PSYCHO(?)
08xxxx
Apa kau senang hari ini?
Kuharap kau menikmati harimu.
Isi dari pesan itu memang terkesan manis dan romantis. Alicia juga akan merasakan hal yang sama jika saja yang mengirimnya adalah orang terdekatnya. Tapi sudah tiga hari ini pengirim tidak dikenal itu mengirimi Alicia pesan yang sama setiap malam.
Setelah merasakan ketidaknyamanan selama tiga hari, Alicia baru berani untuk bercerita pada kakaknya. Alicia masih sangat ragu untuk bercerita kepada orang tuanya. Diketuknya pintu putih itu dan setelah mendapat izin dari sang pemilik kamar, Alicia pun membuka pintu.
"Kenapa, Dek?" Jeffrey—kakaknya Alicia bertanya begitu sang adik masuk ke kamarnya.
Alicia tidak langsung menjawab. Gadis itu menghampiri kakaknya yang sedang sibuk mengatur senar gitar. Alicia duduk di kursi kerja Jeffrey sementara pria itu duduk di tepi ranjang dengan memangku gitarnya.
"Kak Jeff ... kayaknya aku diteror deh," ujar Alicia dengan nada pelan.
Tetapi jarak antara ranjang dengan meja kerja yang tidak terlalu jauh berhasil membantu Jeffrey agar tetap bisa mendengar suara sang adik. Mendengar ucapan Alicia jelas saja membuat Jeffrey mendongak secepat kilat.
Alicia langsung menyerahkan ponselnya pada sang kakak dan membiarkan Jeffrey sendiri yang membaca isi pesan dari nomor yang selama tiga hari ini selalu masuk setiap jam sembilan malam di ponselnya.
"Isi pesannya sih biasa aja. Tapi aku jadi risih dan takut sendiri karena setiap aku balas, dia gak akan balas lagi," jelas Alicia.
Jeffrey terdiam. Pria itu mengembalikan benda pipih yang semula ada di tangannya kepada sang adik. Alicia menghela napas begitu menerima ponselnya kembali.
"Kakak punya teman yang bisa lacak nomor ponsel," ujar Jeffrey. "Besok kamu kakak jemput dari kampus. Kita langsung ke sana."
"Kakak gak papa ninggalin kantor?" tanya Alicia.
Jeffrey menggeleng, "Gak papa. Lagian jadwal kakak besok kosong kok."
***
Besoknya, pukul dua lebih sepuluh menit Jeffrey sampai di kampus di mana sang adik menempa ilmu. Alicia sudah menunggu kedatangan sang kakak di koridor dekat parkiran.
Akhirnya mereka sampai di rumah dua lantai yang bangunannya bernuansa putih gading dan biru langit. Mendengar adanya suara deru mesin mobil membuat sang pemilik rumah keluar dari kediamannya tersebut.
"Yo, Dek!" Jeffrey menghampiri temannya tersebut lalu mereka saling melakukan tos dan berpelukan ala lelaki.
Sang pemilik nama—Deka langsung mengajak para tamunya tersebut untuk masuk ke rumahnya. Mereka melangkah beriringan menuju kamar Deka.
"Mana ponselnya, Al?" Deka meminta ponsel milik Alicia selagi Ia menyalakan komputer.
Alicia langsung saja menyerahkan ponselnya kepada Deka untuk segara dilacak agar mereka dapat mengetahui siapa sosok di balik nomor tersebut. Deka begitu serius dengan apa yang Ia lakukan sampai beberapa menit berlalu.
"Bryan Andrian?" Deka mengernyit, "Dia sepupu lo, 'kan, Jeff?"
Jeffrey mengangguk, "Iya sepupu gue. Tapi dia tinggal di Singapur, Dek. Dia ngurus kantor cabang yang ada di sana."
"Enggak. Dia di Indonesia sekarang. lokasinya—DI DEPAN RUMAH GUE!?" Deka refleks memekik karena terlaku kaget dengan apa yang Ia lihat di layar komputernya.
Kakak dan adik itu juga ikut membelalak tak percaya. Alicia jadi semakin parno. Jika saat ini Bryan ada di depan rumah Deka seperti yang lelaki itu bilang, berarti selama tiga hari ini Bryan selalu mengamati Alicia dari jauh secara diam-diam.
Di saat Jeffrey dan Deka sibuk mengamati titik keberadaan Bryan yang bergerak pergi dari area rumah, ponsel Alicia kembali berdering pertanda ada notifikasi baru masuk.
08xxxx
Apakah harimu baik?
Kau pergi ke rumah siapa?
Kenapa harus secantik itu?
Alicia langsung menepuk pundak kiri Jeffrey dengan sedikit kencang dan tidak sabaran. Ia langsung menyerahkan ponselnya begitu Jeffrey menoleh.
"Tenang ...," Deka mengangkat sebelah tangannya. "Gue masih tetap lacak dia pergi ke mana sekarang. Jadi kita lihatin aja dia bakal berhenti di mana nanti."
***
Apartemen. Titik di layar komputer Deka berhenti di sebuah apartemen. Jeffrey langsung memutuskan untuk menyusul ke apartemen tersebut. Deka hanya bisa berteriak, meminta Jeffrey dan Alicia berhati-hati di sana.
Perjalanan dari rumah Deka menuju apartemen itu tidak terlalu jatuh, hanya setengah jam. Jeffrey memarkirkan mobilnya di kafe yang berada tepat di seberang apartemen. Mereka masuk ke apartemen dan bertanya letak kamar Bryan pada resepsionis.
Kamar nomor 218 di lantai lima. Begitu tiba di depan pintu kamar tujuannya itu, Jeffrey tidak mengetuk pintunya. Pria itu justru membuka sendiri sandi pintunya dengan berbagai angka. Jeffrey berhasil dipercobaan keempat dengan menggunakan tanggal ulang tahun Alicia.
Begitu pintu dibuka, keadaan kamarnya begitu sepi seperti tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di sana. Alicia langsung merapatkan dirinya dengan Jeffrey karena situasi yang mendadak terasa menyeramkan.
"Hai, sepupu."
Kakak beradik itu refleks menoleh ke samping kiri begitu mendengar suara berat Bryan yang mengalun di telinga mereka. Alicia refleks melompat ke belakang punggung Jeffrey begitu netranya melihat barang apa yang Bryan bawa.
"Bry, lo ngapain sih?" Jefrrey berusaha untuk bertanya baik-baik untuk saat ini.
"Ngapain?" Bryan balas bertanya. Pria itu memainkan benda tajam yang sedang Ia pegang.
Bryan mendongak, "Gue gak ngapa-ngapain. Kalian yang ngapain masuk diam-diam ke apartemen gue?"
"Maksud lo apa?" Jeffrey maju satu langkah, "Kenapa lo teror Alicia?"
"Siapa yang neror sih? Gue cuma nanyain kabar, kalian aja yang berlebihan. Kenapa kamu sombong sama aku sih, Al?"
Hening. Alicia tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Bryan hingga membuat sepupunya itu berdecak kesal.
Tak!
Baru saja Bryan melemparkan pisau kecil yang Ia pegang ke arah Jeffrey sampai menancap di sofa yang berjarak dua meter dari posisi Jeffrey dan Alicia berdiri.
"Apa-apaan sih, Bry!?" Jeffrey kesal sekarang. Ia sudah berusaha bicara baik-baik tetapi respon Bryan malah seperti itu.
Ekspresi Bryan langsung berubah. Bryan jadi terlihat menyeramkan sekarang—menurut pandangan Alicia. Seringaian tipis di bibir pria itu menunjukkan tanda bahaya.
Tangan kanan Bryan merogoh sesuatu di balik punggungnya. Sebuah pisau dengan ukuran yang lebih besar kini ada di tangannya. Bryan berjalan mendekat dan tentu saja Jeffrey dan Alicia berusaha untuk menjauh.
"Jeff. Meskipun gue di Singapur, tapi tetap aja itu cuma kantor cabang. Gue mau pegang kantor pusat tapi gak bisa karena ada lo. Jadi ... gue harus apa?" Bryan menyeringai.
"Hubungannya sama Al apa kalau masalah lo itu sama gue?" Jeffrey memekik kesal.
Bryan terkekeh, "Buat umpan. Biar lo bisa ke sini dan—"
"AKH!"
"—gue bunuh."
Alicia membelalak, "KAK JEFFREY!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro