<4.> Phantom pain heart
9 Juni 983, Negara Eden, Kota Heava.
Di sebuah kamar sewa.
"Perlahan kekaisaran Genesis bangkit dari krisis ekonomi selama periode Menteri Eden, Gurba Abraham. Daerah yang di kuasai Magus telah berhasil di rebut kembali, namun ini membawa konflik tak berujung ini pada hal yang lebih serius: Kekaisaran Magus mengancam akan menyerang wilayah perbatasan. Hal ini tentu mengkhawatirkan karena akan berdampak pada impor dan ekspor perdagangan Kekaisaran..."
Sereal jagung yang kutelan seketika terasa hambar-bukan lain karena ini salah satu produk impor. Tumpukan surat dan persyaratan anak rasanya tidak cukup membuat pagiku semerawut. Dengan kacamata non minus, iris merahku menjelajah paragraf dengan tangan kanan memegang pena dan tangan kiri menyuap sereal.
'Punya pengalaman memiliki anak?'
Tanpa ba-bi-bu tangan kananku mencentang pertanyaan itu. Tentu saja aku melakukannya hanya untuk formalitas persayratan. Pertanyaan itu menjadi penutup seluruh urusan berkas. Aku merentangkan tangan untuk menghirup udara pagi yang membelai dari jendela kamar di sebelah kiri.
Inilah tempatku bernaung, sebuah kamar sewa empat meter kali empat meter yang minimalis dan simpel. Hanya ada ruang kamar, dapur dan kamar mandi secara berurutan. Jarang orang berkunjung ke sini, karena memang tidak ada hiburan lain selain Televisi tabung bekas dan tumpukan komik dengan genre horor dan superhero-sangat bertolak belakang dengan selera perempuan yang baru menginjak usia dewasa muda.
Saat seluruh kesibukan pagi beres, aku bersiap-siap untuk pergi keluar. Mengenakan blazer cokelat dengan kaus putih berlengan panjang di dalamnya dan celana panjang bahan berwarna hitam. Bercermin sebentar untuk menguncir rambut kuda rambut putihku dan memoles sedikit pelembab di bibir, aku langsung menyosor keluar kamar sembari menenteng tas selempang.
Kota Heava selalu bisa menyajikan pagi jadi hal yang di nantikan. Kemegahan gedung-gedung tinggi dan infrastruktur kota yang tersusun rapih terpoles warna-warni metalik-menambah kesan futuristik. Kota ini bak isi kotak pandora, keindahan yang memerlukan pengorbanan-bukan lain kawasan pinggiran yang menjadi lahan industri. Dari horizon di arah timur, aku bisa menyaksikan kepulan asap industri yang membawaku pada nostalgia, sampai pemandangan itu lenyap tertutupi susunan pencakar langit. Kereta listrik melaju menyusuri jembatan rel setinggi empat meter untuk membawaku ke satsiun di pusat kota.
"Rasanya terlalu cepat untuk membuat negara ini menggunakan bahan bakar alternatif." Suara serak basah itu mengusik lagu rock di headseat-ku, membawa perhatian pada perempuan berambut merah itu.
"Krisis sumber daya alam. Negara ini tidak bisa bergantung pada batu bara di benua barat, apalagi konflik dengan kekaisaran Magus lima tahun ini semakin memanas." Aku jadi ingat berita di televisi tabungku tadi pagi.
"Jadi itu sebabnya menteri Gurba Abraham di lantik menjadi menteri Eden? Beliau Raja dari kerajaan Veldrumia di barat, masuk akal kalau Kekaisaran menerima dengan tangan terbuka." Julia berkata santai, tetapi tentu saja itu adalah sebuah konspirasi yang bisa membawa kami ke jalur hukum.
"Wow, wow, wow. Tahan mulutmu kawan, itu tuduhan yang serius. Ada banyak kuping dan mata Kekaisaran di sekitar sini." Aku merangkul bahu perempuan seumuranku itu untuk merunduk. Ia hanya berdecak pelan, menepisku dengan malas.
"Aku kupingnya, bodoh. Aku hanya menerak-nerka dengan keputusan Kekaisaran yang semakin menjadi-jadi. Menyulap negara ini menjadi negara industri senjata dan bahan bakar alternatif, seolah bersiap dengan penyerbuan ke benua barat. Isu perselisihan teknologi dengan Kerajaan Babilonia? Kalau itu soal minyak aku percaya." Julia merapikan alamamaternya yang berwarna hijau army–seragam kemiliteran.
Kereta terhenti di stasiun, menghamburkan isi penumpangnya kesegala arah. Sedikit menyusuri jalan trotoar dan jalan raya, akhirnya kami sampai pada sebuah pencakar langit berwarna perak metalik. Logo apel emas raksasa terpampang di atas sana dengan tulisan Eden Technology Departement di sampingnya.
"Idemu membawa kegaduhan para petinggi proyek, bahkan Kapten Charles harus ikut campur untuk menyakinkan. Sebagai hasilnya kau di tim kita di jadikan pengawas anak itu, dan khusus kau jadi pengasuhnya." Setelah mengatakan itu, Julia berpisah denganku di lobi.
Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi gedung divisi penelitian. Ada satu hal menonjol pertama yang kutemukan: muka semerawut para peneliti. Sepertinya banyak di antara mereka bukan orang ramah yang bisa kuajak bercanda atau sapa. Mencoba berjalan hati-hati untuk tidak menyenggol tumpukan kertas yang mereka bawa, akhirnya membawaku sampai di hadapan sebuah labotorium di lantai empat belas.
"Rasanya sudah lama sekali!" Seseorang berseru di belakangku.
Segera aku sadar dengan suara familiar itu, senyum merekah di bibirku mendapati pria berjas putih dengan iris zamrud yang familiar bagiku. Tangannya yang mengulur kuterima dengan senang hati. "Profesor Alphonso, aku selalu bertanya-tanya tentang kabar anda!"
"Aku tidak kemana-mana, hanya mengurusi divisi Penelitian dan Agamawan." Profesor Alphonso tertawa renyah, sembari berjalan menuju labotorium. "Kau mau menjemput anak itu, kan? Ayo kita berbincang sambil jalan."
Rupanya Labotorium hanyalah bagian kecil dari lantai ini, ada ruangan lain di balik pintu kayu yang terletak di ujung Labotorium. Ruangan ini berlorong panjang dengan kamar bernomor urut di sisi kanan-kiri. Ini justru mengingatkanku dengan lorong rumah sakit.
"Kau nampak sudah dewasa, Dahlia. Lihatlah tinggimu sekarang, ukuranku seperti menyusut." Profesor membuka percakapan dengan hangat. Aku tertawa malu karena memang tinggiku tumbuh tidak kira-kira. seratus delapan puluh centimeter, membuat Profesor hanya setinggi bahuku sekarang. Entah kenapa julukan Yeti terlintas di pikirkanku.
"Anu..Profesor, aku ingin bertanya dengan kabar Saria."
Profesor Alphonso tertawa. "Tentu saja, maafkan aku yang asik sendiri. Fredrick mengirimnya ke kota Nirva untuk bersekolah keagamaan khusus perempuan, itu benar-benar membatasi komunikasinya dari dunia luar, tapi dia tetap menjadi Saria yang kau kenal."
"Empat belas lembar suratnya berisi omelan soal ajaran." Aku jadi ingat surat yang Saria berikan enam bulan yang lalu.
"Anak itu memiliki pemahaman unik yang tak terpaku, menelaah dan menyikapi kitab Genesis dengan kritis." Kami sampai di ujung lorong yang hanya merupakan tembok polos.
Aku ingin bertanya tetapi tangan Profesor Alphonso segera bergerak mengetuk-ngetuk dinding, membentuk sebuah pola sepasang sayap. Beberapa saat dinding polos itu bergetar, menampakkan garis panjang di tengah layaknya sebuah retakan. Perlahan bergerak, dua bagian dinding yang terbelah itu bergeser seperti pintu, menunjukan sebuah ruangan serba putih di baliknya. Di tengah ruangan itu terdapat sekat kaca tebal memisahkan ruangan meja lebar berpanel dan fasilitas kamar pasien.
"Dia mungkin tidak mau di ajak bicara." Profesor Alphonso segera duduk di depan meja berpanel. Aku mengekorinya untuk melihat lebih jelas sosok anak kecil yang tidur memunggungi kami.
"Bukankah ini berlebihan? Semua fasilitas ini?"
"Aku berpikir begitu, sampai anak itu menyembur dadaku dengan api." Profesor Alphonso menarik rompi dongkernya, menunjukan bekas luka bakar yang sudah mengering. "Kejadian itu membuat proyek ini hampir batal." Profesor Alphonso menekan tombol pada meja berpanel, membuat speaker besar di sudut dinding kamar berdengung.
"Gabriel, apa tubuhmu baik-baik saja? Ada kunjungan khusus untukmu."
Anak itu tak menggubris, masih tidur meringkuk. Profesor Alphonso menghela nafas, ia pun berdiri sembari mengenggam pistol kaca berukuran kecil yang ia ambil dari dalam sakunya.
"Alat apa itu?" Aku mengeggengam tangan Profesor Alphonso, mengehentikan langkahnya.
"Obat bius." Itu membuatku menarik tangannya.
"Bagaimana bisa membawa pulang anak kecil dengan cara seperti ini. Anak itu bukan hewan Profesor!" Aku menggeleng tak terima.
"Dahlia, mengertilah. Jika kecelakaan yang kualami terjadi lagi, bukan hanya kau yang terluka, anak itu akan ikut di eksekusi."
Udara dingin membekukan atmosfer, membuat tatapan kami beradu dengan pancaran pikiran masing-masing. "Kalau begitu kenapa projek ini di laksanakan sejak awal?"
"Kau mungkin menyelamatkannya dari pembantaian, tetapi tidak dengan tangan besi Kekaisaran. Magus di perlakukan layaknya iblis, di benci tanpa pembelaan dan alasan yang jelas. Pada akhirnya di bawah payung monarki ini kau hanya bisa memilih, menjadikannya kelinci percobaan atau di eksekusi."
Perkataan itu seperti tamparan keras di wajah, menyadarkan betapa naifnya diriku. "Saya akan bertanggung jawab, biarkan saya menemui anak itu."
"Kau siap dengan pertaruhannya? Kamera pengawas terpasang di setiap sudut di ruangan ini dan aku tak punya hak atas kendalinya." Iris Zamrud itu menatap serius, air muka pria berusia empat puluh tahun itu mencerminkan isi hatinya: takut, khawatir dan sedih
"Saya siap." Aku melepas tangan Profesor Alphonso, beranjak mendekati pintu besi di ujung sekat kaca, memasukan kunci yang di lemparkan Profesor sebelumnya. Darahku seketika naik keatas, memacu jantung seperti piston. Dengan langkah berhati-hati, aku memasuki kamar serba putih ini
Jarakku dengan ranjang anak itu sekitar enam meter, jarak pendek yang terasa begitu panjang dalam detik-detik berikutnya. Tak ada pergerakan yang mengancam darinya, seolah anak itu tertidur lelap. Langkahku akhirnya sampai tepat di dekat kaki ranjang, tanganku bersiap menyibak selimut putih miliknya.
Sampai sesuatu yang sangat cepat membekukan waktu. Dengan pistol bius yang entah di dapatkan dari mana, anak itu menodongkannya pada dahiku. "Serahkan kuncinya padaku!"
Gemetar hebat, tangan mungil anak itu tak mampu mengkordinasi arah pistolnya. Air mukanya ketakutan hendak menangis, iris cokelat gelap itu menggambarkan kekacuan dalam pikirannya. Pucat dengan nadi biru yang menjalar, anak itu terlalu ringkih untuk melawan.
"Turunkan senjata itu, aku datang dengan damai." Aku mengangkat tangan, jalan mundur perlahan.
"JANGAN BERGERAK!" Anak itu teriak histeris, membuat genggaman pistolnya berantakan.
"Tak ada kedamaian di sini! Kalian semua pembunuh!" Anak berambut hitam lurus itu turun dari ranjangnya.
"Dengarkan ak-"
"SERAHKAN KUNCINYA!"
Ini benar-benar buruk, anak itu di bawah kendali emosinya. Dan hal yang tak terduga benar-benar terjadi. Merasa ancamannya kurang serius, anak itu memasukan laras pistol kaca kemulutnya sendiri.
"Hentikan! Aku akan serahkan kuncinya tapi jangan tembak dirimu sendiri!" Aku merogoh kantung Blazer cokelatku, menarik kunci dan melemparkannya kelantai. Anak itu menarik pistolnya, berjalan untuk meraih kunci di lantai.
Kukira ini adalah bagian dari triknya, sampai aku sadar tubuhnya lunglai tak berdaya dan kemudian ambruk. Untungnya dengan kesempatan singkat itu, aku berhasil menangkap tubuhnya agar tidak menghantam lantai. Anak ini jauh dari kata baik, urat biru menjalar di dahi dan lehernya, sedangkan kulitnya pucat dingin. Kurus kering, tubuhnya ringan bagai bulu.
"Profesor! Panggil dokter, cepat!"
(***)
12 Juni 982, Negara Eden, Kota Heava.
Kamar Apartement.
Ini adalah pertama kalinya aku masak dengan serius-tidak hanya bermodal mie rebus dan sosis-sosisan atau lauk kalengan yang tinggal di hangatkan. Dan hasilnya adalah mahakarya yang rasanya tidak lebih dari tugas praktek memasak anak taman kanak-kanak-nasi goreng telur dengan toping cangkangnya. Aku merasa gagal sebagai seorang perempuan.
"Seharusnya aku membuat Sandwich saja." Kataku getir sembari menaruh mahakaryaku di atas meja makan. Aku tak berniat membuangnya, mungkin akan kumakan sendiri nanti. Aku mengambil beberapa bahan di dalam kulkas: Sosis, keju, tomat dan saus. Membawanya keatas meja.
BRUK!
Suara kencang itu mengalihkan seluruh perhatianku, mengarahkan pandangan pada ruangan sebelah. Bergegas mendekat dan menemukan pemandangan yang memilukan. Seorang anak kecil berpakaian pasien yang menyeret tubuhnya, berusaha menggapai pintu keluar.
"Gabriel, berhenti." Aku berkata lembut, segera menghampirinya, tetapi tanganku di tepis tangan pucatnya.
"Pergi..pergi..aku tak mau jadi kelinci percobaan kalian." Lemah tak berdaya, matanya memerah tanda lelah. Aku tak peduli, dengan mudahnya aku mengangkut tubuhnya selembut mungkin, mengabaikan perlawan lemah darinya.
Aku berjalan keruangan sebelah, kamar di mana Gabriel di rawat. Aku bisa melihat kekacauan yang ia perbuat, melihat dari selang infus yang bergelayut dan isinya yang berceceran.
"Bunuh aku...aku sudah tak kuat." Gabriel menyerah, ia memohon lemah padaku.
Aku tak mendengarkan, sibuk mengurusi semua kekacuan yang ia lakukan. Beberapa menit menata semua kembali seperti semula, termasuk memasang kembali infus di tangan kanannya. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sebelah ranjangnya-masih mengenakan apron putih.
"Bunuh aku.."
"Tak akan ada yang membunuhmu."
"Lalu kenapa kalian membunuh ibuku? Semuanya?"
Aku termangu, menunduk dalam tanpa bisa melawan. Gabriel hanya melirikku lemah, kemudian menangis sesunggukan.
"Apa kalian sebuta itu untuk melihat? Apa aku terlihat seperti iblis? Lantas kenapa aku merengek?" Gabriel gemetar hebat.
"APAKAH IBLIS BISA MENANGIS?!"
Jeritan itu pecah jadi sebuah tangisan isak yang melarutkan kesedihan dan keputusasaan, menjadi sebentuk perasaan memilukan yang hanya bisa di jelaskan oleh tangisan. Aku mematung seperti pengecut, seolah darah dalam nadiku membeku.
"Ibu..ibu.."
Ucapan lemah itu menghancurkan semua dinding palsu dalam lubuk hatiku, membawaku mendekapnya dalam pelukan erat. Air mataku mengalir, perasaan bersalah menjalar sampai krongkongan. Memori panjang penuh darah mengalir cepat di benaku, seperti film dua puluh empat jam yang di putar lima detik.
"Maaf...maafkan aku..." Tubuhku gemetar, tanganku bergerak mengusap-usap rambut hitam lurusnya.
Semua dinding kepalsuan yang mengobati rasa bersalahku rubuh tak tersisa, membiarkan penyesalan merasuk meremukan pikiran dan tubuhku. Menyisahkan raga yang gentar dan jiwa yang menjerit. Diriku kacau sekacaunya-kacaunya, menangis sekencang-kencangnya, membiarkan hati yang sempit ini merealisasikan perasaannya. Namun ada sebuah kontradiksi dalam benakku: Apakah seorang pembunuh layak untuk menangis?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro