Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Melihat Cahaya

 Bersembunyilah, buatlah matamu membuta. Cahaya adalah kematian, jangan sampai kau tertangkap.

Jack memikirkan pesan yang tadi dia dapatkan dari seorang kakek tua. Setelah dia kembali bisa melihat dunia dengan napas yang lega, bumi seolah menolak dirinya. Menampakkan bencana yang pernah terbayangkan.

Sepanjang perjalanan, tidak sedikit pun Jack melihat cahaya. Satu-satunya sumber untuknya melihat adalah korek-korek gas yang tadi diborongnya dari toko yang sudah ditinggalkan, tepat ketika korek miliknya hampir kehabisan gas.

Jangankan matahari, Jack bahkan tidak bisa melihat apa yang ada di atasnya. Atau kiri dan kanan, jarak pandangnya hanya secercah kecil di sekitar korek, yang memantul sedikit di radius sangat sempit.

Dia berjalan dengan sangat hati-hati, meraba-raba dalam kegelapan sejati. Tidak tahu ujung dari perjalanan, tidak tahu apa yang harus diharapkan.

Mata Jack menyipit, dia mengucek matanya yang sedikit berair, sembari melihat ke depan. Jarak pandangnya tiba-tiba menjauh, seolah ada sebuah cahaya putih yang perlahan menerangi penglihatan yang membuta. Gedung-gedung, mobil-mobil hancur tidak beraturan, awan yang gelap, semua terlihat dari sumber cahaya yang jauh itu. Cahaya bulat yang makin lama makin mendekat.

Bersembunyilah, buatlah matamu membuta. Cahaya adalah kematian, jangan sampai kau tertangkap.

Percakapan itu tiba-tiba lewat di pikiran Jack yang masih mencoba mencerna. Dia tergagap. Segera berlari ke sisi jalanan, mendapati sebuah kotak sampah besar. Dimasukinya kotak itu tanpa sedikit pun rasa ragu. Lalu dia menutup dirinya sendiri di dalamnya, tergabung dengan sampah-sampah. Jack mematikan koreknya. Membutakan matanya.

Ketik paniknya hilanglah, bau-bau sampah di sekitarnya dia sadari. Semua bau yang dapat kau bayangkan ada di sana, amis, asam, basah, membuat isi perut Jack sempat naik ke tenggorokan. Namun, segera dia tahan dengan menutup mulutnya dengan tangan.

Suara-suara mendekat, sangat berisik. Seperti teriakan orang yang kesakitan, bergabung membentuk sebuah jeritan yang sangat memekakkan telinga. Seperti ketika seluruh dunia mengeluarkan suara sampai isi tenggorokan keluar, menyatu membentuk bunyi yang menggetarkan tanah. Jack menutup telinganya, menahan napas terhadap bau yang hampir membuatnya muntah.

Suara itu makin lama makin jelas, getarannya juga terus bertambah. Sampai-sampai bunyinya menembus tangan yang menutup telinga.

Sampai sedikit demi sedikit sensasinya berkurang, membuat Jack berpikir kalau makhluk apa pun itu sudah menjauh. Dia kembali menutup mulutnya.

Setelah yakin kalau makhluk itu benar-benar sudah hilang, Jack membuka sedikit penutup sampah di atas kepalanya, mencoba mengintip keluar dengan satu matanya.

Dia masih membuta. Itu pertanda bagus, berarti makhluk itu sudah pergi. Jack mengambil korek di kantung celananya, menyalakannya, lalu keluar dari sana. Muntah berkali-kali, yang terakhir adalah muntah karena mencium baunya sendiri.

"Sial!" umpatnya, kesal karena nasib yang menimpanya. Badannya lemas karena isi perut yang sudah habis.

"Hei!" Dalam kesunyian itu, tiba-tiba sebuah suara muncul. Suara seorang wanita, seperti sudah menunggu untuk menyapa sejak sangat lama.

"Aku di dalam!" ucapnya, "syukurlah, kupikir kau sudah diambil."

Jack hanya berdiri memegang korek, sedikit bungkuk karena lemas. Tidak menjawab.

"Kau mau masuk? Tubuhmu harus dibersihkan," lanjut wanita itu. "Aku yakin yang lain tidak masalah." Sebuah cahaya muncul di dalam bangunan yang terletak tepat di belakang kotak sampah yang dimasuki oleh Jack.

"Yang lain?" tanya Jack.

"Masuklah," ujar wanita itu.

***

Orang di dalam bangunan itu ada lima, beragam umur. Juga berbeda ras, tampaknya bertemu dan berkumpul karena keadaan. Jack sudah membersihkan badannya. Orang-orang itu sangat ramah, mereka membagi makan malam dengan Jack. Dengan persiapan yang terbatas. Makan malam itu sangat sunyi, masing-masing sibuk dengan roti coklatnya sendiri.

"Rotinya enak, huh?" kata seorang pria kepada Jack, dengan nada menyindir.

"Robi ... ayolah." Wanita yang tadi mengizinkan Jack masuk angkat bicara.

"Tidak, Alexa! Kau harus tahu ini." Robi melepas rotinya sebentar, menunjuk wanita itu tepat di muka. "Kita sedang bertahan hidup! Dan orang ini datang dengan penampilan kumuh dan penutup muka yang tidak mau dibuka? Gila!"

Jack seolah tidak peduli lanjut memakan roti selainya.

"Robi." Seorang pria yang sudah tua—dengan jenggot putih dan rambut yang beruban mencoba menenangkannya.

"DIAM! KALIAN TIDAK PERNAH MENGERTI." Suara Robi meninggi, kunyahan semua orang di situ berhenti seketika karena terkejut.

"Aku mencoba mempertahankan kalian, HIDUP-HIDUP! TAHUKAH KALIAN APA YANG DI LUAR SANA?"

Jack berdiri, mengambil roti milik Robi yang tergeletak di lantai.

"Makanlah, Kawan," kata Jack sambil menyodorkan roti itu tepat ke mulut Robi. Kemudian Jack pergi menjauhi mereka, ke bagian belakang bangunan.

Di sana Jack melamun, dengan korek yang menyala di tangan. Memikirkan hal-hal yang terjadi.

Alexa mendatanginya. "Maaf, Jack. Robi hanya sedang frustasi. Putrinya mati beberapa hari yang lalu."

Jack menganggukkan kepala. "Lagipula aku tidak peduli." Dia menatap Alexa.

"Aku rasa aku bisa membunuh makhluk itu," ucapnya dengan penuh percaya diri.

***

Tiga bulan berlalu.

Setelah menjelaskan panjang lebar tentang rencananya, Jack dan sekelompok orang itu keluar dengan masing-masing menyalakan korek. Seolah memancing makhluk itu untuk datang. Mereka semua memakai baju hitam, masing-masing memakai penutup telinga.

"Ini bodoh. Kita akan mati hari ini," keluh Robi.

"Aku sudah tidak tahan hidup seperti ini." Alexa mencoba meyakinkannya.

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya cahaya itu datang, sudah sangat redup. Tidak seperti waktu Jack pertama kali melihatnya. Penantian tiga bulan adalah waktu untuk menunggu makhluk itu kehabisan cahaya untuk dimakan. Mereka semua bersiap seperti yang direncanakan.

Masing-masing memegang senapan, menyebar ke atas gedung-gedung.

Ketika cahaya itu mendekat, mereka segera mematikan korek. Makhluk itu ternyata bertubuh sama seperti manusia, hanya saja seluruh tubuhnya hanya hitam. Dengan cahaya yang mengelilingi dirinya. Beruntung sekarang radius cahaya itu sangatlah kecil, bagai korek.

Dengan mata yang susah melihat karena cahaya yang minim, bersama-sama mereka menembaki makhluk itu. Suara jeritan makin mengeras, menggetarkan setiap yang mendengar. Penutup telinga yang dipakai seolah tidak berguna.

"PERSETAN!" Robi lari. Berhenti menembak, membuat makhluk itu mengejarnya.

Jack yang melihat itu langsung mengejarnya. Turun ke jalanan

Mereka tertangkap. Makhluk itu berada tepat di depan mereka, radius cahaya yang mengelilingi makhluk itu mengenai mereka. Tangannya yang seperti kegelapan hendak menangkap.

Tepat sebelum tangan makhluk itu menyentuh Robi, Jack menembak mata makhluk itu.

Jeritan makhluk itu membuat kaca-kaca di sekitar pecah, Jack menutup telinganya yang sudah dipasangi penyumbat telinga. Sedikit demi sedikit makhluk itu hilang, hitamnya memudar, bersamaan dengan langit yang kembali bercahaya. Bulan muncul.

Dunia terbebas.

***

"Kami berhutang kepadamu, Jack," Alexa dan lain-lain mengucapkan terima kasih. Dua hari setelah cahaya kembali. Dunia perlahan membaik, sisa-sisa dari manusia muncul untuk membangun kembali kemanusiaan.

Robi datang, menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

"Terima kasih, Kawan." Dia tersenyum. "Aku penasaran dengan mukamu."

"Bisakah?" lanjutnya.

Jack tersenyum, perlahan dia membuka penutup mulutnya yang belum pernah dia tunjukkan semenjak dia terbebas ke dunia.

Dia menampakkan mukanya dengan senyum menyindir, melepaskan salaman yang masih terjalin.

Sedangkan Robi, tiba-tiba nyalang. Mulutnya terbuka, dengan spontan dia mengambil pistol di celananya. Menembak Jack tanpa ragu.

"ROBI!" teriak Alexa.

"Dia---dia membunuh istriku." Robi masih menganga, matanya melotot.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro