi."
"Amit-amit! Pak Jamil fisiknya nggak banget. Inget dia aja gue udah mual nggak jelas. Apalagi punya anak sama dia. Gue milih-milih orang lah ya buat kasih bibit. Nggak ngasal kayak ceplok telor. Dan dia itu udah punya bini, udah punya anak. Banyak beuuut!"
"Jadi apa kelebihan si Wendra ini? Cuma tampang rupawan, kerjaan ngacung juga sama kayak lo. Pegawai rendahan. Lo sama anak lo mau dikasih makan apa, hah? Apa lo nggak jadi resign kayak cita-cita lo setelah punya anak?"
"Gue masih punya orangtua. Harta warisan gue banyak, Cwintah. Abang gue nolak dibagi warisan. Ohlang kahya! Punya perusahaan sendiri."
"Gue nggak bisa bayangin gimana perasaan orangtua lo kalau dengar omongan lo itu, Wi. Waras dikit kenapa?!"
Tere capek meladeni sahabatnya ini. Dwi memang polos. Polos-polos bego. Tapi ia tak mengira Dwi sebego ini. Mengartikan segalanya semudah ia berpikir. Geram, Tere mengguncang kedua lengan Dwi. Sahabatnya harus disadarkan. Tak peduli suasana kafe sedang ramai-ramainya. Dwi harus diselamatkan dari pikiran gilanya.
"Orangtua lo mau lo nikah supaya ada yang jaga. Seumur hidup mereka nggak bisa nemani lo terus, jaga lo terus. Mereka mau lo punya anak dari suami lo secara sah dan halal. Orangtua lo pengin anak gadisnya punya kehidupan baik, membangun bahtera rumah tangga bersama pria yang mereka restui buat lo nikahi. Bukan punya anak gitu aja. Nggak kasih tahu siapa ayah biologisnya. Seenak udel lo umbar-umbar kehamilan lo. Lo udah sakitin hati orangtua lo, Dwi. Sadar nggak sih?! Ya, Tuhan. Dosa apa sih orangtua lo bisa punya anak sebego lo ini?! Seharusnya lo nggak dibiarin hidup sendiri di apartemen. Jadi bebas banget, lo!"
Dwi bergeming. Mulutnya terkatup rapat. Wajahnya datar tak menunjukkan emosi. Kupingnya menangkap setiap kata yang dilontarkan Tere. Titik dan koma tidak terlewat.
"Udah berapa lama lo kenal gue?"
"Cukup lama! Gue tahu semuanya tentang lo!"
"Sejak awal kita kuliah sampai hari ini. Sudah enam tahun lebih. Lo cuma kenal gue di luar. Nggak di rumah gue. Nggak di dalam kamar gue. Lo nggak kenal gue seutuhnya." Dwi bangkit dan meninggalkan Tere yang terperangah di tempatnya.
***
"Aku akan bertanggung jawab, Dwi. Kita akan menikah."
Dwi menepis tangan Wendra. Ditatapnya bengis pria itu. "Gue nggak minta pertanggung-jawaban lo. Gue malah mau berterima kasih. Dan gue kasih tahu supaya nggak ada kejadian menjijikkan kayak anak lo dan gue menikah di masa depan. Lo cuma perlu tahu, ada anak lo di luar sini. Hidup sama gue."
"Kok gitu?! Kenapa?" wajah Wendra sudah mengerut gelisah. Wanita yang dihamili pasti menangis, mengais, memohon supaya dinikahkan. Dan Dwi malah menolak?
Dwi tersenyum manis. Senyuman yang membuat Wendra takluk dan mengajaknya menginap di hotel.
"Gue mau punya anak. Tapi nggak mau punya suami." jawab Dwi santai. Ia menahan kegirangannya. Akhirnya ada yang bertanya. Bukan merong-rongnya untuk menikah dan meminta pertanggungjawaban.
"Kok gitu?" Wendra kehilangan kata-kata. Alasan Dwi masih belum ia mengerti. Dan Dwi dengan senang hati menjelaskan keputusannya ini.
"Pernikahan, momok menakutkan buat gue. Kalau gue nikah artinya gue siap memenjarakan diri dengan orang yang nggak gue kenal seutuhnya. Menghabiskan hidup demi orang lain. Membaktikan diri yang lebih tepat gue pikir sebagai membudakkan diri pada suatu hubungan yang nggak abadi. Apalagi nggak saling cinta. Cinta aja nggak cukup,"
Dwi langsung teringat pada kedua orangtuanya. Mereka mengaku menikah karena cinta. Tapi hari-hari pernikahan mereka tidak semanis dongeng yang Dwi baca. Perdebatan tak penting setiap hari. Keluhan Mama soal Papa dan sebaliknya. Mama yang merajuk tak memasak makanan untuk mereka. Papa yang pergi entah ke mana setelah bertengkar dengan Mama. Ketidak harmonisan keluarga mereka membuat sang sulung memilih keluar dari rumah bahkan sebelum menikah. Kini tinggal Dwi. Ia pun memilih jejak abangnya, kecuali menikah. Dwi lihat pun rumah tangga abangnya tidak semanis awal mereka menikah tiga tahun yang lalu. Baru tiga tahun, bagaimana tahun-tahun berikutnya?
"Kita nggak akan sama dengan yang lain, Wi. Setiap kisah cinta manusia tidak akan pernah sama. Kamu boleh lihat kepahitan serta kehancuran di keluarga lain. Tapi tidak di keluarga yang akan segera kita bangun."
Dwi tertawa mengejek. Wendra baru saja mendongengkan kisah sendu happily ever after. Tapi ia tergoda menanyakan dasar kepercayaan Wendra.
"Aku nggak bisa menjanjikan hidup mewah dan damai selamanya. Pasti ada selisih pendapat di antara kita. Namun hal itu akan semakin menguatkan hubungan ini. Karena kamu dan aku akan menyelesaikan setiap perkara dengan berbicara tenang daripada berdebat sengit. Kita nggak akan bertarung mencari siapa pemenang, tapi berbicara mencari jalan keluar. Kesepakatan yang terbaik untuk kita berdua dan nggak memperkeruh masalah yang ada." Wendra mengamit kedua tangan Dwi. Pelan ia berkata, "Demi calon anak kita, cobalah percaya padaku. Demi cintaku padamu, Dwi Jingga."
Dua alis Dwi menyatu, ditepisnya tangan Wendra. "Sejak kapan lo cinta gue?"
"Sejak pertama kali kita bertemu." Wendra kembali mengamit tangan Dwi. Menggenggamnya erat. "Kamu tersenyum manis, bertanya aku interview pekerjaan apa?" jelasnya singkat.
Beberapa saat kemudian, Dwi tertawa mengingat raut kikuk Wendra menjawab pertanyaannya. Sudah dua tahun yang lalu, si nerdy berubah jadi rupawan. Siapa sangka sejak saat itu ada pria yang mencintainya.
"Mau ya nikah sama aku? Aku hanya bisa berjanji akan selalu membuatmu bahagia. Karena aku nggak mau kehilangan senyumanmu."
Ada yang aneh pada jantung Dwi. Ia merasa sesak napas. Lidahnya kelu.
"Dwi Jingga, please, marry me."
CUT!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro