<6.>Jawaban
10 Juli 983. Kota Heava, Gedung Dewan Kekaisaran, ruang rapat.
Wajah-wajah tertekuk sementara iris mata mewaspadai satu sama lain, orang-orang bersetelan rapih saling mengirim ketegangan di tengah ruangan dingin. Seperti perseteruan yang bisu, tiga kubu yang hanya terpisah meja kayu menyimak persentasi laporan proyek yang tengah Cedric jelaskan. Pria ayam berumur tiga puluh itu tau, pikiran petinggi sama sekali tak menyimak isi laporannya.
"Jadi maksudmu belum ada kemajuan program setelah seminggu lebih?" Seorang pria berjanggut putih tebal menyela Cedric yang tengah menjelaskan. Gestur angkuhnya mengintimidasi meski ia hanya duduk tegak menatap layar.
"Maaf Dewan Samuel, bukan bermaksud berleha-leha, tetapi ini adalah sebuah penelitian ilmiah yang penuh pertimbangan dalam waktu yang banyak." Cedric menatap iris biru pria berjanggut itu.
"Apa itu bisa menjadi alasan? Dengan eksperimen ini kita telah menodai nilai-nilai leluhur! Membawa seorang Magus kotor di tengah kekaisaran yang suci ini!" Pria lain dengan kacamata bulat dan kepala plontos berseru geram.
Keheningan menyelimuti, kubu peneliti dan militer hanya bisa membisu setelah di marahi atasan mereka.
"Hasil dari penelitian ini harus segera di temukan, kaisar yang agung tak akan suka dengan kehadiran Magus di kekaisaran yang suci ini. Bagiamanapun, kekaisaran telah berbaik hati menerima proyek ini, sebuah toleransi tinggi dari orang-orang suci seperti kami." Samuel berbicara tenang, iris biru itu menatap tajam kearah Cedric.
Pria plontos di samping Samuel memukul meja pelan, mengundang semua perhatian kearahnya. "Saya Thomas James dan Samuel Luis selaku Dewan Kekaisaran mengumumkan rapat ini selesai dengan hasil tenggat penelitian di majukan satu minggu lebih awal." Cedric menelan ludah. "Jadi untuk ketua peneliti Cedric Charles, kuharap kau tidak bermalas-malasan."
Rapat di bubarkan dengan kegundahan hati yang terkunci. Setelah dua orang berjubah putih itu pergi meninggalkan ruang rapat, barulah keluhan-keluhan di lontarkan, bahkan di antara mereka ada yang mengutuk dewan kekaisaran.
Cedric mengacak-acak jambul pirangnya, menghela nafas lelah. Dengan wajah tertekuk, ia beranjak untuk pergi dari ruang rapat yang sudah berubah jadi ruangan bebas berkata kasar. Namun langkahnya di tahan Charles yang memanggilnya.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, bagaimana kalau kita ke kantin?" Pria berwajah menyeramkan itu menghampiri Cedric.
"Apa ini masalah militer? Aku tak mau terlibat." Cedric menggeleng langsung menolak, ia segera beranjak meninggalkan Charles.
"Ini mungkin membantu penelitianmu."
Cedric berhenti, menatap kembali Charles. "Langsung intinya."
"Penyelundupan peralatan Magus, dan pelakunya adalah teman lamamu. Kupikir itu bisa membantumu, terlebih lagi hanya kau yang punya kontak dengan ilnuwan gila itu."
Cedric berpikir sejenak. "Itu aneh, bukankah perbatasan sudah melarang impor barang benua barat?"
"Dia tidak mendapatkan peralatan Magus dari luar, tapi dari dalam."
(***)
Beberapa menit sebelumnya di dalam pabrik gandum.
"Selamat datang, saudaraku!" Suara pria itu memecahkan tegang Cedric dan Julia, mengarahkan mereka untuk menyaksikan pria tua yang muncul dari kegelapan.
Cedric tersenyum miring. "Sudah lama tidak melihat wajah tuamu, Rafles Mayfly." Pria berjambul itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Rafles tertawa lepas, menggeleng-geleng sembari menerima jabat tangan. "Tua begini umurku sama denganmu."
Sementara mereka berbincang hangat, Julia dan Gabriel justru terkukung dalam ketegangan yang di berikan moncong senjata api. Sedikit kecurigaan, mereka semua bisa tewas di tempat. Julia nampak kesal dengan Cedric yang asyik sendiri seolah melupakan tujuan mereka kemari.
"Bagaimana dengan pasar? Berjalan lancar?" Cedric tidak peduli dengan tatapan Julia.
"Terlalu banyak pesanan soal peralatan Magus di perbatasan, mengalahkan semua pesanan narkotika dan alat praktik kedokteran. Ini pertama kalinya dalam sejarah narkotika di kalahkan dalam pasar." Rafles menunjuk koper yang ia tenteng sedari tadi, Cedric mengangguk paham. Sudah saatnya pertukaran.
"Alat-alat Magus adalah keajaiban! Revolusi teknologi yang bahkan mengalahkan Energi listrik Kekaisaran Genesis! Energi alternatif yang lebih ramah dari energi manapun!" Rafles berkata dengan semangat, melupakan sesaat kopernya.
"Andai saja dulu Kekaisaran lebih mendengarkanku untuk meneliti Magus, sekarang mereka tak perlu membangun pabrik senapan yang akan segera usang itu." Rafles menaruh kopernya di lantai.
"Kau nampaknya sangat terobesisi dengan para Magus, Rafles. Kenapa tidak berpikir untuk membeli budak Magus?" Cedric meraih sesuatu di balik jas hitamnya.
Rafles tertawa. "Peraturan di perbatasan semakin menjadi-menjadi. Seluruh barang dari benua barat di larang untuk di impor. Makanan saja tidak boleh apalagi manusia."
Cedric mengeluarkan sesuatu yang memacu ketegangan di dalan pabrik. Pistol perak dari dalam sakunya. Segera enam bodyguard bersiap menarik pelatuk, moncong senjata itu di acungkan untuk memuntahkan timah panas.
"Aku punya penawaran untukmu, Rafles." Cedric menatap serius, ekspresi hangatnya menguap entah kemana. "Berikan satu alat Magus padaku, dan akan kuberikan anak ini untukmu." Cedric menyeret tangan Gabriel, melemparnya dengan kasar ke lantai berdebu.
"Anak itu seorang Magus, tapi tidak berguna untuku. Dia manja dan payah, menghambat semua penelitanku. Jadi aku berpikir untuk meneliti sihir dari alatmu. Satu saja lebih dari cukup untukku." Cedric menatap iris biru Rafles. Pira tua itu berpikir sejenak, menatap pistol Cedric curiga.
"Untuk apa pistol itu?" Rafles justru bertanya balik.
"Untuk membunuh anak ini. Bagaimanapun ia Magus, kalau sampai menggunakan sihir akan sangat merepotkan." Cedric mengacungkan pistol itu ke kepala Gabriel. Ketakutan mengukung anak itu sampai gemetar tak karuan, menaikan atensi atmosfer tegang.
"Berikan pistol itu padaku, Cedric." Rafles berakta serius, mengulurkan tangannya meminta pistol itu.
"Kenapa?"
"Serahkan atau kuperintahkan Bodyguardku untuk menembak kalian." Rafles berkata serius, ada sedikit amarah dalam intonasinya.
Cedric mengalah, melemparkan Handgun perak itu pada Rafles. Hening sedetik mengukung mereka sesaat Rafles menodongkan pistol kearah Gabriel.
"Darimana kau tahu aku membawa peralatan Magus?" Rafles menatap tajam kearah Cedric.
Julia menatap punggung Cedric, meneliti gestur tubuhnya yang tak bergerak sedikit pun. Sesaat, Julia bisa melihat jemari para Bodyguard yang bersiap menarik pelatuk.
"Bukankah itu hal wajar kau membawanya? Daerah ini dekat perbatasan benua barat, jadi kupikir kau akan menjualnya setelah ini." Cedric nampak tak gentar.
Rafles tersenyum miring, acungan pistolnya beralih kearah Cedric. "Apa aku tak bilang ekspor tidak di perbolehkan?"
DOR!
Tidak terjadi apapun, pistol perak itu tak memuntahkan satupun peluru timah. Di tengah keheningan yang janggal itu, Cedric, Julia dan Gabriel segera menutup kedua telinga mereka, bersiap untuk sesuatu yang tak bisa Rafles prediksi.
NGIIING!!
Ledakan suara meruntuhkan keheningan, menjatuhkan para bodyguard kelantai, berhasil melucuti senjata api dari tangan mereka. Rafles yang menggengam pistol perak itu ambruk kelantai berdebu, tubuhnya kaku seperti tersengat listrik. Tanpa membuang waktu, Julia segera melepas tangan dari telinga, meraih borgol yang tersembunyi di balik setelan hitamnya dan bergegas meringkus Rafles yang tak berdaya.
"Sialan..apa-apaan tadi?" Dengan suara meringis Rafles menatap tajam Cedric.
"Hanya bom ultrasonik berbentuk pistol, maha karya terbaruku." Cedric berjalan menghampiri, berjongkok santai di depan Rafles.
"Bagaimana bisa kalian selamat? Aku sama sekali tak melihat penutup telinga."
Cedric menjulurkan kedua tangan, menujukan tangannya yang mengenggam sesuatu yang tak terlihat "Pernah dengar penutup telinga berbentuk udara padat? Kalau belum kau sedang melihatnya sekarang."
(***)
Aku benar-benar terkejut dengan apa yang kusaksikan; orang-orang berseragam dengan senjata api tersungkur tak berdaya. Sementara aku termangu, Julia dan Gorgeo mengikat mereka di beberapa pilar pabrik yang berjauhan, sementara pria tua itu terbogol dengan tatapan benci kearah Cedric.
"Gabriel!" Aku teringat dengan anak itu, berlari menghampirinya yang nampak lemas.
"Tak apa-apa, hanya saja aku punya trauma dengan senjata api.." Anak itu tersenyum meneguhkan diri, padahal jelas tubuhnya gemetar hebat.
Aku menatap Cedric, dan entah bagaimana ia juga menatapku. Iris birunya menerawang sejenak Gabriel, kemudian kembali beralih padaku. "Kita memerlukannya, Dahlia."
"Tapi dia masih an-"
"Tak ada waktu untuk memanjakannya, tugas kita menumpuk. Kau sebaiknya mempersiapkan perisai balistik-mu." Gorgeo memotong ucapanku.
Aku menurut, bagaimanapun seseorang harus profesional dalam berkerja. Aku mengenggam tangan anak itu, berharap meredakan tubuhnya yang gemetar. "Aku akan melindungimu, teruslah di belakangku."
Julia menyeret pria tua itu kehadapan kami, memberi kode kepada Cedric untuk menjelaskannya kepada kami. Pria dengan setelan hitam itu menggaruk tengkuknya, berpikir sejenak untuk merangkai kata-kata. "Aku tidak sepenuhnya bohong soal alat itu, hanya ada beberapa hal yang belum kuceritakan. Tujuan utama misi ini adalah mengamankan alat-alat Magus yang di selundupkan."
"Lalu kenapa kau seolah merahasiakannya dari kami?" Aku bertanya serius.
"Kalian akan mengerti saat orang ini mau bicara." Cedric menepuk wajah Rafles. Herannya, orang tua itu hanya tertawa lepas membuat seisi pabrik kosong ini terasa janggal.
"Aku tak perlu menjelaskannya, kalian akan lihat sendiri jawabannya." Pria tua itu berkata santai, memancing rasa kesalku dan yang lain.
"Apa maksudmu?" Aku bertanya.
"Maksudnya itu." Gorgeo menempuh bahuku, menunjuk kearah masuk pabrik. Di sana aku menemukan segerombolan orang bertudung merah di halaman pabrik, berjalan perlahan mendekati kami. Wajah mereka tak terlihat tapi aku yakin ada tatapan kebencian di balik tudung yang menghalang.
Aku, Gorgeo dan julia refleks mengacungkan senjata api, menatap waspada dengan mereka yang semakin mendekati pabrik. Ketegangan berlalu dengan cepat setelah seseorang di antara mereka maju kehadapan kami, mengacungkan jemarinya kearah kami, menyemburkan api kecil dari ujung jarinya.
FLOAR!!
"Selamat siang, para setan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro