Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mau Jadi Apa?

Kalau seseorang bertanya padaku yang berusia lima tahun, pasti kujawab, "jadi princess!"

Dulu saat aku masih kecil sekali, aku terobsesi dengan karakter-karakter Disney Princess, terutama Cinderella. Lalu suatu ketika, saat aku sudah berusia delapan tahun seseorang anak lelaki penggila teori konspirasi—cih, kecil-kecil nontonnya teori konspirasi—berkata padaku, "kamu tau nggak Cinderella cerita aslinya gimana?"

Lantas kujawab saja, "Nggak tau, emang gimana?"

Lalu dia menceritakan kronologinya dari awal sampai akhir. Mulai dari saudara tiri Cinderella yang jari dan tumit kakinya dipotong agar sepatunya muat, keinginan Cinderella untuk menghabisi nyawa ibu dan saudara tirinya, hingga akhir hidup kedua saudara Cinderella yang bola matanya dipatuk merpati-merpati Cinderella.

Sebagai anak berusia delapan tahun, tentu saja responsku hanya gidikan ngeri diikuti sunyi, aku terdiam seribu bahasa. Sang anak lelaki yang tampak puas telah berhasil mengacaukan dunia seorang gadis kecil pun kembali ke tempatnya.

Pulang sekolah sambil menangis dikit-dikit aku menceritakan hal tersebut kepada ibuku, Cinderella jahat, ibu tiri dan saudara tiri lebih jahat, semuanya jahat!

Yang Ibu lakukan hanya menenangkanku, dan berkata aku tidak harus jadi seperti Cinderella jika mau jadi princess, aku bisa jadi diriku sendiri, jadi princess yang baik hati, penyayang, dan ramah.

Setahun kemudian aku menemukan sebuah acara di mana para perempuan-perempuan cantik akan beradu lenggak-lenggok di atas panggung, menyampaikan pidato, lalu seorang dari mereka akan dimahkotai di akhir acara. Aku terperangah. Maka, jika kau tanya padaku yang berusia sembilan tahun mau jadi apa, maka akan kujawab, "jadi Puteri Indonesia!"

Aku bilang pada ibuku lagi, lalu ia tersenyum simpul sambil menjawab, "Makanya belajar yang rajin ya, biar nanti sudah besar jadi Puteri Indonesia."

Sebab ucapan itu aku benar-benar sungguh-sungguh dalam belajar, yang tadinya aku terbiasa mendapat peringkat belasan—paling mentok sembilan—langsung masuk ke tujuh besar, lalu lima besar, tapi mentok di tiga besar.

Kata Ibu, "Nggak apa-apa, namanya proses."

Kemudian pubertas menyerang. Boro-boro mau jadi Puteri Indonesia, makin hari makin muak aku lihat wajahku di cermin. Sudah dekil, jerawatan, berminyak lagi. Prestasiku ya ..., sama-sama saja lah, sepuluh besar, mentok di lima.

Suatu saat aku disuruh mengisi biodata, aku harus jungkir balik berpikir keras apa cita-citaku.

Dokter? Meh.

Polwan? Nggak lah.

Guru? Nggak juga!

Solusi terbaiknya, aku tanya pada Ibu.

Ibu bilang, "Emang udah nggak mau jadi Puteri Indonesia?"

Mana mungkin kutulis Puteri Indonesia. Lagipula sudah luntur harapanku jadi Puteri Indonesia, yang menyeleksi mungkin tak akan pikir panjang untuk menyuruhku langsung keluar ruangan.

Kubilang, "Udah nggak, cari cita-cita lain."

"Kenapa?" tanya Ibu.

"Kayak ... nggak mungkin aja gitu."

"Kamu ngerasa kurang cantik? Kurang pinter? Waktunya masih lama, kamu cuma harus belajar menerima diri aja, ajang kecantikan itu buat orang yang bisa berdamai sama dirinya sendiri, bukan semata karena cantik dan pinter," ucapnya teduh.

Tak seperti diriku yang dahulu, aku ogah menelan mentah-mentah nasihat ibuku yang sebenarnya bermaksud baik. Karena merasa tak menemukan jawaban, aku berbalik kembali ke kamar, lalu menulis "pengusaha" di kolom cita-cita.

Kalau aku jadi orang lain pun lihat orang berbentuk sepertiku masuk layar kaca jadi Puteri Indonesia aku akan berkata, "Kayak nggak ada yang lain aja."

Ucapan "semua orang cantik," itu omong kosong. Nyatanya memang nggak semua orang cantik rupanya. Apalagi untuk ajang kecantikan. Brain, beauty, behaviour, semua ada kadarnya untuk menentukan apakah seseorang memenuhi tiga kriteria itu.

Ratu kecantikan diperlukan sebagai figur wanita "sempurna". Mereka tak memberantas kemiskinan, tak juga menyelesaikan permasalahan politik, apalagi melawan monster yang menyerang kota. Mereka diperlukan sebagai inspirasi, role model. Mereka hadir dengan versi mereka yang sekarang untuk menghidupkan mimpi wanita muda bahwa jadi "sempurna" itu bukan tidak mungkin. Sayangnya mayoritas dari mereka memang berasal dari keluarga yang kaya raya.

Kalau dibilang cantik itu bukan soal warna kulit, berat badan, atau tinggi badan aku setuju. Aku pernah bertemu orang berkulit gelap yang wajahnya tak bosan kupandang, ada juga orang yang jauh dari kata langsing tapi jadi primadona kelas, pun banyak orang pendek yang cantik.

Sayangnya aku menerima, aku bukan semua itu. Aku mengakui ... mungkin kelebihanku bukan di fisik, tapi ada di tempat lainnya. Kata orang di sekitarku aku pintar, meski nggak pernah ranking satu, selain itu aku jago main bulutangkis. Ada momen di mana aku bisa bersinar dan dipandang keren meskipun secara fisik aku kurang cantik.

Lantas kusimpulkan bahwa kau tidak perlu cantik untuk jadi berharga, menerima dirimu sendiri adalah menerima fakta tentang kekurangan dan kelebihanmu.

Kalau kau bertanya padaku yang duduk di bangku SMP bahwa aku mau jadi apa, maka kujawab, "jadi wanita rasional saja sudah cukup."

Kemudian hidupku terus bergulir hingga tiba ke masa SMA, masa tersuramku.

Entahlah, aku merasa ... tak seharusnya berada di sini. Jika kau mengira kawan sekelasku jahat, tukang bully, dan lain sebagainya, itu salah besar. Mereka baik, cantik-cantik, pintar, rajin, dan populer. Mereka tak mengasingkanku, hanya saja aku terlalu takut salah kata di depan mereka hingga aku berakhir kikuk.

Bagaimana bisa aku bersinar di antara lautan berlian? Mau adu kecerdasan otak? Mau pamer pukulan mematikan? Mereka bisa semuanya. Aku tak menyangka bahwa aku akan menemukan begitu banyak sosok "sempurna" di kehidupanku.

Pada akhirnya setelah berminggu-minggu sulit dapat kelompok, akan ada kelompok "buangan" yang orangnya itu-itu saja, aku termasuk ke dalamnya.

Kami terjebak pertemanan mau tak mau karena memang cuma kami yang tak punya banyak teman.

Kami berbeda satu sama lain. Ada yang suka jejepangan, ada yang mulutnya bak toa tahu bulat, ada yang alim, dan lain-lain.

Kami adalah individu yang menarik jika berkumpul dengan sesama kami, tapi sayang tak bisa mendapat perhatian yang lebih luas karena yang lain lebih menarik.

Meski mereka culun, aku senang akhirnya punya wadah di mana aku bisa mengekspresikan diriku seutuhnya dan diapresiasi atas apa yang kulakukan dan kumiliki.

Akhirnya aku menyadari bahwa tak semua orang punya lingkungan yang mendukung yang mau mendengar dan melihat kelebihanmu. Aku menyadari bahwa terkadang orang memang menilai dari penampilanmu dulu untuk menentukan apakah kau pantas ditelisik lebih dalam atau tidak. Maka "semua wanita cantik" diperlukan agar beberapa orang merasa dihargai karena belum menemukan orang yang tepat untuk menghargainya.

Perjalanan akademisku tak berjalan mulus, aku pernah ranking lima di semester satu, tapi langsung anjlok ke sembilan dan tak pernah naik hingga ... aku tak tahu semester lima aku peringkat berapa.

Tapi dengan ajaibnya, aku masuk daftar terbaik sekolah hingga aku berhak daftar untuk SNMPTN . Aku mempunyai satu tiket yang tak semua orang bisa memiliki untuk mendaftar ke kampus impianku.

"Jangan seneng dulu, baru eligible."

"SNMPTN itu untung-untungan."

Kata-kata itu seringkali kudengar bahkan dari mulut orang-orang yang eligible juga. Mereka tak ingin berekspektasi lebih.

Tibalah waktunya pemetaan. Kami berbaris di ruang BK, yang sekarang kami ubah namanya menjadi ruang pembantaian mimpi. Dari rangkaian kegiatan daftar SNMPTN ini, aku jadi lebih sering mengobrol dengan teman-teman lain.

Kali ini dengan wajah lesu, seorang perempuan keluar dari ruang BK, lantas langsung menghambur memeluk kawannya sambil terisak. Stephanie Alicia, si peringkat lima paralel, menangis setelah diceramahi guru BK.

Ya, mau bagaimana lagi, sekolah kami di bawah peringkat 500. Guru BK pastilah berpikir realistis. Hanya saja aku mengerti kepentingan beberapa orang, mereka takut menyesal dengan pilihan mereka ketika dapat nanti, merasa layak mendapatkan tempat yang lebih baik.

"Kenapa?" Kirana berbisik sambil menunjuk Stephanie yang masih menangis.

Ghina yang ada di dalam ruang BK saat kejadian memberi klarifikasi. "Nggak disetujuin, pokoknya ngotot-ngototan sampe Bu Hera nyuruh telepon orang tuanya," jelasnya dengan suara pelan. Aku dan Kirana ber-oh pelan sambil mengangguk-angguk.

Memang berat, sih. Pilihannya berat. Meskipun sekelas peringkat lima paralel, memilih Perguruan Tinggi Negeri top tiga, apalagi lintas jurusan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh guru BK.

"Winda, dipanggil." Deg.

Aduh.

Beberapa anak menyemangatiku seakan aku akan bertempur di medan perang.

Dinginnya ruang AC langsung menyambut begitu batang hidungku menyentuh atmosfer ruang BK, kontras dengan suasana di luar yang tersengat sinar matahari langsung.

Aku langsung duduk di kursi, lalu menghela napas. Santai, aku—sepertinya—sudah pikirkan matang-matang.

"Jadi gimana?" Bu Hera bertanya lagi di pertemuan kedua kami.

"Tetep, Bu, kesehatan masyarakat," ujarku mantap dengan senyum tersimpul.

"Emang kamu cita-citanya mau jadi apa?" Ia bertanya sambil melihat-lihat daftar anak eligible, memastikan apakah ada yang pilihannya sama denganku.

Jadi seperti Puteri Indonesia ....

Ya, aku masih memiliki keinginan itu jauh di lubuk hatiku.

"Mau kayak ... sosialisasi ke desa-desa, Bu, kayaknya asyik," jawabku enteng.

"Penyuluhan ke desa-desa itu gajinya nggak sebanding sama pengorbanannya loh, kamu jauh dari keluarga, susah sinyal, tidur makan seadanya," ujarnya dengan bola mata membulat.

"Saya tau, Bu, saya yakin ...." Aku berkukuh.

"Oke, kesehatan masyarakat ya."

"Iya, Bu."

Aku melihat para ratu kecantikan sering terjun ke tempat-tempat yang kebersihan dan dasar pengetahuan kesehatannya kurang. Mereka melakukan hal itu dengan sukarela dan disambut baik oleh para warga. Aku tidak tahu apakah jika aku yang datang untuk sosialisasi disambut sebaik itu, tapi aku terinspirasi oleh mereka. Para ratu kecantikan, yang mampu menemukan keluarga baru di tempat-tempat tak terduga, jauh dari gemerlap kota metropolitan, dengan akses yang mudah ke berbagai tempat, akses internet yang memadai untuk terhubung ke dunia luar, juga tempat istirahat yang nyaman.

Kalau kau bertanya saat ini aku mau jadi apa? Aku mau kelak aku dikelilingi orang-orang yang mau peduli untuk mengenalku lebih jauh dari sekedar ciri fisik, yang mengapresiasi apa yang kulakukan dan mendengarkan isi pikiranku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro