Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

<11.Igni>

25 Juli 983.

"Kau bertanya pada orang yang salah." Aku berjalan mundur perlahan, menjaga jarak dari bilah yang membara itu.

"Jangan bergerak, atau kupenggal." Pria itu mengancam, mendekatkan pedang api itu kepangkal leherku.

Aku merintih kesakitan, kobaran api menjilat-jilat pangkal leherku dengan ganas. Aku bisa pastikan kulitku sudah gosong sempurna.

"K-kau tidak akan mendapatkan apapun dariku. K-kau s-seharusnya datang ke gedung dengan logo emas di pusat kota, a-ancam beberapa orang dan kau akan tahu jawabannya." Kataku gemetar menahan kulitku yang terbakar.

Pria berjubah itu tidak langsung menarik pedang apinya, ia menyelidikiku sebentar, memincingkan matanya dengan penuh kebencian." Kau tidak berbohong?"

"Kau bisa gorok leherku." Aku membalas serius tatapannya.

Pria berjubah itu menarik jauh-jauh pedang apinya, sontak aku berlutut lemas sembari memegangi leherku yang terbakar. Nafasku tersengal tak beraturan sementara keringat mengguyur seluruh tubuhku.

"Hai kau." Pria berjubah itu berseru.

Aku mendongak, dan sesuatu bergerak cepat menyayat leherku.

JRAS!!

"AGH!!"

Aku terkapar sembari memegangi kerongkonganku, berteriak kalang kabut dengan suara serak yang tak beraturan. Nyeri dari rasa bakar dan luka yang menganga lebar merambat ke kepalaku, merangsang otak untuk melahirkan rasa pening.

"Sesuai ucapanmu." Pria berjubah itu berkata dingin. Pria itu pergi, berjalan ke pintu keluar apartemenku.

Kalau dia bisa.

Aku mencekik kerongkonganku sendiri, menutup luka sesaat dengan cengkraman kuat. Kakiku yang gemetar kupakai berdiri. Aku bersiap dengan kuda-kuda seadanya, dan saat pria berjubah merah itu lengah, aku melompat meraih pinggangnya.

"Apa yang-"

BRUK!

Sebelum ia sadar apa yang terjadi, aku membanting tubuhnya ketanah, kemudian menindih punggungnya dengan tubuhku yang lebih besar. Pria itu melawan dengan tangan yang masih bergerak bebas, sayangnya tanganku dengan cekatan menguncinya.

Posisi kami seperti polisi yang meringkus maling, kebetulan tepat di halaman apartemenku. Pria itu berusaha memberontak, tenaganya cukup untuk membuatku tersentak kebelakang, tapi dengan cepat kedua tangannya kuambil alih. Kalau beradu kekuatan fisik denganku, pria ini jelas salah orang.

"Menyerah?!" Seruku serak.

"Dasar Setan Jalang! Apa-apan kau ini? Yeti!?" Pria itu berseru murka, tubuhnya tak henti-hentinya meronta. Selain tahan serangan fisik, kupingku sudah kebal dengan cemooh orang.

Aku beralih mengunci kedua tangannya dengan satu tangan, agar tanganku yang lain bisa mencekik luka di kerongkongan. Keadaanku juga terkunci saat ini, tidak memiliki apapun untuk memanggil bantuan selain kerongkonganku yang hampir putus

"Akh..sial." Suaraku benar-benar habis, tidak ada getaran di kerongkongan, hanya menyisakan darah yang bersimbah di tangan kanan.

"Kau, aku kenal kau." Pria berjubah merah itu berbicara lagi, iris abu-abunya menatapku dengan penuh kebencian.

"Kau menyerang desaku seperti hewan buas. Anak-anak, orangtua, wanita kau cincang dengan tanganmu yang mengerikan ini." Pria itu berkata pelan, tapi penuh dengan amarah yang terpendam. Tubuh besarnya begetar hebat, terutama di bagian tangannya.

Aku hanya bisa terdiam, karena memang hanya itu pilihannya saat ini. Seolah luka di pangkal leher belum cukup nyeri, benakku justru mengorek kenangan mengerikan yang telah lama bersembunyi.

"Kau apakan anak kecil itu? Kau jadikan hewan peliharaanmu, hah? Atau kau jadikan dia alat pemuas nafsumu?" Pria itu benar-benar geram, matanya melotot sampai ingin keluar.

"JAWAB AKU JALANG!"

Tanganku masih bertahan mengunci tubuhnya, tidak ada sepatah suara yang bisa kukeluarkan, membisu seperti seorang pengecut.

"JAWAB AK-"

Dia terdiam, tidak lagi meneriakiku.

Aku menunduk, sesuatu yang hangat mengalir dari mataku, jatuh menetes kewajah pria itu.

Dadaku sesak hendak tamat, tubuhku gemetar meski masi menahan tubuhnya.

Hening malam jadi saksi bisu di antara kami, waktu seolah berhenti menikmati penyesalanku, berpihak pada mereka yang kubunuh. Maafku tentu saja seperti sebuah ejekan pada situasi saat ini, mungkin hanya pengecut yang berani mengatakannya.

Saking pengecutnya, aku mengatakannya tanpa suara.

"M-ma-af." Suaraku menguap di telan takut.

Pria itu terpaku sejenak, tersadar bahwa ada sesuatu yang aku lupakan. "Setan tidak bisa menangis."

JRAS!

Aku lengah, sebuah pisau api melesat kebahuku, menghujam sampai tembus ke tulang belikat. Pisau api tercipta dari kedua tangannya yang cengkram, melesat cepat untuk membuat tanganku melepaskan cengkraman.

BUAGH!

Sikut pria itu menghantam wajahku, kemudian bogem lain menyusul meremukkan rahang. Aku terlempar mundur, tersungkur dengan semua luka yang diterima.

"aer, calor, ignis, gladius."

FLOAR

Sekelebat lidah api tercipta dari udara kosong. Pria berjubah menggapai api itu, kemudian mengayunkannya seperti sebilah pedang-tidak, api itu sudah menjadi pedang itu sendiri.

Ancaman di depan mata dan langkah pertamaku menghadapinya adalah lari kedalam kamar apartemen. Dengan tergesa-gesa aku mengeduk isi laci makeup yang berantakan, membuang sembarang beberapa bedak dan pelembap bibir ke lantai.

"Ketemu!" Peraga bibirku. Aku mengangkat tinggi-tinggi handphone keyped keluaran lama dari dalam laci.

Buru-buru menekan tombol bintang pada keypad, dan saat bunyi 'tuuut' panjang terdengar, aku dengan senang hati melempar handphone di genggaman tepat kewajah pria bertudung itu.

BUAGH!

Telak! Handphone beton itu bercium mesra dengan wajah pria berjubah. Pria itu memegangi wajahnya sembari kumat-kamit menyumpahiku dengan bahasa yang tak kumengerti. Kupikir ini kesempatan, jadi tanganku meraih meja makeup dan menghempaskannya sekuat mungkin kearahnya.

Krak!

Dan seperti yang kuduga, pria itu mebelahnya dengan presisi. Serangan belum berakhir, tadi hanya sebuah permulaan.

Aku muncul dari balik meja yang tebelah, menerobos masuk di antara celah dengan bogem mentah.

BUAGH!

Sebelum pria itu terkejut, tubuhnya sudah terseret beberapa meter. Seranganku berlanjut, langkah kakiku berderap masuk, tangan kiriku meraih pergelangan tangannya yang mengenggam pedang api.

"JALANG SETAN!"

BUAGH!

Dengkul kokohnya menghantam perutku telak, cukup untuk membuatku muntah darah, tapi sampai situ saja. Tinjuku yang tersisa merangsek bebas, menghantam telak wajah pria itu.

BUAGH!

Wajahnya tersentak, tudung yang menutupinya terhempas, menampakkan padaku wajah seorang pria berambut cepak.

Tinjuku belum berhenti, beberapa bogem mentah menyerbu perutnya.

BUAGH! BUAGH! BUAGH!

GRAP!

Entah di tinju yang keberepa, pria itu berhasil meraih tanganku. Aku memberontak hendak melepaskan, tapi rasanya sia-sia, seperti tanganku di cor kedalam tembok bangunan.

Akhirnya yang bisa kami lakukan hanya saling tatap, menukar pandangan penuh kebencian kami masing-masing. Pria berambut cepak itu melotot kearahku, seolah ingin membunuh dengan Iris abu-abunya. Ia meremukkan tinjuku, mencengkramnya kuat seperti orang kesetanan.

Pria itu mendekat, sangat dekat sampai hidung kami saling bersentuhan.

"Iris merah itu, iris yang sama saat menyeret ibuku."

Aku menarik nafas tegang, menggeleng pelan menolak pikiranku mengorek memori.

"Apa kau ingat kemana kau menyeret ibuku?"

Nafasku tersengal, aku tak mau bilang walau kerongkonganku sudah kembali.

"KAU INGAT TIDAK BANGSAT!!"

BUAGH! KRAK!

Kepala besarnya menghantam keras dahiku, cukup untuk membuat pening merasuk sepenuhnya kedalam kepala. Genggamanku lepas, kakiku sendiri tidak kuasa menahan keseimbangan, dengan lemah berlutut dihadapannya.

"Kau menyeretnya! Kau menyeretnya ke segerombolan tentara itu!" Pria itu berteriak murka, kaki kirinya berayun kencang menghantam leherku.

"Dan kau hanya diam berdiri! Saat mereka memperkosanya!" Tendangan lain menyerbu rahang, telak sampai membuatku terkapar tak berdaya.

Pria itu tersengal-sengal, sama denganku yang sudah tinggal pasrah di lantai. Aku tak bisa melihatnya sama sekali, hanya bisa mendengar suaranya yang mencaci-maki dengan bahasa yang tak kumengerti.

Sebuah tangan besar menyeretku bangun dengan kasar. Tangan itu menarik paksa rambut putihku agar aku mau duduk. Di hadapanku, pria dengan wajah mengerikan itu bertanya serius.

"Kenapa kau tidak menghentikan mereka? Atau kau memang benar-benar jalang?"

Aku terdiam, tak bisa menjawab apapun. Seluruh fungsi tubuhku yang berfungsi menceritakan isi pikiran berhenti, bahkan pikiranku sudah berhenti untuk mengingat.

"Hei, apa kau juga pemuas nafsu mereka?"

Air mataku mengalir dengan mulut membisu. Aku yakin aku tanpa ekspresi, aku yakin wajahku kaku. Ingantanku saja sudah rancu, aku tak yakin kenapa menangis sekarang.

Pria itu tak berkata-kata lagi. Ia berdiri di hadapanku, mengibaskan pedang apinya.

Seolah tidak peduli dengan kematian, tubuhku membeku tanpa alasan. Hening merasuki telinga, kegelapan mewarnai kesadaran, ketakutan mencelus kedalam hatiku.

JRAS!

Dan yang kusaksikan terakhir dalam pengelihatan yang kabur; Semburan darah merah yang meriah. Entah itu darahku, atau darah milik pria itu.

BRUK!

(***)

Third POV

Sekian detik sebelum Igni menebas.

BUM!

Dari langit-langit apartemen sesuatu melesat masuk, mendobrak atap apartemen sampai roboh. Igni tak sempat mencerna apa yang terjadi sampai di detik sebuah tombak besi menghujam tepat kebagian dadanya.

JRAS!!

Sesosok kesatria perak bersayap melayang di hadapan Igni, menghujam dalam tombak besi di genggamannya. Darah bersimbah di lantai kayu, ringisan Igni mengisi atmosfer langit berbintang. Cahaya rembulan dari lubang atap menyoroti mereka, bak lampu sorot di atas panggung pertunjukan.

"Sayap?Ha-halo?" Igni kebingungan dengan kenampakan malaikat di hadapannya. "Bajingan! Apa-apan kau ini!?"

"Walau kujelaskan pun, monyet sepertimu tidak akan mengerti." Kesatria perak itu menjawab dingin.

JRAS!

"ARGH!!"

Tombak besi menembus dada Igni, nyawa pria itu di ujung tanduk. Dengan usaha terakhir, Igni menghujam pedang apinya tepat ke kepala kesatria perak itu

Tang!

Memantul seperti kerikil, pedang api Igni hanya sebatas mainan anak-anak di hadapan zirah perak.

"Ada alasan kalian di panggil monyet!" Kesatria itu mencabut kasar tombak, sampai terlepas sepenuhnya dari dada Igni. Saat di detik terakhir Igni hendak terjatuh, kesatria Perak menyepak wajah Igni dengan telak, sampai tubuh Igni terpelanting ke pintu apartemen.

"Kalian seharusnya menerima berkah kaisar! Hidup kalian akan sejahtera! Tidak ada kemiskinan! Tak ada derita penyakit Biru di nadi kalian!" Kesatria Perak melayang sedikit di udara sembari membentangkan kedua tangan dan sayapnya. Sosok perak yang bermandikan cahaya rembulan itu bak aktor utama dalam moment ini, ia yang menguasai panggung pertunjukan, berlaga dengan megah di atas dua orang yang tersungkur menyedihkan.

"K-kami bahkan t-tidak ingin sihir ini dalam nadi kami." Igni berbicara tertatih-tatih, bangkit perlahan sembari mencengkram erat luka di dadanya. "Berkah?! Satu-satunya yang di tinggalkan kaisarmu itu hanyalah ide cabul!"

Igni melantuntkan mantra, menyalakan api di dadanya yang bersimbah darah, menutup luka dengan membakarnya. "Dia adalah setan! Setan yang menjadikan desa kami kandang kalian beranak Pinak! Melahirkan bayi cacat dengan nadi biru di sekujur tubuhnya! Memberikan kami kutukan antah berantah dari bangsa kalian!"

Kesatria perak itu turun dengan anggun, menapak lantai kayu dengan sempurna. "Kesia-siaan berbicara dengan monyet sepertimu."

Mereka berdua saling berhadapan, menyiapkan kuda-kuda terbaik mereka untuk saling menyerang. Igni melantunkan mantra, mengacungkan tangannya kedepan.

"Aer, calor, ignis, solidus, glans!"

Butir-butir api menyebar beberapa saat di udara, kemudian saat Igni mengibaskan tangan, butiran kecil itu melesat menyerbu Kesatria perak.

TANG!TANG!TANG!

Serangan sempurna tertahan, butiran membara itu menempel di sekujur zirah. Kesatria perak sebenarnya bisa saja menerbangkan serangan tadi dengan kepakkan sayapnya, tapi ia cukup sombong untuk menerima itu semua.

"Explodere!!"

BLAR!!

Ledakan besar mengacaukan seisi apartemen kecil ini, menghempaskan semua di jaraknya. Tembok, barang-barang, bahkan sampai Dahlia yang tak sadarkan diri. Dentuman merobek hening malam bersamaan dengan asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa. Dari dalam kekacauan itu, sesosok kesatria perak muncul, berjalan gagah dengan zirah tanpa goresan.

TANG!

Tebasan pedang api memburu lehernya, tapi dengan cepat Kesatria perak menangkis dengan batang tombaknya. Tebasan lain menyusul dan tangkisan berbunyi lagi. Mereka menjual beli serangan, menukar suara dentingan yang melengking, mengadu ayunan dan tebasan.

Igni kentara mengincar kepala kesatria itu, terus mengirim tebasan brutal tanpa jeda. Dengan sikap tenangnya, kesatria itu meladeni semua serangan dengan mudah, menutup semua celah seolah bisa memprediksinya.

TANG!

Satu tebasan horizontal mendarat di kepala kesatria itu, meski tidak menimbulkan perlawanan yang berarti Igni tertawa girang menyaksikannya.

"Kau tidak melukaiku bodoh." Kesatria itu mengejek.

"Oh ya?"

JRASS!

Sebilah pisau api menghujam celah zirah Kesatria itu, tepatnya celah di bagian pinggang. Darah segar menyembur keluar, bersimbah menodai zirah perak.

Belum sempat melawan, mata pedang menghujam bahu Kesatria perak, menembus masuk dari celah pergelangan bahu. Igni tertawa girang, mengeduk-ngeduk luka dengan mata pedang.

Kesatria perak berteriak kesakitan, dengkulnya dengan cekatan menghantam perut Igni, mendorong jauh Pria berjubah itu dari hadapannya.

"Bajingan! Monyet berengsek!" Sifat tenangnya Sirna entah kemana, malaikat itu sudah murka. Dengan susah payah ia mencabut pisau api di pinggangnya, mulutnya komat-kamit menyumpahi.

Igni yang keadaannya lebih baik bersiap untuk menyerang lagi, sampai hujan tiba-tiba turun mengguyur, memadamkan pedang api dan semangatnya. Kesatria perak mengepakkan sayap, terbang lima meter ke udara.

Ia membentangkan sayap dan kedua tangannya, melayang dengan khasnya di udara. Dan pada detik berikutnya, sebuah halilintar dari langit menyambar seluruh zirah Kesatria itu.

CTAR!

Insting bertahan hidup Igni aktif pada detik berikutnya, memaksa kakinya untuk berlari menjauh saat Kesatria perak itu mengangkat tombak perak yang berselimutkan petir ungu. Bau gosong mengudara di atmosfer. Derapan langkah kaki Igni hanya bisa mencapai halaman apartement. Dalam satu detik yang singkat itu, tombak perak melesat memburu monyet yang lari ketakutan.

JRAS!

Tombak telak menusuk bahu Igni.

CTAR! BUM!

Dan pada kedipan berikutnya, kilat ungu menyambar seluruh tubuh Pria itu. Merobohkan tubuhnya keatas tanah.

Malaikat itu mendarat dari langit, berjalan mendekati seonggok monyet yang barusan ia pangang.

Kesatria perak itu berhenti di depan tubuh gosong Igni. Ia berlutut, membalik tubuh Igni untuk memastikan.

"concussa!"

Igni menjulurkan lidah, memamerkan kelereng membara yang menempel di pangkal lidahnya.

BUM!

Ledakan hebat menghempaskan segalanya, asap hitam mengepul memenuhi sekitar. Kesatria perak yang masih mampu bertahan menerobos masuk kepulan asap, mencoba menggapai Igni.

Sayang ini bukan hari keberuntungannya. Kesatria Perak tidak menemukan apapun, monyet berjubah itu sudah kabur entah kemana. Yang tersisa sekarang hanya rasa kesal di dada dan kepalanya.

"Monyet sialan!!!"

(***)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro