Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mutiara Tujuh Rupa

Penyerangan itu terjadi tiap malam purnama. Karena itulah, Ayah memberikan tenggat padaku.

"Pusaka itu harus kalian dapatkan sebelum bulan purnama berikutnya, atau kita gagal melindungi desa."

Aku tahu kenapa Ayah berkata begitu. Yang aku tidak paham, kenapa Ayah mengutus Keelan untuk ikut bersamaku. Aku sih iya-iya saja, tetapi lelaki itu banyak menggerutu.

"Si tua itu membenciku!"

"Siapa yang kamu panggil 'si tua?' " seruku tak terima.

"Siapa lagi? Tentu saja Kepala Desa. Menyuruhku keluar tempat aman buat mencari senjata—"

Aku mendebas. Aku, Lara, putri dari Kepala Desa, yang mendengar gerutuan Keelan. "Desa enggak aman saat purnama nanti, selama kita belum menemukan pusaka itu."

"Emang kamu tahu, purnama kapan?" Keelan menatapku tajam.

"Kenapa kamu melototin aku?" Aku makin mengkal. "Sekitar dua minggu lagi. Cukup buat perjalanan bolak-balik."

Keelan mencibir. Aku tak paham isi pikirannya.

Kami sudah berjalan dua hari, dan selama itu, kami berkemah tiap malam. Jalan menuju tempat pusaka tidak ada yang mulus atau nyaman. Yang ada hanyalah hutan rimba, padang rumput, dan marabahaya (mungkin?). Rute hutan ini paling cepat, meski aku waswas. Sepanjang yang kutahu, dari sanalah teror berasal.

Teror para manusia serigala.

Namun, soal itu, Keelan amat santai. "Selama ada aku, enggak akan ada makhluk buas yang mendekatimu, termasuk werewolf"

"Masa?”

Keelan tak menjawab, malah beralih topik. "Dalam dua penyerangan ini, warga desa enggak ada yang kena, 'kan?"

"Ya, tapi hewan ternak kena, dan itu merugikan."

"Huff." Keelan kembali bermuka masam. "Makanya, kubilang, jadi vegetarian saja."

Aku menepuk dahi. Keelan ini, meski usia kami tampak sepantaran—sekitar 17 tahun, ia lebih mirip anak kecil dengan mood swing-nya.

Setelah mengarungi sabana, kami sampai di tepi hutan. Aku memandang langit. "Kita bermalam di sini."

Keelan bersiul-siul membuat tenda, sementara aku menjerang air di api unggun. Sesekali, kutatap bulan sabit yang tampak jelas. Masih ada waktu … semoga.

"Melintasi Hutan Aore sekitar dua hari, lalu Pasir Hitam sampai ke Batu Bintang. Di sana, kami akan menemukannya." Aku menyodok-nyodok kayu bakar sambil bergumam. "Estimasi tiga sampai empat hari. Lalu jalan balik, um … sudah berapa hari itu?"

Dalam hitunganku, semuanya tepat waktu, dan semoga benar begitu.

****

"Enggak aman."

"Apa?" Aku refleks mengacungkan belati yang selama ini tersarung di pinggangku.

"Lara. Jangan terus." Keelan menarikku. "Aku tahu sekarang, kenapa si tua itu menyuruhku pergi denganmu. Kamu enggak peka!"

"Hei!" Aku protes, tetapi cengkeraman Keelan menguat. "Emang ada apa di sana?"

Kami sudah hampir keluar hutan, hanya tinggal menyusuri jalan berbatu di depan untuk sampai ke Pasir Hitam. Namun, Keelan tak mau lewat sana. Katanya, ada bahaya tak terlihat. Padahal, kalau memutar, waktu kami terbuang. Aku berontak dan berhasil melepaskan diri.

"Pokoknya aku lewat sana. Kamu tunggu di sini, kita bertemu dua hari lagi!" seruku sebelum kabur. Namun, saat berlari, kudengar suara geraman … dan seekor serigala raksasa mengadang langkahku.

"A-apa …?" Aku tergagap.

Serigala itu, matanya nyalang menatapku, moncongnya membuka lebar, kaki-kaki dan cakarnya menegang, siap menerkamku.

Tiga, dua, satu.

"Lara!"

Semuanya menghitam.

****

Aku terbangun karena menghidu aroma daging panggang. Aku mengerjap dan mendapati diriku ada di sebuah … ruangan.

"Akhirnya bangun juga."

"Keelan?" tanyaku memastikan.

Lelaki itu mengangguk. Membayangkan ia menjagaiku selama pingsan … aduh, malu.

"Kita ditemukan warga desa terdekat. Serigala itu sudah dihalau meski kayaknya belum mati." Keelan melapor.

"Sudah berapa lama aku begini?"

Keelan tepekur. "Mungkin tiga jam."

Aku menghela napas lega. Masih ada waktu. "Ayo, kita pergi. Eh, ini di mana? Masih sekitar Hutan Aore?"

Keelan mengangguk. Ia bangkit, membuka pintu. Cahaya redup memasuki ruangan yang temaram, berikut aroma daging panggang yang menguat.

Hazel, lelaki berambut ikal itu yang membawa kami kemari. Ia juga membuatkan makanan. Katanya, kami seperti manusia kurang gizi.

"Sudah berapa lama kalian mengembara?" tanya Hazel.

"Uh, tiga atau empat hari?" Aku menggaruk kepala. Mendadak, penanggalan menjadi samar.

Hazel mengangguk. "Kalian makanlah. Aku panggil Nawan."

Nawan adalah nama Kepala Desa kecil ini. Kami bercengkerama sambil menikmati daging yang dipanggang Hazel tadi. Ketika ia menanyakan destinasi kami, Keelan dengan cepat menjawab sebelum aku angkat bicara.

"Samudra Tujuh Mutiara. Kami mau memastikan kebenaran legenda."

"Legenda?" Aku melongo, sementara Hazel senyam-senyum dan Nawan terkekeh.

"Aduh, kalian memang pasangan, ya." Nawan menoleh padaku. "Legenda soal jika ada pasangan yang berhasil menemukan mutiara tujuh rupa di sana, mereka akan langgeng selamanya."

Kontan, wajahku memerah. Aku sampai tak berani melihat Keelan, meski ia tampaknya cuek saja.

"Kalau mau ke sana, dari sini ke arah mana, ya?" tanya Keelan.

Nawan memberikan instruksi. Keluar hutan, belok ke Padang Angin, lalu ikuti jalan sampai pesisir ….

Tunggu. Ini menjauhi tujuan kami. Aku senggol Keelan, ia balas menyenggolku.

"Kami harus buru-buru," ucapku. Tak enak kalau harus berselisih di hadapan dua orang tadi. "Terima kasih atas bantuannya."

Setelah pamit, ingin rasanya aku langsung memarahi Keelan. Apalagi ia juga menarikku ke jalan yang tidak semestinya. Namun, suara dingin Keelan membuatku bungkam.

"Gara-gara siapa, jadi diadang serigala?"

Aku mengalah.

Sudah malam ketika kami sampai di Padang Angin. Aku memandang bulan.
Ada yang aneh.

"Lara, maaf."

"Ya?"

Keelan tiba-tiba meraih bahuku, lantas mengangkatku dan berlari dengan kecepatan tinggi. Aku masih bengong saat akhirnya ia menurunkanku di sebuah tempat: Batu Bintang.

"Cari benda itu … sekarang.” Keelan terengah-engah. "Waktunya mepet. Hanya kamu, Putri Lara, yang bisa melacak benda itu. Benda pusaka yang dilindungi manusia serigala itu sendiri."

Aku mematung. "Maksudnya?"

"Enggak ada waktu. Cari!"

Aku keder. Maka, aku memejam, lantas membiarkan intuisi mengarahkanku.

Aku menemukannya. Dua bilah pedang yang berlumur darah kering entah apa. Tampak kokoh dan suram sekaligus. Keelan muncul kemudian, masih terengah.

"Maaf, aku bohong. Kamu bukan pingsan tiga jam. Kamu pingsan tiga hari."

Aku mendelik.

"Masih cukup waktu kalau pulang sekarang. Jalanlah duluan, aku menyusul. Aku akan berusaha muncul kalau kamu dalam bahaya, lagi."

"Cih, aku enggak butuh perlindungan!"

Aku malah kena jitak. "Kamu enggak peka."

"Ya, maaf!"

Pantas saja aku merasa janggal. Bulan sudah melalui fase paruhnya. Waktu sebelum purnama, kurang lebih lima hari lagi.

"Keelan, aku baru tahu larimu cepat. Enggak bisakah kamu—"

"Aku capek! Itu kekuatan terbatas!" Keelan langsung protes. "Jalanlah duluan, Lara! Ikuti peta, biar aku bisa menyusulmu."

Ragu, aku mulai berlari, sesekali menoleh ke belakang. Semoga saja Keelan bisa menyusulku. Rasanya hambar bepergian sendiri, meski awalnya kami ribut.

Malam berlalu. Keelan masih belum muncul.

Dua malam. Tiga malam.

Empat malam ….

Firasatku tak enak. Dengan belati di pinggang, dua pedang di tangan, plus bekal dan perlengkapan bermalam di punggung, aku merasa aman sekaligus tidak aman. Malam ini, aku harus terus berjalan, atau aku tidak akan sampai tepat waktu.

Hari kelima.

Aku tidak kuat berjalan. Desa masih sepuluh kilometer lagi. Keelan sialan. Mana dia?

"Ayah, gimana ini? Aku masih di dekat hutan, tempat para manusia serigala …."

Petang menjelang. Aku menatap jeri bulan bulat penuh yang terbit di langit.

KRSK!

Aku tersentak. Sudah tibakah waktu penyerangan itu? Aku tak berani menatap hutan.

"Lara …."

Itu Keelan!

"Aku akan membantumu, tapi aku punya satu permintaan."

"Enggak usah sok misterius, bicara sini di depanku!" seruku gusar.

"Begitu sampai di gerbang desa, tolong bunuh aku."

Aku membelalak. Seekor serigala berbulu perak tiba-tiba muncul di hadapanku, merunduk dalam seolah memberi hormat. "Keelan?”

"Ya, aku Keelan. Sekarang, jangan buang waktu, cepat naik ke punggungku. Aku akan membawamu ke desa supaya bisa melindungi mereka semua."

"Tapi, kamu—"

"Gerombolan Nawan sudah hampir sampai kemari. Cepat."

Nyaris tanpa sadar, aku menaiki punggung serigala itu—Keelan, yang langsung memelesat. Aku pening. Nawan itu manusia serigala? Aku teringat perkataan Keelan. Benda pusaka yang dilindungi manusia serigala itu sendiri kalau aku membeberkan tujuan kami sebenarnya, apa yang akan terjadi? Lalu, serigala besar yang mengadang kami?

Tiba-tiba, aku sudah terpelanting ke dalam gerbang desa. Sunyi.

"Cepat bunuh aku!"

Aku mendelik. "Enggak, Keelan, aku—"

"Ayahmu membenciku. Percuma aku jadi orang baik, dia tetap mengirimku denganmu dalam misi mustahil ini, biar kamu melihatku berubah dan membunuhku dengan pedang pusaka. Pakai darahku untuk melindungi desamu. Pusaka tidak akan aktif tanpa darah werewolf!"

Rasanya ganjil, mendengar serigala berseru-seru padaku.

"Aku enggak akan membunuhmu. Biar pakai darah serigala lain saja!" Aku berdiri, bersiap menerjang jika ada manusia serigala yang muncul dari balik rimbun hutan.

Pats!

Cahaya menyilaukan muncul tiba-tiba. Dalam kekagetan, dua pedang di tanganku diambil seseorang. Terdengar suara familier.

Selamat tinggal, pengkhianat!

Aku tak memercayai mataku.

Darah bersimbah, mengaliri dua pedang di tangan Ayah. Dengan itu, beliau melakukan gerakan yang tidak kupahami, memunculkan jaring-jaring darah yang melingkupi desa kami.

"Kamu selamat, anakku," gumam Ayah dengan suara bergetar. "Kamu tepat waktu."

"Ayah … Ayah membunuh Keelan!" seruku. "Kenapa? Dia enggak jahat!"

"Dia tidak seperti kelihatannya, anakku." Ayah menancapkan pedang di sisi gerbang desa, lalu menepuk kepalaku. "Dia lebih tua daripada Ayah, dia penyebab semua kekacauan ini. Dia yang mencuri pusaka dan kembali ke sini tiap bulan dengan membawa kawanannya untuk meneror desa. Sekarang, kamu istirahat dulu …."

Di luar sana, tampak satu per satu dari rombongan manusia serigala yang muncul terperangkap jaring merah dan tak bisa keluar. Aku terperangah menatap semuanya, sementara Ayah separuh menyeretku ke rumah.

Namun, dari mulut Keelan yang terbujur kaku, tampak warna-warni mengilap yang menggelinding pelan, lalu tertahan genangan darah.

Mutiara tujuh rupa ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro