Rasa yang Berbeda
Ada suatu hal yang menggelitik rasa penasaran laki-laki kelas 11 itu. Kedua tangannya sedari tadi memegangi pintu kelas sembari mengintip ke dalam, memandangi seorang gadis dengan muka sedikit bersemu merah. Malu, entah sejak kapan dirinya bergini. Ia terpikir soal itu—
"Hei." Panggilan seseorang menyadarkannya. "Jangan berdiri di depan pintu."
Alex tersentak. Ia segera menyingkir supaya tidak menghalangi jalan pemuda itu.
"Ah, iya ...."
"Oh, Alex, kau mencari Aira?" Laki-laki ini namanya Leo, dan dia mengenal Alex. "Itu, anaknya ada di belakang." Temannya menunjuk. Mata Alex langsung terarah pada sebuah gadis berkuncir kuda yang sedang duduk mengobrol bersama ketiga temannya. Alex masih diam di tempat. Biasanya, Alex selalu ada di antara mereka. Namun, belakangan ini ia tidak mampu menahan rasa yang beraduk di dadanya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa untuk berhadapan dengan Aira rasanya sulit sekali.
Padahal, biasanya ia selalu merasa nyaman ketika ia menghabiskan waktu istirahat dan waktu lainnya di luar sekolah bersama Aira. Padahal, rasa senangnya sederhana setiap kali ia melihat wajah temannya yang cantik dan menawan itu. Padahal, ia selalu bisa menikmati kebersamaan mereka dengan mudah.
Akan tetapi, kenapa sekarang—
"Alex?" Mata gadis itu menangkap keberadaannya. Alex menoleh, sontak kaget. Pupil matanya melirik sana sini sebelum akhirnya ia berjalan ke luar kelas. Suara kursi digeser terdengar. Aira berjalan ke depan kelas, lalu keluar mengikuti ke mana Alex pergi.
"Alex," panggilnya lagi ketika ia sudah di luar. Alex berhenti. Agak lama baginya untuk bisa membalikkan badan ke hadapan Aira.
"Ada apa?" tanyanya. Pertanyaan biasa. Alex cepat-cepat ingin menghindar dari situasi ini.
"N-Nanti kita ketemu sewaktu pulang sekolah saja." Ia kembali membelakangi Aira sembari melambaikan tangan, lalu merentangkan langkah lebar-lebar. Sosok tinggi itu menghilang di balik koridor. Aira merenung sebentar sebelum kembali masuk ke kelas.
***
Jam pulang sekolah sudah tiba. Alex dan Aira berjalan berdampingan menuju rumah masing-masing. Tempat tinggal mereka masih satu rute. Mereka hanya perlu berpisah di jalan keluar terakhir saja. Alex bersyukur, kali ini ia dapat mengontrol perasaan yang selalu mengganggunya dan sudah bisa berada di dekat Aira.
Namun, sepertinya kalau mesti melihat wajah Aira agak susah ....
Aira berdesah kuat. "Kalkulus itu bikin pusing, nggak, sih?" Ia menoleh ke temannya di samping.
"Kal ... Kalkulus?" ulang Alex tidak paham.
"Ah, iya. Maksudku limit." Aira bergestur menunjuk udara. "Mana minggu depan udah ulangan." Kemudian, Aira berganti topik ke hal lain. "Terus tadi juga anak-anak bahasannya tumben banget, jadi terlalu kecewekan gara-gara kamu sama anak cowok yang lain nggak ada yang nimbrung." Aira menunjukkan wajah tidak tertariknya pada Alex.
"Memangnya anak-anak bahas apa?" tanya Alex, sedikit melirik ke bawah menuju Aira.
"Yah, singkatnya, mereka nanya kenapa aku belum punya pacar gitu. Remaja seumuran kita kan pada umumnya udah pacaran." Aira menjeda sebentar sebelum lanjut kembali. "Tapi, itu bukan hal yang mutlak terjadi, nggak, sih? Coba lihat sekolah kita. Memangnya populasi orang pacaran mendominasi orang-orang yang nggak pacaran? Kan, nggak juga."
Gadis itu menempelkan kepalan tangannya di pipi, melirik ke samping. "Heran, deh. Bagiku juga pacaran nggak sepenting itu. Banyak hal lain yang mesti dipikirin ketimbang pacaran, 'kan. Bersenang-senang, belajar, sekolah ...."
"Hm ...." Alex hanya merespons dengan gumaman. Air mukanya agak pucat sekarang. Ia setengah melamun hingga pukulan pelan Aira di lengannya menyadarkan lelaki itu.
"Belakangan kita jarang main berdua. Karena itu," kata Aira, "Jumat malam nanti kita belajar bareng di rumahku, ya! Lalu, Sabtu ...." Aira menghentikan ucapannya. "Nanti saja! Pokoknya datang ke rumahku, ya!"
Mereka sudah sampai di persimpangan akhir jalan. Keduanya saling melambai, lalu berpisah. Alex masih memandangi langkah Aira yang tampak riang. Ia tersenyum tipis dan manis.
Curiga saja tidak. Aira benar-benar anak yang sederhana.
***
"Oh, kalau yang ini dipindahkan ke sini, ya ... terus bagian ini dikalikan ini .... Eh?" Aira mendekatkan buku lembar kerja siswa ke muka. Beberapa menit di awal Alex sempat fokus untuk mempelajari materi mengenai limit itu, tetapi melihat Aira yang kebingungan dibanding pelajaran-pelajaran sebelumnya, ia lebih tertarik memperhatikan gadis itu.
Wajah kecokelatannya merona dengan tatapan mata yang agak sayu. Sepertinya saat ini Alex tidak terlalu memikirkan perasaannya, padahal kali ini rasanya hati lelaki itu terasa penuh dengan perasaan ....
Suka?
"Uwaah!" Alex tiba-tiba berteriak. Aira yang tadinya fokus pada buku di depannya pun seketika menoleh. "Eh? Lex? Kenapa?"
Aira mampu melihat wajah Alex yang memerah padam. Pikiran Alex kalut sekarang. Aira pasti menyadarinya. Ia harus segera pergi—
"Alex!" Suara gadis itu mencoba menghentikan Alex yang tiba-tiba beranjak pergi. Aira berusaha mengejarnya. "Tunggu!"
Untung, Aira berhasil meraih tangan Alex. Lelaki itu pun berhenti.
"Lex ...," panggil Aira ke sekian kali. Alex tidak bisa lama-lama berdiri membelakangi Aira. Ia harus menghadapinya.
"Ra," ucap Alex dengan wajah sedikit menunduk. "Belakangan ini ada ... beberapa hal yang menggangguku."
"Oh, apa?" tanya Aira ingin tahu. Ia tidak mengatakan hal lain lagi sehingga Alex melanjutkan.
"Aku ... selalu suka melihat dirimu," kata lelaki itu perlahan. "Tapi, itu hal yang beberapa kali kukatakan, 'kan? Maksudku, aku suka melihat dirimu yang cantik, periang, pintar, cerdas ... dan juga sederhana."
Alex melanjutkan lagi. "Kamu pasti tahu, aku kagum sebagai temanmu, tapi ... entah sejak kapan rasa ini jadi berbeda." Ia menatap ke bawah. "Aku nggak mau menjadikan hal ini seakan tiba-tiba, tapi sepertinya aku harus bilang ... aku suka sama kamu, Ra."
Hening. Sedetik ... Dua detik ....
Sudut bibir Aira tertarik. "Tadinya aku mau bilang sehabis belajar, sih, tapi sepertinya besok jadi kencan pertama kita, ya?"
"E-Eh?" Alex terbata. "Ah, aku udah bilang kalau aku nggak mau merasa ini tiba-tiba buat kita berdua, jadi, jalani dulu saja—"
"Aku juga suka kamu kok, Lex." Aira memasang senyum sederhana, yang saat ini justru tidak dimengerti oleh Alex. "Nah, karena kita jalani saja dulu ...."
Aira memegang tangan Alex dan mencoba menariknya dari depan. "Yuk, kita lanjut belajar!"
Kedua remaja itu berjalan balik ke rumah Aira. Alex masih bingung dengan situasi yang terjadi sekarang. Rasanya terlalu singkat dan mengganjal, tetapi ...
Ia merasa sepertinya ke depan bakal baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro