Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A Couple Eyes of Wave

Mereka menertawakanku. Aku melihat beberapa anak menjauh dariku sambil sesekali menoleh ke arah di mana aku berdiri. Aku menghela napas dengan berat, entah sudah berapa kali ini terjadi. Dengan lesu, aku berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang cukup sepi dan terasa menyenangkan karena di sana aku bisa mendengar bunyi air yang mengalir dari danau di sekolahku.

Tempat itu selalu sepi, aku duduk di salah satu sisi danau dan melihat pantulan bayanganku di air. Ya, air di sini sangat jernih, hingga aku bisa melihat pantulan wajah serta apa yang tersembunyi di dalam sana. Bibirku mengembang saat mataku melihat seekor ikan dengan warna merah jingga berenang di bawah sana. Warnanya sangat indah, juga corak hitam di salah satu sisi ekornya. Tidak jauh dari ikan itu, terlihat beberapa tanaman danau yang bergoyang indah, juga jentik hewan berenang bebas. Semuanya sangat indah, dan begitu jelas.

"Jolie, apa yang kamu lakukan?"

Aku menoleh ke asal suara, menemukan seorang teman sekelasku, Gischa berjalan menghampiriku. Rambut pirang bergelombangnya tertiup angin setiap ia melangkah, menutupi wajah cantiknya. Aku berdiri lalu berkata, "Melihat ikan."

"Ikan warna apa yang kali ini kamu lihat?" tanyanya penasaran, ia memandang ke arah air, berusaha menemukan sesuatu. "Warna airnya cukup gelap, bagaimana kamu bisa melihat ikan?" tanyanya lagi.

Keningku berkerut mendengar pertanyaannya. Aku mengikuti pandangannya, dan pemandangan air jernih dengan apa yang ada di dalam sana terlihat jelas. "Gischa, coba kamu lihat. Itu ikan berwarna jingga sedang berenang bolak-balik di antara rumput dan ganggang," jawabku sambil menarik lengannya agar ia menoleh ke arah yang aku maksud.

Gischa mengikuti instruksiku, beberapa detik ia mencoba melihat ke arah yang kutunjuk. Namun, akhirnya ia menyerah. "Tidak terlihat apa-apa, Jolie. Sepertinya kamu terlalu lelah hingga berkhayal, bagaimana jika aku membelikanmu es krim untuk dimakan bersama?"

Aku masih ingin berkeras, tapi Gischa telah menarikku pergi menjauh dari danau. Ia memberikan sebuah kacamata hitam padaku, lalu tersenyum, "Aku sengaja membawakanmu ini, agar kamu tidak merasa tidak nyaman berada di tempat umum. Ketahuilah Jolie, iris mata putih susumu itu menakjubkan. Jangan rendah hati karena itu, ya?"

Ah, here we go again.

Pantulan bayanganku di cermin tampak sempurna. Aku sudah siap untuk berangkat menjadi seorang juru masak di salah satu kapal pesiar, persis seperti mimpiku sejak dulu. Aku memandang iris mataku yang berwarna hijau, lalu tersenyum. Aku sudah terbiasa memakai lensa kontak sekarang, agar tidak lagi dijuluki si Mata Susu.

Jam menunjukkan pukul lima pagi, terdengar suara klakson bus yang akan mengantarku menuju pelabuhan. Aku segera menuruni anak tangga dan berlari ke pintu luar lalu masuk ke dalam bus. Hari ini tidak akan menjadi sejarah, aku sungguh tidak sabar.

Aku sudah berada di posisiku, dapur bagian belakang di bagian bawah kapal. Kapal ini berpenumpang sekitar 150 orang, dan aku bertugas di bagian pastry. Begitu kapal mulai berlayar, kami para koki akan segera menyiapkan makanan dengan cekatan. Aku begitu serius membuat makanan penutup yang diminta oleh kepala koki. Memang, di masa percobaan, aku hanya akan bekerja di kapal kecil dan ini belum begitu melelahkan.

Waktu berlalu begitu cepat, jam kerjaku sudah habis dan akan digantikan oleh koki yang lain. Aku berjalan ke atas dek kapal, langit sudah gelap. Kusandarkan tubuhku pada salah satu pagar kapal, memandang hamparan laut yang begitu indah. Sejak kecil, aku sering dibawa berlibur ke pantai. Aku menyukai bagaimana kerang-kerang dan kepiting kecil berjalan di pasir lalu menuju laut.

Setiap berlibur, kami akan berlomba mengumpulkan kerang dari laut. Permainan itu sungguh mudah, aku selalu menang. Aku tidak mengerti apa yang membuat kedua saudaraku tidak mampu menemukan kerang di laut. Padahal tempat kerang itu bersembunyi terlihat begitu jelas.

Pandanganku kembali beralih ke lautan luas di hadapanku ini. Sejak kecil aku selalu bingung ketika teman-temanku menggambar laut dengan warna biru gelap. Menurut mereka, laut berwarna gelap, tapi bagiku—dan apa yang aku lihat saat ini, laut begitu jernih dan terang. Aku bahkan bisa melihat beberapa ikan berenang di bawah kapal, atau gerombolan ikan kecil yang berbondong-bondong berenang ke satu sisi yang lain.

Awalnya aku merasa itu aneh. Namun, akhirnya aku mengetahui bahwa semua ini adalah mukjizat. Aku bisa melihat dengan jelas apa yang ada di bawah air, bisa menikmatinya tanpa perlu menyelam. Mungkin, itu sebabnya iris mataku berwarna putih susu. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menyadarinya, tapi akhirnya aku menerima semua ini dan bersyukur.

Langkah ringan kakiku bergerak menuju sisi kapal yang lain. Mataku terus dimanjakan oleh pemandangan bawah laut yang indah, mataku terpejam menikmati angin damai lautan. Ketika aku membuka mata, aku melihat sesuatu yang aneh di dekat kapal kami. Kusipitkan mata agar bend aitu terlihat jelas.

Sebuah palung? Atau tebing? Aku berjalan ke sisi lain agar terlihat lebih jelas. Namun, langkahku terhenti sesaat aku bertatapan dengan dua pasang bola mata yang besar, bola mata berwarna transparan dan sebening air. Ia memandangku dengan tajam, dan seulas senyum dari bibirnya terlihat. Tubuhku menegang, aku belum pernah melihat ini sebelumnya. Gemetar, aku berusaha menahan langkah. Aku harus memberitahu kapten kapal tentang ini. Aku sangat yakin itu adalah dua bola mata yang—aku menggeleng. Ini di tengah laut, bagaimana mungkin?

Setelah aku bisa mengendalikan diriku, aku berlari menuju ruang kendali. Aku mengetuk pintu dan keluarlah seorang berpakaian kapten menghampiriku. Aku berlari ke arahnya.

"Ada sesuatu yang aneh di bawah sana," kataku menunjuk pada sisi kapal sebelah kiri, tempat di mana aku melihat sepasang bola mat aitu. "Ada orang di sana."

Pria berumur pertengahan empat puluh itu memandangku bingung. "Nona Jolie, di mana kamu melihat orang itu?"

"Di sana," ucapku terbata. "Kedua bola matanya berwarna transparan, memandangku dan tersenyum aneh. Ia sangat besar, sangat besar. Namun, aku tidak tubuhnya, aku tidak tahu apa yang baru saja aku lihat."

Kapten kapal itu memandangiku curiga. "Anda mabuk?"

Aku menggeleng. "Saya sadar, Kapten. Ia ada di sana, mulutnya tersenyum, lalu terbuka lebar."

Mendengar perkataanku, ia berjalan menuju sisi yang aku tunjuk. Pandangannya menyelidik, meskipun aku tahu ada keraguan di sana. Aku mengikutinya dari belakang, seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Lagi, aku melihat mata itu dengan jelas. Ia menyeringai, dan mulutnya terbuka. Aku terperanjat, itu bukan manusia. Makhluk dengan mata besar itu adalah air, dengan mulut yang berupa pusaran air dan terus mengalirkan air. Lemas, aku jatuh di tempat.

"Tidak ada apa-apa di sini, Nona."

"Ada, Kapten. Saya melihatnya sendiri," jawabku lagi berusaha menahan getaran di bibirku. Dari sudut mataku, aku melihat makhluk itu begitu jelas. Itu adalah pusaran air yang berbentuk wajah manusia dengan sirip di salah satu sisinya. "Saya bisa melihat ke dalam air, Kapten. Dan saya melihat makhluk itu. Dia semakin mendekat."

Kapten yang berdiri di hadapanku tampak bingung. "Beristirahatlah. Mungkin Anda kelelahan."

Pusaran air itu semakin besar, mulutnya terlihat menganga sambil menelan serta memuntahkan lebih banyak air yang membuatnya terlihat seperti gelombang ombak. Ada sesuatu yang tidak benar di sini, aku yakin. Namun, aku tidak mengetahui apa itu.

Angin berhembus semakin kencang, begitu pula muntahan ombak yang terus keluar dari pusaran air mulut makhluk itu. Semakin sering dan kini ombaknya cukup membuat kapal bergoyang lebih keras. Aku melihat sang Kapten berpegangan pada sisi pagar ketika sebuah muntahan ombak menghantam kapal.

"Ini tidak benar, Kapten. Semua ombak itu akibat makhluk yang saya bilang," ucapku menahan tangis. Aku tahu sesuatu akan terjadi dan itu pasti tidak baik. Sebuah ombak besar menghantam kapal lagi, kali ini disertai dengan sedikit gelombang yang menarik kapal mendekat ke arah mulut pusaran makhluk itu. Langit yang menggelap dan mulai turun rintik hujan juga membuat suasana menjadi tidak nyaman.

Kapten di hadapanku mulai panik. "Masuklah, saya akan memperingatkan penumpang lain untuk kembali ke kamar masing-masing. Sepertinya akan ada badai," ucapnya sambil berlalu meninggalkanku. Aku berusaha menahan tangannya, tapi ia menghempas dengan cepat.

Tubuhku lemas ketika mulut makhluk itu semakin dekat dengan kapal, membawa gelombang yang menariknya dengan cukup kuat. Aku memejamkan mata, ini benar-benar menjadi hari yang tidak terlupakan. Hujan turun dengan begitu deras secara aneh, gelombang besar terus menabrak kapal, dan aku hanya bisa memeluk tubuhku sendiri.

Dari kejauhan aku mendengar suara teriakan penumpang, sirine kapal, dan goyangan yang semakin keras. Aku mencoba membuka mata, kemudian berteriak kencang ketika gelombang besar menerjang ke arahku. Menarik kapal ini masuk ke dalam pusaran air, berputar. Aku berpegangan pada sisi tiang kapal, merasakan air membasahi dan menelan kapal ini, kemudian gelombang demi gelombang mulai menghilangkan kesadaranku. Ketika aku berusaha membuka mata untuk terakhir kalinya aku melihat sebuah sirip tengah menggerakkan pusaran air ini, terlihat begitu jelas, dan jernih.

"Aku Kharibdis, sang pusaran air yang akan menghancurkan setiap kapal di dekatku. Selamat tinggal, Nona Jolie. Sebuah kehormatan bisa dilihat olehmu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro