<1.>Anomali
28 Juli 978
Menang jadi arang kalah jadi abu, kemenangan perang tetap membawa penderitaan. Warga kota Alf di pindahkan ke ibu kota negara Eden, Heava, untuk menghindari gelombang kejut dari ledakan karpet bom yang menyapu segalanya.
Orang-orang kehilangan segalanya. Harta, nyawa, orang yang mereka cintai. Menyisahkan luka sambil merenung di bawah tenda kumuh kamp pengusian.
"Ini bukanlah akhir yang kuharapkan." Aku menatap bayangan diriku di atas genangan air. Melihat wajah murung seorang gadis remaja beriris merah darah dengan rambut putih panjang terurai.
"Semua tak sesuai harapan." Richard keluar dari tenda, memberikanku selembar koran.
"Sebelas hari, mereka mungkin sudah menelantarkan kita di sini. Hanya tinggal menghitung hari tempat ini menjadi neraka." Richard duduk di sampingku.
Aku membaca Headline pada lembar pertama, menunjukan pesta besar dengan orang-orang yang tertawa gembira. "Pertarungan tiga puluh tahun, akhirnya kota Alf di merdekakan! Aksi heroik pasukan kekaisaran."
"Tamaknya manusia." Richard memberikanku secangkir kopi, aku menolaknya dan kembali merenung, tetapi kini menatap para pengcangkar langit di depan sana.
"Bagaimana dengan ibunya Saria?" Aku bertanya pada pemuda beriris hitam legam itu.
"Semakin parah, Profesor Alphonso hanya bisa meredakan penyakitnya."
"Kalian, cepatlah sarapan karena roti yang kamp punya menipis."
Saria muncul dari balik tirai tenda, kentara mukanya kacau dengan kantung mata yang mebengkak hitam. Aku dan Richard menurut, beranjak masuk kedalam tenda.
Alas tikar dan lampu gantung remang, menaungi atmosfer suram dari orang-orang yang tidak punya harapan. Merenung dengan luka mental dan fisik, menanti tangan besi di ulurkan kepada kami.
Kami menelusuri menuju ujung tenda, melewati orang-orang terbaring yang terkena penyakit endemik. Raungan, tangisan, jeritan histeris, tak pernah meredup sejak seminggu yang lalu.
"Saria, aku melihat wanita itu lagi."
Seorang wanita paruh baya berbicara lemah, ia terduduk kaku di atas sebuah kursi kayu. Iris cokelatnya menatap kosong di balik poni rambut kusut yang ubanan. Baju kumuh dan rok panjang rombeng, wanita itu adalah ibu Saria.
"Akan aku tuliskan nanti, ibu sebaiknya tidur saja." Saria kembali setelah mengabil sekantong impus dari kotak persediaan.
"Kau harus menulisnya sekarang." beliau masih berkata lemah. "Aku juga pernah bertemu dengan pria itu lagi, ia berkata bahwa surga itu tak akan pernah ada."
Saria tak mendengarkan, lanjut mengganti infus. Aku akhirnya inisiatif mengambil buku dan pulpen, menulis semua yang di katakan ibu Saria.
"Kau tidak mendengarkanku?! Tulis semua yang kukatakan!" Wanita itu membentak dan meronta sampai membuatnya terjengkal jatuh ke tanah.
"SURGA TAK AKAN PERNAH ADA!!"
"Richard obat biusnya!" Saria mengulurkan tangannya.
"Tapi Saria! Ini sudah ke tiga kalinya hari ini!" Richard nampak ragu.
"Cepat!" Saria memaksa.
Richard mengambil suntikan dari saku, memberikannya kepada Saria. Dengan cekatan Saria menyuntikan benda itu ke leher wanita paruh baya itu, seketika menghentikan gerakannya, membuat tubuh wanta itu jatuh ke tanah.
"Maafkan aku ibu, aku hanya tak ingin ibu melukai diri sendiri."
Saria mengangkat kursi yang terjungkal, membenarkan tiang infus kemudian membersihkan air liur yang mengalir di mulut ibunya.
"Seharusnya Profesor membawa obat peredanya juga." Richard menghela nafas.
"Profesor datang tadi?" Aku meliriknya.
"Hanya menitipkan obat bius padaku, tapi profesor bilang akan datang lagi nanti."
"Kapa-"
Seseorang menyikutku dengan kasar, membuatku refleks menoleh dan menemukan tiga orang dengan jubah putih. Anehnya, dua diantara mereka menggunakan topeng putih dengan gambar sepasang sayap hitam.
"Bukannya kalian bilang besok?" Saria berkata dingin, menatap rombongan.
Ketegangan merasuki atmosfer, tatapan mereka beradu saling mengirim rasa tidak suka.
"Profesor mengizinkanku, kurasa alasan itu sudah cukup." Seorang pria yang tak menggunakan topeng itu tersenyum.
Wajahnya memiliki keriput di sana-sini tetapi tatapan tajamnya membuktikan ia bukan orang tua biasa. Mungkin usianya sekitar lima puluh tahun, menelisik dari warna rambut hitamnya yang setengah memutih.
"Siapa kau? Aku tak pernah melihat orang sepertimu di rumah ibadah."
Pria itu berdeham pelan. "Maafkan kelancangan saya. Saya adalah Fredrick George, pemuka agama dari rumah ibadah Heava. Atas perizinan Profesor Alphonso, saya di tugaskan membawa pasien Hana Maria."
"Pasien? Bukannya banyak orang penyakitan di sini?" Aku menyeletuk, merebut pandangan dingin dari iris laut pria itu.
"Kami bukan tim sukarelawan nak, bukan pekerjaan kami untuk mengurusi orang-orang di sini."
Itu cukup menyulut amarahku, dengan ringan membuang kami seperti sampah, meski aku tak pernah berharap pada mereka.
Richard memegang erat tanganku yang mengepal. "Semoga anda tidak lupa bahwa kami belum jadi mayat." Richard menambahkan.
Celakanya kami yang pelupa, lupa dengan siapa kami berbicara. Jelas iris dingin itu menatap kami dalam, sedalam laut di matanya.
"Fredrick, kau tak bisa seenaknya masuk tenda pengungsian." Seorang pria muncul di belakang kami.
Pria yang menggunakan jas putih dengan setelan kasual di baliknya. Iris zamrud khas itu mengancam lawan bicaranya, kentara tidak suka.
"Maafkan kelancanganku Profesor, aku hanya ingin mengutamakan keselamatan pasien, kudengar kondisi beliau sudah parah."
Rombongan aneh itu memutuskan pergi, meninggalkan kami dengan tatapan mengancam padaku. Profesor menghela nafas berat, menepuk pelan kepalaku dan Richard.
"Abaikan semua yang ia bicarakan, orang aneh itu memang menyebalkan." Pria berambut hitam itu melangkah menuju Saria. "Biar aku bopong ibumu."
Saria menahan langkah profesor, bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu. "Me-mereka, bisa di percaya?"
Profesor berlutut di hadapan Saria, membelai pelan kepalanya. "Aku menjamin itu, ibumu akan ada di tempat yang lebih baik."
Saria menangis, terduduk lemas di lantai. "Bagaimanapun juga, ibu adalah satu-satunya yang kumiliki."
Aku merapat kearah mereka berdua, di susul Richard di belakang. Aku memeluk bahu Saria pelan, merengkuh tubuhnya yang gemetar hebat.
"Kau masih memiliki kami, kau tak akan sendirian." Richard tersenyum tulus, berhasil membuat Saria mendongak untuk menatap kami berdua.
"Kalian adalah miliku selamanya." Saria merengkuh pelan leher kami berdua, membuat kami bertiga saling berpelukan.
Larut dalam tangisan Saria, benaku teringat tentang apa yang ayahku pernah katakan kalau suatu hari aku kehilangannya.
"Hiduplah untuk dirimu sendiri di dunia yang kejam ini."
Kalau kupikir lagi, aku tak akan pernah bisa hidup untuk menjadi seperti itu lagi. Kehidupan damai yang di dambakanku, bukanlah tentang keseharian tanpa penderitaan lagi.
"Saria, tidak baik mengganggu perkerjaan Profesor, bisakah kau melepaskanku?" Perlahan rengkuhannya semakin kuat.
Saria melepasnya, membuat aku dan Richard tertawa renyah. Profesor sudah membopong ibu Saria di punggungnya, wajahnya mengisyaratkan kami untuk mengikutnya.
"Kalian bertiga ikut aku."
Kami mengekori Profesor sampai keluar kamp. Di dekat gerbang masuk, sebuah mobil hitam menunggu kami dengan beberapa orang berjubah yang memakai topeng bermotif sepasang sayap.
"Fredrick, cobalah lebih ramah pada anaknya, jangan membuat seolah kau merebut ibunya." Profesor berkata santai namun jelas serius.
Pria itu masih menatapku, tapi kemudian kembali pada Profesor. "Maafkan aku, dosa besar yang di tanggung pada setiap pundak kami membuat lisan ini menyampaikan kekhawatiran." Fredrick berlutut di hadapan Saria, memberikan secarik kertas. "Saya akui kami memang aneh, tapi nak, niat tulus kami nyata adanya. Ini adalah nomor pribadiku, kau bisa langsung menanyakan kondisi ibumu setiap harinya."
Saria nampak sedikit takut tetapi tidak menolak kertas itu. "Anda memang aneh."
Fredrick tertawa pelan, membuatku sadar bahwa wajahnya bisa berubah ramah. Kupikir, dia memang orang yang jujur apa adanya.
"Dan untuk kedua anak yang tadi, kalian menyadarkanku atas dosa yang kutinggalkan. Terimakasih, sore nanti kekaisaran akan memindahkan semua orang kamp pengungsian ke pemukiman dekat kota."
Pria itu masih menatap tajam, aku tak mengerti kenapa dia selalu melihat sepeti itu padaku. Ia memutar balik, memberikan lambaian tangan dan masuk kedalam mobil.
Melaju kencang, kendaraan berwarna hitam itu hanya tersisa titik di kejauhan dan kemudian menghilang di telan cakrawala.
"Meski kepala rumah ibadah mempunyai kuasa atas seluruh rumah ibadah di dalam negeri, dana yang mereka miliki tak cukup menangani lebih dari setengah jumlah korban. Kalian sebaiknya minta maaf pada Fredrick lain kali." Profesor Alphonso berbalik kearah kamp.
Aku dan Richard saling tatap, kami sama-sama merasa bersalah. Menggaruk pelan tengkuk kami yang tidak gatal.
"Dahlia dan Richard ikuti aku." Profesor Alphonso memberi isyarat
Aku menoleh kearah Saria, tetapi dia menyuruhku untuk pergi. Akhirnya kami bertiga saling menukar tepukan 'tos persahabatan'.
"Anda bilang mau membicarkaam sesuatu tadi pagi, apakah sekarang kita akan membicarakan itu?" Richard bertanya sembari menjajari langkah Profesor.
"Tunggu sampai di dalam, seseorang menunggu kalian di sana."
Aku tak bisa menebak siapa yang menunggu kami, mengingat sekarang aku jadi gelandangan tak jelas. Richard? Dia adalah anak bangsawan, jadi masih ada jalan untuknya pulang.
"Kalian nampak sehat, Dahlia, Richard."
Pria penuh perban itu duduk di hadapan kami, membuatku dan Richard terpaku mati kutu. Pria berusia empat puluh tahun dengan gaya rambut cokelat ikal, juga iris hitam legam yang sering kulihat.
Komandan Charles tersenyum tipis meski luka yang di balut perban belum mengering. Kondisinya benar-benar kacau, beliau seperti mumi dengan rambut. Luka bakar terlihat jelas dari sela-sela perban, menyebar hampir keseluruh wajah.
Richard seperti terkena kejutan listrik, gemetar hebat dengan air mata yang mengalir. "Bagaimana, bagaimana bisa."
Ia berlari pelan, berlutut lemas di hadapan ayahnya, menangis hebat sembari mencengkram celana ayahnya. "Syukurlah! Syukurlah!"
"Aku tidak mengerti, bagaimana caranya anda."
Logikaku di dongkrak seketika, membuat benak berpikir sekian banyak kemungkinan, tetapi tak ada satu pun yang kutemukan.
"Dahlia."
BRUK!!
Komandan Charles mencoba berdiri, tetapi akhirnya jatuh berlutut. Ia berteriak kencang, menangis seperti anak kecil dan tangannya yang di perban di pukul-pukul ke permukaan tanah.
"Maafkan aku Leonhart, maafkan aku."
Aku terbata. "Anda, ke-kenapa, kenapa dengan Ayah saya?" Aku berlutut di hadapannya.
"Dahlia." Komandan menggenggam kedua bahuku, mata hitam legam itu menelisik masuk kedalam pikiranku. "Ayahmu, dengan berkah tuhannya, ia menyelamatkanku."
"Bagaimana, ca-caranya. Tunggu, kenapa dia melakukannya." Aku tak mengerti, orang yang mengajarkanku untuk menjadi egois menyelamatkan nyawa seseorang.
"Aku mengerti, Ayah selalu mengajarkanku soal itu, karena itu jangan khawatirkan aku lagi."
"Kau tak mengerti Dahlia, kita adalah budak dari dunia ini, maka dari itu hiduplah demi dirimu sendiri, hiduplah karena keputusanmu sendiri."
"Hiduplah demi dirimu sendiri di dunia yang kejam ini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro