Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Menghilang

Roda di papan skateboard milikku ini terus berputar dengan kencangnya saat kaki terus memberikan dayungan kuat di aspal-aspal jalanan yang mulai menyepi. Aku terlambat pulang karena terlalu asik berlatih bersama teman-teman.

“Gawat! Aku bisa dimarahi Ibu!”

Lampu-lampu jalan menjadi sahabat baikku di malam ini, suasan begitu sepi. Bahkan, bulan dan bintang seperti bersekongkol untuk membenci kehadirannku dan malah bersembunyi di balik kegelapan awan-awan mendung.

Angin bertiup kencang dan membuat suara gemerisik menyeramkan. Dengan memakai helm dan perlengkapan keamanan untuk bermain skateboard yang belum kulepas, aku tetap mempercepat laju kendaraan yang ada di bawah kakiku ini. Sambil sesekali menggerutu karena dinginnya angin malam. Aku ingin memeluk Lala, dia adalah kucingku yang lucu.

Ketika melewati beberapa blok sebelum sampai ke rumah, aku melihat beberapa orang lelaki seusiaku atau mungkin lebih tua beberapa tahun dariku —mereka sedang berdiri di sebuah jalan yang mengarah ke blok yang ingin kulewati, ada sekitar empat orang dan mereka sedang mengobrol dengan wajah yang cukup panik. Ketikan sampai di blok itu dan bersebelahan dengan mereka, aku terdiam dan kebingungan langsung mendera diriku.

“Apa-apaan ini?” tanyaku kepada diriku sendiri. Tubuhku membeku seketika.

Mereka memperhatikanku.

Salah satu dari mereka mendatangiku dan menjawab pertanyaanku tadi. Lelaki itu berambut coklat itu menjawab.

“Seperti yang kaulihat.” Nada bicaranya cukup datar, “Kami juga kebingungan dengan hal ini.” dia kemudian menghela napas dan kembali duduk di pinggir jalan seperti tadi.

Aku terheran.

“Lalu kenapa ... kenapa kalian tidak mencari jalan lainnya?” tanyaku bingung.

Tidak ada yang menjawab pertanyaanku selama sepuluh detik dan setelahnya lelaki berambut yang lebih tinggi yang bersandar di tembok pun bersuara.

“Kau akan mengalami hal sama seperti kami,” ucapnya ambigu dan menatapku dengan mata kelamnya. Lelaki ini sangat tampan dengan tatapan tajamnya itu, wajah dan kulitnya putih dan membuatku iri.

“Kami sudah hampir satu jam di sini,” lelaki berambut pirang dan berwajah khawatir itu bersuara menyahuti ucapan temannya, “dan sudah melakukan segalanya untuk keluar dari sini, tapi semuanya percuma!” ucapnya kemudian menjambak rambut sendiri karena kalut.

Di sebelahnya, aku bisa melihat lelaki yang duduk di pinggiran aspal, ia sedang menghisap rokok dan tidak telalu memedulikan sekitar. Lelaki itu memiliki rambut agak kemerahan dan kelihatan lebih dewasa dari yang lain.

Angin kembali berembus dan membuatku sedikit gemetar karena kedinginan.

Aku tidak menyahuti mereka lagi, kemudian kembali memakai tas ranselku yang sebelumnya kuletakkan di samping kaki saat aku berhenti tadi. Kembali kulajukan skateboard-ku ke arah jalanan lurus ke depan. Walaupun di sana kelihatan gelap, tapi aku sangat hapal daerah sekeliling tempat tinggalku, dan roda-roda dari skateboard-ku pun berputar semakin kencang.

Aku tidak memedulikan panggilan lelaki yang memiliki rambut pirang itu, kelihatannnya dia adalah tipe orang yang sangat gampang bersahabat juga ekspresif.

“Bodoh.” Salah satunya mengumpat, aku masih bisa mendengar perkataan lelaki yang tadi bersandar di tiang.

Aku memasuki wilayah gelap yang harusnya merupakan Block Anggrek, kemudian berhenti dan lebih memilih memegang skateboard-ku. Beberapa langkah kugerakkan kakiku, tetapi yang terlihat hanya kegelapan. Sudah sekitar sepuluh menit aku tetep menggerakan kakiku. Namun, aku hanya melihat pohon-pohon besar yang kelihatan mengerikan, padalah aku yakin kalau di wilayah ini jarang sekali ada pohon-pohon sebesar ini. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan menganalisis apa yang sedang terjadi di wilayah ini. Kenapa Blok Anggrek bisa menghilang?

Aku Carla, sekarang merasa bingung.

Entah bagaimana, aku merasa hari ini udara sangat lembab. Dan secara mendadak tempat ini ditutupi oleh kabut yang membuat pohon dan rerumputan menjadi tersamarkan. Aku yang tiba-tiba terhenti karena merasakan keterkejutan terhadap ini, hanya bisa terpaku di tempat. Tempat ini, sejak kapan menjadi hutan dengan pohon-pohon tua yang tumbuh secara acak?

Gelap, berkabut, dan sekarang aspal jalan pun sudah mencapai ujung. Tidak ada lagi gedung-gedung dan lampu penerang jalan. Yang ada hanya jalan setapak dan pohon-pohon menjulang tinggi.

Aku kembali menggerakkan kakiku, terus melangkah maju. Menyisir tempat berkabut itu, setiap langkah, suara gemerisik dari gesekan sepatu dan rumput kering yang sudah mati di tempat itu menjadi pelatar perjaananku.

“Huh?”

Aku terdiam, ketika ada suara lain yang menghampiriku. Kepalaku bergerak pelan, napasku seketika kutahan dan aku menolehkan wajahku ke kanan, ke kiri untuk melihat wilayah sekitar yang dipenuhi kabut. Tidak ada apa-apa. Tempat ini hanya ada aku yang sedang berdiri tanpa suara.

Aku menghela napas lega.

Hahh ... hahh ... bulu kudukku langsung meremang ketika aku mendengar suara napas yang terengah-engah tepat di tengkukku.

Suara itu masih terdengar, seperti suara seseoarang yang tengah terserang asma. Keringat dingin mulai menjalar dari dahi turun ke wajahku. Aku bahkan tidak berani untuk sekedar bergerak atau melihat ke belakang. Seketika bau anyir dan bayangan gelap terlihat di depanku, itu ... itu bukan bayanganku?

Segerombolan gagak mengerubungiku seketika, aku tidak tahu apa yang mereka cari dariku. Sekarang, yang bisa kulakukan hanya berlari. Tetapi, gagak-gagak itu terus mengejariku. Mereka mengikuti ke arah mana saja aku berlari. Seperti ingin menerorku dan membuatku sengsara saja. Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi.

Aku berlari dari tempatku berdiri, menghindari gerombolan gagak yang mematuki tubuh. berlari ke sebuah pohon tua dan bersembunyi di balik pohon tesebut. Gagak-gagak itu sudah pergi entah ke mana. Seperti ditelan bumi saja.

Ukh ... sakit!”  Menahan rasa memilukan yang tengah bersarang di lengan dan kakiku. Luka-luka patukan gagak yang membuat kulit berdarah.

Kakiku yang masih gemetar, akhirnya merosot tidak berdaya. Aku menghela napas dan menghapus keringat yang menyucur di dahi dan tubuh. Tanganku masih perih karena luka itu.

Haahh ... hahh ...

Aku menegang karena mendengar suara napas aneh. Air mata mengalir di wajah karena suara mengerikan itu kembali terdengar. Bola mataku kukatupkan dengan kedua tangan yang memeluk tubuhku sendiri, berdoa kepada Tuhan agar gangguan itu lenyap dari hadapan wajah. Aku membuka mata ketika telinga tidak menangkap suara aneh dan mengerikan itu lagi.

“Syukurlah ...” berbisik pelan sambil menangis, “i-itu ... a-apa?”

Krtakk .. kretakkk ...

Aku membelalakkan mata ketika mendengar suara seperti patahan tulang. Meremas tanganku sendiri karena merasa takut, kemudian aku terkejut ketika ada tetesan-tetesan air yang mengenai kepala dan hidungku. Aku yang masih duduk lemas menggerakkan tangan untuk menghapus tetesan air yang ada di hidung. Tetesan itu benar-benar menggangguku.

Ada sesuatu di tanganku, sesuatu yang ada di telapak tangannya membuat mulutku terperangah. Amis kian menerpa indra penciuman dan merah kental itu kian menghujani tubuhku.

Darah. Yang menetesi tubuhku sedari tadi adalah darah.

Aku menggerakkan perlahan leherku untuk melihat yang ada di atas kepala. Bola mata yang tadinya melotot lantas bergerak perlahan ke arah atas.

Tes.

“AAAAAAAAAAAAAKKKK ...”

Gila! Apa yang terjadi sebenarnya? Aku berlari, memasuki tempat antah berantah ini semakin dalam, merasakan tubuhku basah kuyub karena keringat. Tak tahu entah akan ke mana. Namun, sebuah cahaya terlihat, kakiku kugerakkan dengan laju, semakin cepat dan walau aku merasa lebih baik karena menemukan cahaya, aku kebingungan karena di depan mataku yang kulihat adalah keempat pemuda yang tadi berdiri di persimpangan jalan Blok Anggrek.

“Ke-kenapa kalian di sini?”

“Sudah kubilang, kami juga terus kembali.” Pria yang paling tinggi itu menimpali.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya si pirang. Aku yang masih gemetar ketakutan pun menggeleng.

Dia memberikan sapu tangan, dan aku menghapus keringat, terkejut karena tak ada darah ditubuhku.

Kami kemudian terdiam entah beebrapa menti berlalu. Sampai salah satu di antara mereka mengucapkan sebait kata.

“Ap akita akan begini terus?” tanya pria yang baru saja mematikan rokoknya.

Si pirang menyahuti, “Ayo bergerak, mau sampai mati.”

“Kalau kembali ke sini lagi?” tanyaku.
Yang paling tinggi tersenyum, dia berkata, “Jangan ikuti cahaya. Sepertinya kita masuk ke tempat terkutuk saja.” Pria itu mengangkat kedua bahunya.

Kami berlima pun melangkah, setidaknya bersama-sama sekali lagi lebih aman. Mereka berempat berkata beberapa kali mereka telah mencoba, bahwa saat mengikuti cahaya akan kembali lagi ke tempat semula. Maka dari itu, kali ini harus tidak mengikuti cahaya.

Tempat yang kami lewati pun terlihat sangat berbeda, tak seperti yang tadi kulalui. Hutanya berbeda.

Aku menatap sekitar, masih ada suara-suara aneh yang terus menganggu kami, tetapi tak terlalu menakutkan karena ada mereka di sini. Apakah ini yang dinamakan tersesat di alam gaib? Rumah makhluk astral, kalau begitu kenapa aku dan keempat orang ini bisa sampai ke sini. Apa penyebabnya.

Ah benar, kabut, teramat pekat bahkan tak bisa dilihat mata.

“Jangan mengikuti cahaya.” Yang jangkung memperingati kami. Semuanya serentak patuh, terus masuk ke dalam gelap. Walau aku ingin berlari rasanya.

Melangkah lebih jauh, hutan nan lebat dan tebalnya kabut telah kami lewati. Mengambil napas, aku menghapus keringat yang mengalir di pipi. Rasanya sudah berjam-jam kami melalui ini. Gulita semakin membuat sesah dan tak dapat melihat sekitar. Jangan takut, batinku menguatkan diriku sendiri. Terus maju dan jangan ikuti cahaya. Begitukan katanya.

Melangkah lagi setelah gulita kami lewati, yang terjadi adalah kami kembali ke tempat yang tadi. Sialan.

Bukan hanya aku yang memaki, tetapi mereka semua pun mengucapkan sumpat serapah ini. Mungkin ini hampir pagi, tetepi di sini tetap malam yang sunyi. Sudah berjam-jam kami di sini, duduk tak tahu harus bagaimana.

Tiba-tiba suara seekor kucing terdengar, aku tersentak. Itu Lala, kucing putihku, dia dating dan berlari pergi, kemudian berhenti dan ingin aku ikut dengannya.

“Lala, itu kucingku. Dia seperti ingin kita mengikutinya.”

Dan kami pun melangkah, sinar menerpa, pagi saat matahari terbit, kami keluar dari tempat gulita menyesakkan ini. Lala menyelamatkan kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro