Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pasang Telinga

Kamar kosku cukup unik. Padahal tidak terletak di ujung lorong, tetapi segera setelah penghuni kamar kos lain masuk ke kamar masing-masing, seketika segala suara senyap. Maksudku, seperti suara denting piring ketika dicuci, obrolan dengan sesama penghuni, bahkan ocehan balita tetangga. Derit serangga dan kodok yang mengorek dari tanah kosong di belakang bangunan kos ajaibnya masih bisa menembus kaca jendela yang terkunci mati.

Bangunan kos kami memiliki beberapa kamar yang cukup besar untuk dihuni satu keluarga kecil dan aku sering melihat ibu-ibu atau bapak-bapak mendorong anak di sepeda roda tiga dengan mangkok nasi kuah di tangan lain, ketika pulang kerja. Memang tidak cukup akrab untuk mengobrol, tetapi setidaknya masih bisa saling mengangguk beserta mengucapkan sapaan singkat.

Kemana perginya ocehan manusia dan suara-suara kehidupan pagi yang sering kulalui setiap berangkat dan pulang itu, aku tak mengerti.

"Eh, Dik Dita, sudah pulang?"

Tante Yan, tetangga dari kamar seberang lagi-lagi menyapa lebih dulu. Tak masalah, seandainya perempuan paruh baya itu tidak muncul tiba-tiba di sebelah, ketika aku sedang membuka kunci pintu kamar. Cukup mengherankan aroma parfumnya yang tajam tidak tercium lebih dulu sebelum dia mendekat.

"Pulang kerja? Pasti capek, ya ... Jadi pegawai baru," lanjut Tante Yan. Entah kenapa agak sulit mempercayai nada simpatinya.

"Sudah makan, belum, Dik Dita? Ini Tante ada kelebihan lauk, ambil aja. Lumayan buat camilan atau malah makan malam."

Perempuan itu menjejalkan sebuah kotak plastik thinwall ke tanganku. Ditolak pun percuma, sudah berkali-kali aku kalah debat darinya.

"Dimakan, ya!" ujarnya dengan penekanan sebelum berlalu untuk kembali ke kamarnya sendiri.

Setelah yakin perempuan itu betul-betul pergi, barulah aku sendiri masuk dengan membawa serta kotak thinwall itu. Sepintas isinya terlihat seperti tumisan daging dengan banyak irisan bawang putih dan bawang bombay. Aku tak suka bawang bombay.

Pintu kamar kembali kukunci rapat sebelum menjatuhkan kotak thinwall itu ke keranjang sampah. Besok akan kubuang diam-diam bersama sampah-sampah lain.

Sekarang aku hanya ingin segera mandi, lalu tidur secepatnya. Semakin awal aku tidur, semakin baik.

Aku tidak perlu berangkat lebih awal besok. Juga tidak ada tugas mendesak yang perlu diselesaikan di kantor. Aku hanya ingin tidur sedikit lebih lama, sebelum suara itu muncul.

Di antara dengung halus pendingin ruangan dan detak stabil jarum detik jam dinding, samar-samar terdengar ketukan. Tak beraturan tetapi konstan.

Awalnya tentu saja suara ketukan itu kuabaikan, sesuatu yang segera kusesali. Suaranya akan semakin kencang. Apalagi bila kutinggal tidur, serasa ada tangan raksasa yang menggedor-gedor pintu atau kaca jendela kamar.

Namun apabila aku mencari tahu asal suara, perlahan—seperti ada yang memutar tombol pengatur volume suara, ketukan itu akan terdengar semakin pelan hingga tak hanya menyulitkan untuk mencari sumbernya, tetapi juga hilang sama sekali.

Begitu seterusnya hingga pagi.

Tidak selalu terjadi setiap malam, memang. Aku bahkan pernah berhari-hari tidur nyenyak tanpa terganggu suara itu sama sekali. Namun setiap kali muncul, amat sangat mengganggu. Aku harus berjaga hingga dini hari hanya untuk mencari tahu asal suara, atau semua barang pajanganku bakal pecah semua akibat gedoran yang timbul kalau kutinggal tidur—entah mengapa tak ada tetangga lain yang mendengar.

Karena itu aku berusaha untuk tidur lebih awal. Berharap suara itu tak muncul atau setidaknya kalau terlanjur muncul aku sudah mendapat cukup tidur untuk berjaga hingga pagi.

"Berangkat ngantor, Dik Dita?"

Tante Yan seperti biasa menyapa seolah muncul begitu saja. Seperti biasa juga aroma tajam parfum yang dikenakan seperti terlambat datang sebelum mulai menusuk hidung di tengah-tengah obrolan basa-basinya.

"Aku pergi dulu, Tante!" gumamku mengakhiri pembicaraan.

Semoga tidak terdengar ketus. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan sesepuh di kos-kosan. Aku tak mau harus pindah tempat lagi hanya gara-gara bersitegang dengan sesepuh di kos-kosan sebelumnya. Terlepas dari segala keanehan yang harus kuhadapi, sewa kos di sini murah.

"Dita!"

Aku tersentak. Bisikan tegas dan cubitan di pinggang menarik kembali kesadaran pada layar proyeksi dan presentasi.

Sial! Apakah tadi aku tak hanya melamun tetapi juga sempat tertidur di tengah rapat?

Untungnya hanya seniorku yang menyadari itu, Beliau yang membangunkanku tadi.

"Kenapa kamu ini, tadi itu rapat penting. Kamu mau dipecat sebelum masa probation-mu habis?"

Seniorku datang mengkonfrontasi seusai rapat.

"Maaf, Mbak. Kosanku berisik. Aku susah tidur."

Mendengar penjelasanku Mbak seniorku itu menghela napas. Wajahnya seketika menunjukkan rasa prihatin.

Beliau salah satu dari sedikit orang yang tahu kalau aku baru saja pindah tempat kos. Beliau juga yang tahu apa yang sebetulnya terjadi antara aku dan sesepuh kosan, hingga membuatku terpaksa hengkang.

Tanpa menjelaskan dengan detail apa sebetulnya penyebab berisik itu, seniorku sepertinya mengira aku terlalu segan untuk menegur tetangga sepuh yang membuat suara kencang di malam hari.

"Ini," ujarnya sembari menyodorkan headset. "Agak lawas, tipe berkabel, tapi masih berfungsi—terutama noise canceling-nya."

Melihatku mengernyit, Mbak seniorku itu buru-buru menambahkan,"Aku baru beli yang wireless ... Daripada tak terpakai. Kalau kau bisa tidur nyenyak juga, kerjaanmu jadi lebih beres, kan?"

Baiklah, hanya menerima barang bekas layak pakai. Seharusnya tidak akan jadi gosip yang bukan-bukan. Jadi kuterima saja pemberian seniorku itu.

"Trims, Mbak," ucapku ketika headset merah berpindah tangan.

Hasil ujicoba selama perjalanan pulang, cukup sukses. Sampai nyaris terlewat halte tempat seharusnya aku turun, karena tertidur dan tak mendengar suara pengumuman.

"Dik Dita?"

Aku kurang beruntung. Tetangga kos pertama yang menyambut adalah Tante Yan. Semoga saja Beliau tidak menanyakan soal rasa tumis daging bombay yang tempohari.

"Apa yang merah-merah nyangkut di telingamu itu?"

"Eh, headset ini? Untuk mendengarkan uh ... seminar online."

"Buang!"

"Hah?"

"Benda itu tak baik untukmu. Buang sekarang juga!"

Sungguh tak masuk akal. Tiba-tiba menyuruhku membuang barang baru—walau bekas pakai. Lagipula, siapa dia seenaknya memutuskan barang apa yang boleh atau tidak boleh kukenakan.

Tentu saja tidak kupedulikan. Dengan berbagai alasan, aku mohon diri. Bergegas kembali ke kamar dan mengunci pintu.

Setelah beberapa minggu was-was pada kemunculan suara misterius itu, akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Tak mungkin aku menuruti saran tak jelas dari tante-tante tak jelas apa kerjanya itu.

Makan malam dan mandi dengan santai adalah hal yang sudah lama tak kualami sejak pindah ke kamar kos baru. Setelahnya aku segera menyumpal kedua telinga, mencari suara pengantar tidur dari aplikasi berlambang hijau dan hitam, dan naik ke tempat tidur.

Tak lama setelah menarik selimut, aku pun terlelap. Sepertinya karena sisa lelah dan kurang tidur yang menumpuk.

Aku lupa walau tak terdengar, getaran bakal tetap terasa bila suara sudah sangat kencang. Saking kencangnya, tempat tidur kayu berderit dan berguncang. Mau tak mau siapa pun akan terbangun juga.

Ketika akhirnya—walau sangat enggan, aku membuka mata. Untuk sesaat aku terdiam. Tak bisa mengenali apakah sudah betul-betul bangun atau masih terperangkap dalam mimpi. Ketika aku mengira hanya akan melihat kamar kos yang berantakan seperti terkena gempa, sosok hitam besar menutupi sebagian besar pandangan.

Sepasang tangan raksasa dan sepasang lagi, bergantian memukul-mukul lantai. Mulut besar, meneriakkan sesuatu. Aku tak bisa melihat di mana matanya berada.

Ujung tubuhnya yang lain memanjang hingga jendela yang kacanya mati, terus hingga ke arah tanah kosong. Dari sanakah makhluk itu berasal?

Dentuman semakin kencang, rasanya mengenakan headset dengan noise canceling sekalipun tak ada gunanya. Malah membuatku tak bisa menangkap perkataan makhluk itu.

Mungkin bila aku memenuhi apa yang dia inginkan, dia akan segera pergi. Begitu yang kupikirkan ketika meraih salah satu penyumpal telinga. Bermaksud untuk mencabutnya.

Gerakan yang seharusnya sepele terasa lebih sulit dilakukan dengan tangan yang gemetar hebat. Sempat terlihat seringai di mulut lebar makhluk itu ketika tangan gemetarku akhirnya berhasil mencapai salah satu penyumpal telinga. Ragu pun timbul.

Aku mengurungkan niat, tetapi sesuatu terasa menarik lengan yang masih menggenggam sumpalan di telinga kiri. Basah dan melilit.

Apapun itu memaksa lenganku untuk menjauh dari telinga. Aku tak mau membuka sumpalan, dengan peredam saja getarannya seperti ada yang memukul gendang di kepalaku, apalagi tanpa sumpalan.

Tarik-menarik terjadi. Aku berhasil memaksa tanganku yang lain untuk menahan tangan yang tertarik benda misterius. Sementara dentuman yang mengguncang seisi kamarku mulai membuat kaki-kaki tempat tidur goyah.

Pantat dan kakiku bisa merasakan ada derak panjang sebelum salah satu kaki tempat tidur betul-betul patah. Seketika kasur pun miring. Membuat segala yang ada di atasnya merosot ke arah lantai.

Setengah mati aku berusaha tetap berada di atas kasur, sambil menahan tarikan di lenganku. Otot-otot tangan dan kaki mulai terasa kram. Jalan 200 meter ke halte bus setiap kali berangkat kerja ternyata belum cukup.

Seringai makhluk hitam raksasa itu semakin lebar. Dia sepertinya menyadari bahwa mangsanya sudah berada di ambang batas.

Goncangan dan dentuman yang kukira sudah maksimal ternyata bisa bertambah. Kaki-kaki tempat tidur yang tersisa pun patah berturut-turut. Benda-benda lebih berat di sekeliling mulai terpental. Pintu kayu yang kokoh terbelah. Bersamaan dengan itu sesuatu menghambur masuk.

Peduli setan. Aku sudah terlalu lelah. Mau dimakan atau dikuliti lebih dulu, terserah saja.

Aroma parfum tajam yang kukenal merangsek penghiduan. Kemudian segalanya gelap.

***ooo000ooo***

"Sepertinya memang tidak dimakan. Salahku juga tidak menanyakan lebih detil makanan apa saja yang disukai."

Suara yang kukenal.

"Bukan salahmu saja, Yan. Kudengar dari penghuni kos lain dia juga anak yang agak sulit dibilangi, padahal peraturan kos ini sudah diberikan sejak awal. Aku juga teledor tak sempat memberikan peringatan langsung."

Suara orang yang tidak terlalu kukenal. Sepertinya pernah kudengar lewat telepon.

"Sekarang bagaimana? @^#&#^% sudah terlanjur menandainya. Ke manapun dia pergi, akan diikuti."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro