Psike
Rana mematikan komputernya. Lagi-lagi ia harus lembur akibat berkas yang tak kunjung tuntas. Diliriknya angka yang tercetak pada layar ponsel. 23.47. Sudah larut. Ia merapikan peralatan di atas meja kerjanya, memasukkan beberapa barang ke dalam tas mungil yang selalu dipakainya untuk bekerja. Pandangannya mengeliliing sebentar. Gelap dan sunyi, sepertinya tidak ada kehidupan yang lain. Beruntung ia adalah wanita independen yang tidak begitu terusik akan kehidupan lain.
Setelah bangkit, Rana menitah kakinya untuk berjalan menuju lift. Ditekannya salah satu tombol di tembok yang kemudian menghasilkan suara mesin yang bergerak. Satu menit menunggu, lift tersebut akhirnya tiba. Rana masuk dan kembali menekan tombol lainnya. Pintu lift siaga menutup.
"Tunggu!" Suara lelaki terdengar kencang, berkeliling menggema. Rana spontan menunda tertutupnya lift dengan memanfaatkan sensornya. Pintu kembali terbuka, lelaki itu masuk dengan setumpuk berkas di pelukan, lalu berkata, "terima kasih, Mbak."
Rana hanya mengangguk.
"Mbak, maaf bisa tolong pencetin tombolnya ke lantai empat?"
Wanita itu tersentak. Apa-apaan? pikirnya, kesal. Bukan karena kejanggalan yang ia ketahui, melainkan terlalu muak untuk menanggapi candaan bencana frustrasi. Jadi, Rana memilih diam, membiarkan lift bergerak jatuh menuju lantai terbawah. Lelaki itu pun tidak berbicara lagi.
Pintu lift terbuka. Rana melangkah lebih dulu, meninggalkan lelaki aneh itu sendiri. Ia berjalan sedikit cepat. Ketika melewati pos penjaga, seorang satpam menyapa dan bertanya, "Mbak Rana, baru selesai?"
"Iya, Pak. Saya juga heran kenapa tiba-tiba dikasih kerjaan segitu banyaknya," jawabnya, diselingi tawa. "Oh, iya, Pak, maaf saya gak sempat bilang mau ngelembur hari ini ... bisa-bisa saya kekunci di dalam tadi."
Satpam itu tertawa hambar. "Gak apa, Mbak, lagi pula tadi Mas Devan yang bilang kalau dia hari ini lembur, makanya sengaja ndak saya kunci." Sepintas, kejadian tadi terbesit di kepala Rana. "Makanya tadi saya agak kaget waktu lihat Mbak Rana keluar dari gedung," lanjutnya.
Tidak lama setelahnya, lelaki yang dibicarakan datang dengan mengendarai sepeda motor. Ia melepas helm dan bertukar kata dengan pria berseragam itu. Rana langsung berpamitan pergi. Kepergiannya menyisakan tanya bagi dua sosok yang ditinggalkan. Mereka menyaksikan tubuh Rana bergerak menjauh hingga lenyap ditelan gelap.
Rana berdiri di pinggir jalan, menanti kehadiran kendaraan yang sudah dipesannya secara daring. Empat menit kemudian, alat transportasi yang diharapkan menunjukkan angka pelatnya. "Mbak Rana, ya?" tanya pengemudi usai menurunkan kaca mobil. Rana mengangguk dan langsung menaiki mobil. "Sesuai aplikasi, ya, Mbak."
"Iya, Pak," jawab Rana.
Kota Kembang tidak pernah sepi, terlihat dari bagaimana banyaknya pengendara yang berlalu-lalang bersamaan dengan kendaraan yang Rana tumpangi. Namun, ketika berbelok di sebuah tikungan, jalanan mulai menghampa. Mobilnya melaju di antara lorong yang terbentuk akibat susunan pepohonan yang tinggi. Terbilang gelap karena lampu jalan menyinari secara ragu.
Mobil tiba-tiba berhenti. Tubuh Rana tersentak, menubruk kursi pengemudi. Ia mengeluh aduh, lalu mengomel kesal pada sosok di depannya. Namun, belum puas emosinya terlepas, pintu mobil dibuka dari dua sisi. Keduanya lelaki, berawakan besar dan berbau alkohol. Mereka masuk tanpa izin, menjadikan Rana duduk terhimpit di antara keduanya. "Cepet jalan!" perintah satu dari mereka. Pengendara mobil kembali melanjutkan perjalanan.
Napas Rana sesak. Bukan karena besarnya tubuh mereka, tapi karena raksi yang menyerbak. Satu di antaranya sudah menggerayangi tubuh Rana, sedang satu lainnya sibuk mengomel tak jelas sembari memegang sebotol anggur. Rana sudah memberontak risi, tapi tenaganya sudah terkuras di kantor. Ditambah lagi, posisinya kini jelas tidak menguntungkan. Seorang wanita melawan dua pria. Terlalu timpang.
"Ayolah, gue tahu lo suka, bukan?" Satu dari mereka mulai menyusupkan tangannya ke balik pakaian. "Gue bisa rasain kalau tubuh lo bereaksi," godanya.
Rana menggigit bibir bawahnya. Air matanya mengalir tanpa perintah. Ia gemetar ketakutan. Rana mengharapkan pengemudi di depannya memberi bantuan. Tatapan mereka bertemu di cermin mobil, dengan sama-sama menghantarkan hal serupa; tidak berdaya. Rana menangis sejadinya.
Sementara yang satu asik mengecup leher Rana, lelaki lainnya bergerak lebih beringas. Ia kesal karena tidak ada yang tersisa dari botol di genggamannya. Diarahkannya kepala botol itu menelusuri tubuh Rana. "Cewek yang pulang malem kayak lo, pasti cewek gak bener. Jangan salahin gue kalau emang lo yang membuat nafsu gue menggebu."
Memasuki wilayah timur, keadaan di jalan semakin lengang. Hanya terdengar suara desah dari dalam mobil. Rana terlalu ragu untuk berseteru, ia memilih pasrah. Ketika kepala botol mulai menabrak dinding kemaluan, Rana berteriak. Namun, tak butuh waktu lama bagi mereka membekap mulutnya.
Napas Rana membara. Semua rasa perasaan memadu sebagai kesatuan tanpa paham apa yang terpadu. Matanya membelalak lebar, memerah bak dipenuhi darah. Urat di sekitar wajahnya ikut timbul tak ingin dilewatkan. Sepertinya, Rana tidak dapat memberontak jiwanya yang ingin bertindak.
Rana menggigit telapak yang menutup mulutnya. Ditariknya lapisan kulit tipis tersebut hingga tersobek acak. Pemilik tangan berteriak kesakitan. Belum usai meronta nyeri, Rana langsung menggenggam tangan yang bermain-main di selangkangnya. Dipelintirnya tangan tersebut hingga terdengar bunyi patah. Kini, Rana mendominasi situasi. Ia menggigit leher satu dari mereka. Darahnya bersimbur menghiasi bangku mobil. Rana melepas gigitannya dan langsung menyerang pria yang lain. Melakukan hal serupa, tubuhnya kini jelas bermandikan darah.
Mobil masih berjalan, seakan tak ada yang terjadi. Di dalamnya, tergeletak dua tubuh kehabisan darah. Rana menatap kedua tangannya yang bergetar enggan percaya. Ia menatap pengendara yang sudah menangis ketakutan. "Pak ... berhenti di sini aja," ucapnya dengan suara bergetar.
Pengemudi itu langsung menginjak rem dan memberhentikan mobil seketika. Masih gemetar, Rana berusaha mengambil dompet dari dalam tas, dan memberikan selebaran uang seratus ribu padanya. Rana beringsut menghindari tubuh yang menghalangi geraknya. Ia keluar dan langsung berjalan pincang, meninggalkan pengemudi yang bingung harus apa.
Saat Rana berbelok memasuki gang, terpancar sinar dari jalur yang mobilnya lintasi tadi. Pengemudi motor itu langsung berhenti dan membuka pintu mobil. Ia terkejut ketika melihat dua jasad dan seorang pengemudi yang menangis dari mobil bersimbah darah itu. "Pak, keluar dulu," ujarnya pada satu-satunya yang selamat.
Mereka berdiri berhadapan. "Pak, saya Devan, bisa jelaskan apa yang terjadi?"
Pengemudi itu mengangguk. Ia menceritakan hal mengerikan yang baru saja dilihatnya, secara detail—walaupun terbata. Devan mengangguk-angguk, lalu berlari menuju tempat di mana Rana terlihat terakhir kali. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Devan menghela napas kecewa.
Ia meraih ponsel dan menghubungi seseorang. "Dugaanmu benar, kita harus berhati-hati, dia sudah mulai beradaptasi menjadi manusia dengan melupakan identitasnya," putusnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro