Reuni
Ada satu kursi kosong di samping Maya dan tidak ada yang berani mengisi. Bram menggeret kursi dari meja lain dan duduk di belakangku. "Titip Nan." Ucap Bram sambil meletakkan kopi-kopian—entah caramel latte atau hazelnut latte—di di atas meja, di antara aku dan Agus. Baru saja, Amel mengirim berita duka di grup Whatsupp, kucing kesayangan ayahnya mati dan Amel tidak bisa hadir. "Alesan aja Si Amel." Tidak ada yang memprotes ketidakhadiran Amel selain Bram, lantas pertemuan tidak resmi ini secara resmi dibuka.
Sisil yang karismatik dan langganan dijadikan brand ambassador OSIS bicara luwes di ujung meja panjang sebagai pembawa acara abal-abal. "Selamat datang di acara adu nasib!" Begitu celotehnya diiringi tawa seantero kafe. Ia mengajak peserta adu nasib untuk berdoa dan dilanjutkan dengan merapal banyak terimakasih kepada para pemberi sumbangan alias sponsor dari acara tidak resmi ini. "Sebelum kita benar-benar adu nasib, karena Arya Sang Tamu Istimewa kita sudah hadir, aku sebagai em-si alias karakter utama hendak mengajukan pertanyaan penting!"
Bram mengulurkan tangannya di antara aku dan Agus, mengambil kopi-kopian miliknya. "Bram! Kamu betulan punya hubungan spesial dengan Arya 'kan?" Aku bisa mendengar Bram tersedak dan Agus yang mentertawakan kemalangan Bram.
"Mana ada!" Bram mengelak lantas menjelaskan dengan menggebu-gebu. "Namanya support system, penting itu, iya kan Pak Dosen." Begitu Bram mengakhiri penjelasannya. Bram memang yang paling dekat dengan Arya, mengalahkan Maya yang notabene mantan pacar Arya. Keduanya—Bram dan Arya—sering digosipkan memiliki hubungan spesial, dulu, semasa SMA. Pernah satu kali aku memergoki Bram memberikan pelukan ke Arya di belakang ruang laboratorium biologi sepulang sekolah—tambahan sambil memberikan petuah-petuah motivasi Bahasa Inggris dan Prancis yang diajarkan di kelas—sesuatu yang disebut sebagai support system oleh Bram.
"Setiap hari, setiap kita bertemu, yang kamu tanyakan selalu Arya mana, Arya kenapa, Arya ini, Arya itu." Maya memperkuat rumor yang sejatinya tidak benar.
"Arya berapa nilainya, Arya remidi ya, Arya makan apa tadi, Arya beraknya duduk atau jongkok, pollar opposite tapi mesra sekali." Sisil menambahkan dengan berlebihan. Sementara Agus yang disebut sebagai Pak Dosen oleh Bram hanya mengangguk sambil menahan tawa. Padahal tidak ada yang perlu ditertawakan, sebab tidak ada yang lebih membuat iri dan menyakitkan dari hubungan baik antara Bram dan Arya.
"Pokoknya begitu." Bram benar-benar mengakhiri sesinya. Ia duduk dengan wajah merah, entah menahan malu atau yang lainnya.
"Aku jadi ingat sesuatu." Sisil mengambil alih. "Perbedaan Arya dan Bram, yang sangat kentara, waktu Arya presentasi pelajaran agama, satu kelompok dengan Bram, waktu itu yang terhormat Agus memberikan pertanyaan, boleh tidak mendoakan yang buruk-buruk."
"Wah Sisil, pelanggaran!" Bram kembali protes sebab Sisil hendak menceritakan kebodohannya.
"Arya sudah jawab dengan baik dan benar kalau mendoakan yang buruk-buruk itu tidak boleh, tapi Bram jawab apa?" Sisil sengaja mengajukan pertanyaan dan menyodorkan mikrofonnya ke arah Agus.
"Tidak dianjurkan, tapi boleh, daripada tidak berdoa, berkah barokah untuk jawaban Bram." Kalimat yang dilontarkan Agus semakin memeriahkan acara tidak resmi yang sudah dibuka secara resmi. "Arya memang jauh lebih beradab dibandingkan Bram, agak lugu juga untuk ukuran remaja SMA yang seharusnya sudah terpapar pornografi dan kejamnya dunia gerak lurus berubah beraturan dan tidak beraturan di tahun pertama, pokoknya begitu 'kan Bram?" Bram hanya mengangguk sambil membetulkan kaca matanya. "Aku tidak akan pernah lupa, saat Arya mengira Bogan anak sopir Roti Bois." Satu lagi kisah yang tidak kalah penting Agus narasikan.
Bogan anak nakal yang gemar menindas teman seangkatannya, tidak ada yang berani menentang Bogan sebab seluruh siswa SMA Nusantara mengetahui latar belakang anak nakal ini. Ayahnya penyumbang terbesar dan kios megah Roti Bois berdiri di hampir seluruh mall, di pulau Jawa. Tapi Bogan yang terkenal nakal ini selalu diantar ke sekolah oleh ayahnya dengan truk bak tertutup lusuh warna kuning-biru khas Roti Bois. "Tidak ada yang berani menantang Bogan, selain Arya, anak-anak lain mengira Arya ini memang pemberani, tapi setelah diusut ternyata, Arya tidak tahu asal-usul Bogan dan mengira pembuat onar itu anak sopir Roti Bois yang sedang dalam masa rebel." Agus mengakhiri narasinya.
"Mereka berkelahi, untungnya Arya menang, tapi aku yang disalahkan karena tidak menjelaskan ke Arya tentang duduk masalah per-Bogan-an." Bram bicara sambil berkacak pinggang dari kursinya. "Anak itu—Arya—bahkan tidak tahu arti kata segawon, dia pikir itu nasi rawon, padahal aku jelas mengatai Bogan dengan kata segawon, agak lain memang."
"Arya terlalu baik, anak itu menanggapi omong kosong Bu Amena." Guru yang terkenal dianugrahi indera ke-enam itu sering beride meramal anak didiknya, dan hanya Arya yang menanggapi ramalan Bu Amena dengan sungguh-sungguh. "Arya mungkin benar-benar percaya kalau guru agama kita punya ajian swara bumi." Guru agama ini rumornya bisa mendengar obrolan satu sekolah selama ia menapak di tanah. "Hanya Arya yang tepuk-tangan waktu Bram bilang cita-citanya menjadi ayah yang bertanggung jawab, dan satu-satunya yang tidak lulus ujian nasional matematika SMP tapi bisa menjuarai olimpiade matematika di SMA." Kali ini Agus benar-benar berhenti dan memberikan senyum kecut ke arah Maya.
"Wajah terkejutnya waktu aku mengajaknya berpacaran tidak akan ada duanya." Maya menambahkan, memberikan hal manis di atas tindakan-tindakan aneh siswa SMA. "Waktu pertama berpegangan tangan, waktu ia memberikan kado dengan malu-malu, tidak ada anak laki-laki lain yang lebih beradab dari Arya, dan Bram itu kebalikannya."
Tidak ada yang berani menimpali ucapan Maya, seluruhnya diam, termasuk Sisil dan Bram yang sejatinya gemar bicara, masing-masing mungkin sedang meresapi megahnya eksistensi Arya. Satu, dua, tiga menit, lalu Sisil memecah kemuraman yang hampir memenuhi kafe. "Oke, ada lagi yang ingin memberikan kesan pesan terkait keberadaan Arya?" Ia mengajukan pertanyaan sambil mengangkat tangan kirinya. "Tidak ada? Kalian sudah sangat ingin diajak adu nasib ya?" Ia berceloteh, tapi tidak ada gelak tawa, hanya senyum yang sedikit dipaksanakan.
Ada satu kursi kosong di samping Maya dan tidak ada yang berani mengisi. "Aku mau menambahkan." Agus mengangkat tangan dan Sisil memberinya mikrofon. "Aku ingin meminta maaf kepada Arya, karena tidak memberikan contekan fisika saat ulangan harian bab radiasi elektromagnetik." Ulangan harian itu adalah pemicu pertama. Arya mendapat nilai buruk, ia tidak sempat belajar karena masalah yang ia hadapi di rumah. "Jadi nanti, ketika aku punya anak, aku akan menanamkan konsep toleransi dan kerjasama dengan sungguh-sungguh supaya hal-hal seperti itu tidak terulang." Agus masih bijak dan sedikit kaku seperti saat SMA meski sekarang ia telah menjadi dosen.
Ada satu kursi kosong di samping Maya dan tidak ada yang berani mengisi. Maya dengan sopan meminta mikrofon dari Agus dan memberi sedikit ucapan. "Selamat Arya, kamu tidak perlu menghadapi quarter life crisis, atau menghadapi rengekan anak kembar yang mungkin jadi anakmu kalau kita tidak putus." Ucapan Maya menggelapkan suasana dalam kafe. Pemicu kedua adalah hubungan Arya dengan Maya, yang kandas akibat kurangnya komunikasi positif antara Arya dengan Maya. Arya yang sedang tidak ingin diganggu dan Maya yang menuntut perhatian dari Arya.
Ada satu kursi kosong di samping Maya dan tidak ada yang berani mengisi. Bram merebut mikrofon dari Maya dan tanpa diminta menyambung ucapan Maya. "Sebentar, kamu tidak meminta maaf padaku Gus? Kamu pelit sekali kalau sudah menyangkut contek-mencontek." Beberapa menahan tawa.
"Untuk Arya, no homo man, meski kita sering yang-yangan dan dikira homo." Bram menjeda, dan suasana memekat. "Kamu tidak akan tahu kalau teman-temanmu ini bicara jelek tentangmu di kafe ini, kecuali kamu menjadi hantu penasaran, sayang sekali karena aku harap kamu tidak jadi hantu penasaran meski aku ingin kamu tahu teman-temanmu berkumpul di sini dan bicara tentang kamu." Bram kembali menjeda, aku yakin ia yang paling sakit hati, sebab pemicu terakhir adalah rumor hubungan spesial antara Arya dengan Bram. Kebodohan yang memaksa Arya untuk menjauhi Bram, menghasilkan banyak pertengkaran di antara keduanya. "Segawon itu anjing Arya, dan kamu bangsat sekali."
Ada satu kursi kosong di samping Maya dan tidak ada yang berani mengisi. Aku yang memberikan ide kepada Sisil untuk menyelipkan sesi khusus guna mengingat keberadaan Arya. Sebab anak laki-laki lemah itu telah pergi dengan cara yang tidak biasa, dan selepas pembicaraan gelap ini aku yakin, tidak akan ada yang berani memamerkan pencapaiannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro