Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Karantina

Bulan kedua Indonesia menerapkan sistem karantina mandiri. Semua kegiatan dilakukan di dalam rumah, supaya tidak terpapar virus, katanya. Aku, sih, menurut-menurut saja. Entah ini hanya konspirasi atau apalah sebutannya, tapi dengan berdiam di rumah saja memberikan banyak kebebasan yang selama ini terikat oleh peraturan-peraturan.

Sayangnya, aku tidak sedang di rumah.

Ayah dan Bunda sempat berdebat mengenai apakah aku harus pulang atau tidak. Keputusan akhirnya ialah aku enggan balik ke rumah dan menghabiskan masa-masa karantina di kos. Justru di situlah kesenangannya, bukan? Menjadi pribadi yang bebas—terlebih lagi pandemi ini menjadikan banyak aturan menjadi tak berarti, selain merenggut kebebasan untuk keluar, sih.

Nah, hari ini aku mendapat notifikasi bahwasanya kuotaku sudah habis. Bunda juga belum mengirimkan jatah kehidupanku. Maksudku, uang untuk meneruskan kehidupanku. Jadi aku memutuskan untuk menumpang ke tempat Tina untuk mendapatkan layanan internet gratis. Hanya kami berdua yang tersisa di gedung ini dan Tina adalah orang yang memiliki WiFi di antara kami berdua.

Jujur, aku malas bertemu dengannya.

"Tunggu!" Belum juga aku mengetuk pintu kamarnya, Tina sudah berteriak nyaring dari dalam kamar. "Jangan sentuh apa-apa!" lanjutnya.

Pintu terbuka dan menampilkan seorang cewek dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Benar-benar seluruh tubuhnya. Mulai dari kaos kaki, sarung tangan, masker, hingga kacamata. Tina terlihat konyol karena mengenakan setelah tersebut.

"Masuk," perintahnya. Aku melangkah masuk dengan laptop di pelukan. Seiring dengan langkah yang kupijak, Tina turut bergerak menjauh penuh waspada. "Diem di situ." Lagi-lagi ia memberi titah. Andai aku tidak membutuhkan bantuannya, mungkin enggan sekali menuruti keinginannya.

Tina menutup pintu dan langsung menyemprotku dengan alat pembasmi nyamuk. Serius, perempuan ini benar-benar ingin membunuhku rupanya. Setelah berhenti menyemprotkan cairan berbau aneh itu, Tina menelanjangi tubuhku dengan tatapannya.

"Oke, aman," katanya, tapi tidak seperti bermaksud demikian. "Lo duduk di situ, jangan ngelewatin batas teritori yang udah gue buat." Ia menunjuk lantai dan dapat terlihat jelas bahwa ada garis-garis yang dibentuk sengaja oleh selotip kuning. Tak ingin ambil pusing, aku segera duduk dan mengaktifkan laptop, menghubungkannya dengan WiFi miliknya.

Tina datang dengan pakaian serupa dan duduk di atas kasur. "Kalau ada butuh aja lo baru datengin gue, ya?"

Iya, itu gak salah. "Hah? Kagak, anjir. Kebetulan aja lo punya WiFi dan kuota gue abis. Hitung-hitung silaturahmi, sih, negative-thinking amat. Terus juga lo ngapa make baju macem astronot gitu dah?"

Tina mencibir dalam diam. "Corona. Gue ogah banget kepapar itu virus, terlebih lagi dari makhluk macam lo." Ia menatap remeh penuh ledek. "Gimana, WiFi gue kenceng, 'kan? Tugas-tugas lo lancar?"

Sumpah, ini cewek apa banget, deh. Tugas, ayo cepat selesai supaya aku bisa meninggalkan neraka bacotan ini. Juga Bunda, ayo kirimkan aku uang supaya tidak terus menjadi gelandangan penumpang WiFi orang ini.

"Kasian banget, ya. Tugas anak arsitek macam lo pasti banyak banget, perlu research sana-sini pula soalnya lagi karantina. Eh, terus duit subsidi kuota juga cuma cepe gocap. Pas kuota abis, pasti serasa orang prasejarah gitu, ya?"

"Berisik lo kapitalis."

Mampus. Kalimat itu terlontar begitu saja. Aku sontak menghentikan jemariku yang sedari tadi mengetik cepat dan menatap mata Tina yang terbelalak lebar. Hanya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya mengeluarkan aura sombong dari tatapannya. Yah, sepertinya aku tidak perlu meminta maaf, jadi aku kembali mengerjakan tugas supaya cepat rampung.

"Woi, lo apa gak ada niatan minta maaf?" sewotnya. "Gila, gak tahu diri bener, ya, ini manusia satu."

"Gue minta maaf." Ucapanku terdengar tidak tulus, tapi memang begitu, sih. "Udah, ya, Nyonya Pemilik WiFi, manusia gak tahu diri ini mau ngerjain dulu tugasnya biar bisa cepet-cepet minggat dari sini. Soalnya Nyonya pasti kegerahan pakai baju gituan, 'kan?"

Tina tertawa dari balik masker. "Oke, lo ada benernya juga. Sekarang gue mau tanya karena gue gabut," katanya.

"Apaan?" Aku menjawab tanpa menatap.

"Kamar lo kan ada di atas kamar gue, ya. Nah, gue penasaran, kenapa tadi pagi ada suara keras, kayak barang dibanting gitu dari atas, hm?"

"Oh, gue jatoh dari kasur gara-gara panik," jelasku.

Tina memicingkan matanya penuh sanksi. "Panik kenapa?"

"Udah lama gue gak—" Tunggu. Aku tidak bisa menceritakan kejadian tadi pagi. Itu terlalu memalukan. "Udahlah, gak usah tahu. Urusan laki-laki."

"Wah, wah, wah ... seorang Baskara juga ternyata seorang laki-laki, toh." Ia terdiam beberapa saat. "Kalau disebut urusan laki-laki, berarti ada kaitannya sama itu, ya. Gila-gila, gak nyangka gue sekarang cuma tinggal berdua sama 'laki-laki' yang begitu. Gak apa, sih, wajar juga kalau laki-laki begitu. Yang gue pengin tanya, kalau lo ngeluarin itu, puasa lo batal apa kagak?" Pertanyaannya terkesan meledek, ditambah lagi ia sekarang menahan tawanya.

Cewek ini bener-bener gila. Serius. Atau lebih tepatnya, dia liar? Astaga, aku benar-benar harus cepat keluar dari tempat ini sebelum kian memburuk.

"Kalau puasa lo batal, gue ada makanan di meja, tuh. Gue juga lagi dapet hari ini. Seru, ya, punya temen yang sama-sama gak bisa puasa."

Aku menutup laptop sedikit keras.

"Udah nugasnya?"

Dapat kurasakan wajahku memerah padam saat mengangguk.

"Mau makan?"

Spontan aku bangkit dan langsung berjalan menuju pintu keluar. Tina kelabakan mengikuti—tentu dengan masih bersikap waspada. Ia menahan gerakanku yang ingin meraih kenop pintu dan menggantikanku untuk membukanya. Aku melangkah ke luar sedikit canggung.

"Kalau tiba-tiba laper, bilang aja, ya."

Sudah cukup. Aku harus kembali ke kamar dengan cepat.

"Kara! Baskara!"

Kujeda langkahku karena aku tahu, Tina tidak akan berhenti sampai aku menyahuti.

"Terus ... lo tahu kalau tinggal kita berdua yang tinggal di sini, 'kan?"

Aku mengangguk, dengan tetap membelakanginya.

"Beberapa hari ini, setiap malem gue denger suara erangan entah dari mana. Gue pikir kos ini ada hantunya, tapi ... setelah kejadian tadi pagi, gue paham kalau itu berasal dari kamar atas. Jadi lain kali, tolong dikecilin, ya, volume kenikmatan lo itu."

Tina tertawa kencang dan menutup pintu kamarnya dengan puas.

Si-sial!

Aib ini benar-benar membuatku malu. Lagi juga, kenapa harus Tina?

Ah! Sepertinya, aku rela meninggalkan Bandung demi pulang ke Lombok supaya tidak melanjutkan masa karantina ini dengannya. Terserah disebut sebagai penghabis beras atau pencuci mobil oleh Ayah, yang jelas aku ingin pergi.

Namun, itu tidak dapat dilakukan.

Cewek itu ... kutu buku berkuncir dua, ternyata tidak sepolos kelihatannya.

Dan sekarang, aku khawatir.

Apa aib itu akan meluas menjadi konsumsi umum?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro