Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Big Cupid

Setelah menelepon Albert untuk membatalkan mengurus Ducky Duck, Gendhis mengeringkan rambut. Sebelumnya ia mengulas skin care di wajah eksotisnya. Setidaknya walaupun berkulit cokelat, ia ingin kulitnya sehat dan lembab. Toner, serum antiaging, pelembab dan sun screen menjadi ritualnya setelah mandi. 

Berhubung hari itu hari Minggu ia mengoleskan sedikit riasan dengan bb cushion warna natural ditambah sapuan sedikit bedak tabur. Ia juga menggambar garis di tepi mata untuk mempertegas mata beloknya. Pulasan eye shadow, maskara, dan blush on membuat wajahnya terlihat cerah.

Lud masuk dengan berbalut handuk. Perut kotak-kotak itu selalu bisa membuat Gendhis berdecak kagum. Mereka bersitatap malu-malu, seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta.

Sementara Lud terpesona dengan wajah manis yang bisa membuat jantungnya bekerja ekstra keras.

"Ke gereja?" tanya Lud.

"Iya. Mumpung jam segini. Kita ke gereja Kota Baru ya. Aku udah siapin bajunya. Biar senada sama dressku," ujar Gendhis. "Oya, habis itu ambil Ducky Duck. Aku nggak enak ngerepotin Abe."

Lud mendengkus. "Jadi, semalam kamu kemana? Jangan bilang sama Abe?" Mata Lud memincing. 

Gendhis pun menceritakan sekilas apa yang terjadi. Mulai saat ia dimintai dokter Miranda, ketemu Mbah Roto, salah cabut, panggilan dosen sampai ia diskors dan ide Clary untuk mencari kasus pengganti sehingga Ducky Ducknya ngambek.

Sambil mengenakan baju, telinga Lud menangkap apa yang diucapkan Gendhis. Ia merutuki dirinya sendiri karena tak peka dengan sekelilingnya. Bahkan ia tak tahu bahwa istrinya mengalami masa sulit sama seperti dirinya.

"Sorry, Ndhis." Lud menghentikan aktivitasnya menggulung lengan kemeja biru keabu-abuan.

Gendhis bangkit. Ia menghampiri Lud dan membantu suaminya menggulung lengan kemeja. Sejak menjadi istri Lud, gadis itu senang mendandani suaminya seperti boneka Ken yang hidup. 

"Nggak apa-apa. Aku juga bingung. Mas Lud waktu itu cuek karena memendam semua sendiri." Mata Gendhis masih tertuju pada gerakan tangan yang kontras dengan kulit kuning Lud.

"Ndhis, kecerobohanmu harus kamu kurangi pelan-pelan. Kamu memilih bersekolah di bidang yang ada hubungannya dengan nyawa manusia," ujar Lud pelan. 

Suara berat yang menabuh gendang telinga Gendhis itu mampu menggetarkan kesadarannya. Selama ini ia memang ceroboh dan bersikap cuek. Emosi yang labil membuat semua berantakan.

Gendhis mendongak kemudian mengangguk sambil tersenyum. Bibir yang melengkung itu membuat manis wajah Gendhis. Seperti gulali yang ia Lud cecap.. 

Pantas saja Albert tergoda mencium Gendhis. Siapa yang tidak terpesona dengan senyum manis yang menggetarkan hati. Tawa renyah Gendhis dengan banyolan aneh dan sifatnya yang apa adanya, mendatangkan kehangatan bagi siapa pun yang dekat dengannya.

"Ndhis, kamu tahu … aku itu pengin cepet lulus biar bisa jadi pengacara. Nasib punya istri ceroboh yang jadi dokter gigi, makanya aku bersiap biar bisa jadi pembela kamu."

Seketika wajah Gendhis muram. Ia mencubit perut berotot Lud membuat lelaki itu terpekik. "Ndhis, lepas!"

"Motivasi yang mulia sekali, ya? Bukannya mendoakan kecerobohanku hilang malah berharap aku melakukan kecerobohan! Nyebelin!" 

Lud melepas cubitan mematikan Gendhis. Sambil meringis kesakitan, ia terkekeh mendapati reaksi Gendhis. Rupanya sang istri ingin terbebas dari kecerobohannya.

"Bercanda kali, Ndhis. Maksudku supaya aku bisa kerja dan nantinya bisa ngasih makan istri dan anak-anakku."

Mata bulat itu mengerjap. Ia mendongak menatap Lud. "Anak?"

"Kenapa?" Kedua alis Lud terangkat.

"Gimana punya anak enaena aja kagak." Bibir Gendhis semakin maju mempertontonkan ekspresi menggemaskan.

"Sabar. Besok kamu temanin aku konseling ya. Biar cepet sembuh."

Gendhis mengangguk.

***

Begitu selesai Misa di gereja Kota Baru, Gendhis dan Lud berjalan beriringan menuju parkiran yang letaknya agak jauh dari gedung gereja. Lud sengaja menggunakan mobil karena Gendhis menggunakan midi dress. Akan sangat repot bila menggunakan motor. Walau seolah tak perhatian, ia tak rela rok Gendhis tersingkap angin memperlihatkan paha berkulit eksotis saat membonceng.

Akhirnya Gendhis bisa bergelanyut manja di lengan kekar Lud tanpa diprotes. Entah kenapa, lelaki itu membiarkan sang istri menggandengnya erat. Lama-lama Lud sudah terbiasa dengan sikap Gendhis yang posesif dengannya. Setelah semua yang terjadi, Lud justru yang tidak rela terlepas dari sang istri.

Begitu Gendhis duduk di kabin depan, sebelah Lud, ia mengernyit karena arah mereka tidak menuju ke Kali Code.

"Mas, kok nggak ke Code. Ducky masih aku titipin ke warga sana loh?" ujar Gendhis mengingatkan.

"Kita mau kencan. Aku udah WA Jati. Suruh ke Code. Nanti kamu naik mobil dulu. Aku bawa Ducky-mu ke bengkel didorong sama Jati."

Gendhis mencebik. "Kok Mas Jati sih? Perasaan Mas apa-apa sama  Mas Jati."

Lud mengulum senyum. "Ndhis, jangan bilang kamu cemburu. Aku tuh masih doyan perempuan. Buktinya aku nikahin kamu.”

“Iya. Aku tahu, Mas.”

“Jati itu kaya Cupidnya kita. Kalau nggak ada Jati yang bikin undian nama kamu semua dan WA kamu buat nembak, nggak bakal kita jadian.”

“Apaaa? Yang nembak itu Mas Jati?” Mata Gendhis membelalak. 

“I-iya? Kenapa?” Dengan tanpa bersalah Lud balik bertanya pada Gendhis. Gadis itu meradang. Setelah gadis undian, ternyata yang mengirimkan pesan itu adalah Jati.

"Nggak! Kita tetep ke Code ngurusin Ducky! Ibarat kata punya anak, emak bapaknya enaena, anaknya dititipin orang!" 

Gendhis mendengkus. Hari Minggu cerahnya seketika mendung. Jati dianggap cupid? Gadis itu menggeleng tak percaya.  Memang Jati menggemaskan. Saking gemasnya Gendhis ingin mencabik-cabik sahabat suaminya karena lelaki berwajah Timur Tengah itu sepertinya selalu berada di antara mereka. 

Gadis itu berbalik, memilih tak mengindahkan Lud yang menyetir. Sementara Lud hanya mengernyit kebingungan dengan diamnya Gendhis.

Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di bantaran Kali Code dengan corak rumah yang meriah. Begitu Gendhis dan Lud turun dari kendaraan, Gendhis berjalan memutari badan mobil. Ia membuka pintu mobil di bagian sopir. 

“Ndhis, mau ke mana?” Lud meraih tangan Gendhis. Lud masih belum paham kenapa Gendhis marah-marah.

“Pulang! Urus Ducky-ku sama sahabat baik tersayangnya Mas Lud!”

***

Lud mendesah. Ia menunggu Ducky Duck sedang diperbaiki. Sepertinya bakat ngambek si Bebek Merah itu menurun dari tuannya.  Suara bising bengkel yang memperbaiki motor bahkan tak mampu membuyarkan kebingungan Lud.

“Kamu ngapain lagi, Lud? Bingung gitu?” Jati menyodorkan teh kotak dingin sambil duduk di sebelah Lud yang tatapannya kosong. 

“Aku heran sama Gendhis. Kenapa ya dia marah? Aku kan cuma bilang kamu berjasa karena mendekatkan kami sejak dari bikin undian sama pesan wa yang nembak itu?” Lud menelengkan kepala bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Baginya makhluk bernama perempuan dari dia kecil sampai sekarang selalu membingungkan. Kalau tidak cerewet, pasti diam yang tidak jelas, seolah para lelaki itu adalah cenayang yang bisa menerawang kedalaman hati mereka.

“Kamu bilang yang nembak pertama itu pesan yang aku ketik?” tanya Jati dengan suara meninggi diikuti anggukan Lud.

Jati menjitak kepala Lud untuk menyadarkan betapa tidak pekanya sahabat baiknya itu bila berhadapan dengan perempuan. Lud menggeram kesal.

 “Ya jelas dia marah! Lagian tipe Gendhis itu cewek bucin yang suka berimajinasi kek drakor-drakor gitu. Dia itu ngarep kamu itu jatuh cinta pada pandangan pertama sama kek dia. Makanya saat harapannya nggak seindah kenyataan, pastilah dia kecewa,” kata Jati berapi-api. Di depan Lud ia seolah seorang suhu cinta yang bisa memberi arahan lelaki tak peka itu.

Lud mengangguk-angguk paham. “Ngapain aku cerita itu ya? Nggak jelas banget!”

“Sejak kapan kamu jelas, Lud? Tuh obatin dulu belutnya, biar jelas kamu beneran cowok.”

Lud berdecak. Tapi memang benar perkataan Jati. Ia harus segera membangunkan belut yang terlelap.

Lewat tengah hari, Lud akhirnya pulang mengendarai Ducky Duck dengan penyesalan karena mengungkit hal yang seharusnya tidak perlu. Padahal seharusnya, ia ingin berkencan dengan Gendhis Minggu ini. Rencana itupun karena arahan sang psikiater yang menyarankan agar dia bisa mempunyai quality time berdua dengan Gendhis. Tapi ternyata ia justru menghabiskan hari Minggunya dengan Jati dengan sangat … sangatttt berkualitas karena mendapat wejangan panjang lebar.

“Lud … Lud! Gimana nggak dikira gay, kamu nempel sama Jati mulu!” Lud menggeleng-gelengkan kepala, prihatin dengan kondisinya.

Melihat mobil hatchback merah mereka sudah terparkir di parkiran apartemen, Lud tahu Gendhis pasti sudah datang. Ia berjalan cepat ke lantai tujuh, karena ingin segera meminta maaf pada sang istri atas ketidak pekaannya. 

Begitu membuka pintu, aroma harum masakan menyeruak di seluruh ruangan. Dari wanginya, Lud menebak Gendhis sedang menumis sayur.

“Ndhis!” sapa Lud.

“Udah pulang? Gimana kencannya sama Mas Jati?” sindir Gendhis tanpa menoleh ke arah Lud.

“Ya ampun, Ndhis. Beneran ya kamu!” Lud menghampiri dapur untuk melihat apa yang dilakukan Gendhis.

“Aku tuh kesel banget kalau inget cerita undian-undian itu. Mana ternyata yang ngasih pesan awal Mas Jati pula!” dengkus Gendhis. Tangannya masih mengaduk sayur kangkung untuk makan siang mereka. Mulut seksinya sudah mencang-mencong.

“Harusnya aku nggak cerita ya?” Lud menggaruk kepalanya.

Gendhis kembali mendesah. Lud Keandra ini memang tidak berpengalaman sekali dalam berelasi dengan gadis. Percuma saja Gendhis marah karena mungkin saja Lud tidak tahu kenapa dia marah.

“Kupikir kamu marah, terus pergi.”

“Aku nggak kaya Mas Lud yang suka pergi pas berantem,” jawab Gendhis ketus. Lud diingatkan peristiwa beberapa hari. Ia hanya meringis.

“Maaf ....”

“Aku pulang, karena aku nggak mau ngerepotin Mas Jati, sementara kita malah senang-senang. Sementara Mas ngurus si Ducky, mending aku ke pasar terus masak makan siang. Kita belum sarapan kan tadi?”

Lud mengerjap. Gadis cerobohnya itu ternyata mempunyai pemikiran yang dewasa. “Ndhis, maaf ya. Makasih udah menyayangi aku sejak awal.”

Senyum Gendhis tidak terlihat oleh Lud. Namun, entah kenapa hatinya berbunga. Dalam hati gadis itu berjanji akan memperbaiki diri agar tidak ceroboh. Yang jelas, ia harus bersabar dengan suami yang tak berpengalaman sama seperti dirinya.

💕Dee_ane💕💕

Mampir di kisah Clary furadantin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro