Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Bergelut Dengan Kalut

Gendhis hanya bisa menunduk saat Dokter Miranda memarahinya. Ia meremas paha, berusaha keras meredam emosi yang bergejolak di dada. Ada rasa cemas, takut, menyesal dan segenap perasaan lain.

"Dik, kasus ini akan saya laporkan ke dokter Moses. Biar beliau yang memberi keputusan."

Langkah Dokter Miranda yang menyentak lantai menggaung di seluruh ruang tunggu. Sekuat tenaga Gendhis menghela napas, untuk menetralisir perasaan tak nyamannya.

Mbah Roto yang tidak bisa mendengar jelas, paham telah terjadi sesuatu antara dokternya dengan Gendhis.

"Nduk, sabar ya. Orang sabar disayang Tuhan." Tepukan Mbah Roto di punggungnya meloloskan bulir bening dari kelopak mata Gendhis. Punggung Gendhis bergetar kuat. Ia takut kuliahnya akan gagal karena kecerobohannya.

***
Pagi ini Lud pulang setelah ia menginap di kos sahabatnya. Badannya lunglai karena ia semalam tidur berdua di ranjang sempit bersama Jati. Setelah melepas sepatu di pintu depan, Lud memandang berkeliling ruangan, dan menyimpulkan Gendhis pasti sudah berangkat. Ia bergegas ke dapur kecil untuk mengambil air minum. Saat melihat tumpukan obat kesuburan itu, kepala Lud menjadi pening. 

Entah kenapa akhir-akhir ini ia merasa tertekan. Ada banyak sekali yang ia pikirkan di dalam kepala. Semakin dipikir semakin kusut. Belum masalah yang lain tuntas, datang masalah baru. Gendhis berciuman dengan Albert.

Lud mengepalkan tangan kencang pada gagang pintu kulkas. Bayangan ciuman itu, serta pertengkaran hebatnya dengan Gendhis membuat hidup bahagia yang ia bayangkan setelah pernikahan sirna. Seandainya saja ia tidak berboncengan bersama Jati, ia yakin akan turun untuk menghajar Albert. Namun, ia tidak ingin semua orang menjadi tahu Gendhis berselingkuh bila ada keributan di depan apartemen. Ia memilih berlalu, sambil menatap  Albert yang tersenyum miring penuh kemenangan dari kaca spion.

Lud merasa salah dengan dirinya. Bagaimana bisa Gendhis menuduhnya Gay? Tapi memang orang-orang di sekitarnya selalu mengecap seperti itu. Lud memang dekat dengan Jati, tapi tidak sampai terlibat perasaan aneh. Bagi Lud, Jati adalah sahabat terbaiknya karena selalu menjadi teman berbagi rasa dan rahasia.

***
Sore itu Gendhis pulang dalam keadaan hati yang hancur. Permasalahan salah cabut itu dalam beberapa detik saja bisa tersebar luas di seluruh sudut fakultas. Gadis itu berharap saat pulang ia akan bertemu dengan Lud. Tapi, ternyata, ruangan kosong yang menyambutnya.

Gendhis tak bisa lagi menangis. Walau sesak dadanya, air matanya sudah kering karena terkuras di kampus tadi. Padahal ia ingjn bercerita pada Lud tentang apa yang ia alami.

Gendhis hanya bisa berjalan gontai. Ia duduk di sofa di depan televisi. Otaknya kusut. Pikirannya pun semrawut. 

Kenapa Lud harus pergi saat Gendhis menantang untuk membuktikan bahwa ia bukan gay? Kenapa Lud menghindar seolah tidak menginginkannya? Sekarang, saat Gendhis mengalami masalah pelik, Lud tak ada di sampingnya. Hidup cinta gadis itu tak seindah anggan. Kini cita-citanya pun terancam tinggal impian.

Alam seolah tahu suasana hati Gendhis yang mendung. Di luar hujan deras mengguyur. Pekikan guntur seolah ingin menyuarakan kepenatan gadis muda itu. Rintihan tertahan Gendhis teredam oleh gelegar guruh yang bersahutan. 

Isakan Gendhis masih tersisa. Ia merasa kualat. Inilah dosa akibat perselingkuhannya. Ya. Ini balasan karena ia mengkhianati janji sucinya, karena dicium oleh Albert.

Merogoh gawainya, Gendhis mencoba menelepon Lud. Beberapa kali sambungan barulah suara Lud terdengar. 

Bukannya menyapa renyah, tangis Gendhis justru pecah. Seolah Lud ada di sampingnya, Gendhis menangis sendiri ditemani suara Lud yang memanggil dirinya dengan kalut.

***
Di tempat lain Lud kebingungan. Mendengar tangis Gendhis, rasanya ia ingin pulang saat itu juga. Namun, hari ini ia mempunyai janji dengan psikiaternya. Menurut dokter andrologi yang kemarin didatanginya, disfungsi ereksi yang berakibat pada penurunan libidonya itu disebabkan karena tekanan yang dialami oleh Lud. 

Tak dipungkiri, Lud tertekan karena tuntutan dari keluarganya yang ingin ia segera menghamili Gendhis. Bukan Lud tidak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang suami, tetapi apa yang terjadi bila Gendhis tahu belutnya tidak bisa berdiri seperti ular cobra yang menari mendengar suara seruling. Membayangkan reaksi Gendhis saja sudah membuat Lud bergidik. Tak hanya itu, Lud juga stress karena ia harus menyelesaikan segera skripsinya agar bisa lulus dan bekerja. Tidak enak ia sudah menikah tapi masih diberi jatah dari orang tua dan mertua.

Mau tidak mau, akhirnya ia mengakui rahasianya kepada Jati dan sahabatnya itu membantu dengan menemani Lud pergi ke dokter androgen. Ada beberapa obat-obatan yang ia konsumsi. Lud tak tahu obat apa. Kata dokter yang bersikap gemulai itu, obat yang diberikan berfungsi meningkatkan peredaran darahnya ke organ kebanggaan. Namun, sepertinya obat itu tak banyak pengaruhnya.

Sebenarnya, Lud ingin jujur pada Gendhis. Namun, saat ia ingin jujur, lelaki itu justru mendapati hal yang mencabik hatinya. Lud yang merasa rendah diri karena tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang lelaki untuk memberikan kenikmatan duniawi pada seorang istri, dan menaburkan benih, harus berhadapan dengan kenyataan Gendhis berselingkuh di depan matanya.

“Ayo, Lud. Jadi nggak ditemani ke psikiater.” Lamunan Lud buyar mendengar seruan Jati.

Jati berdiri di depan kaca menyugar rambutnya, kemudian mengelus dagunya yang licin, sambil memcermati penampilannya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mengagumi wajahnya yang tak kalah dari Lud. Lelaki berdarah Arab itu terlihat kontras dengan Lud yang berwajah oriental.

Lud hanya duduk di bibir ranjang di kamar Jati. Pandangannya kosong, walau tertuju ke arah sahabatnya. Jati mengernyit melihat wajah kusut Lud.

“Jat, aku pulang aja deh. Masa iya, mau konseling seksual sama cowok. Aku udah dipikir gay sama Ndhis, bisa semakin runyam perkara.” Lud mendesah panjang. “Lagian, Ndhis nangis di apartemen. Dia pasti shock pas mikir suaminya nggak normal. Makanya dia cari cowok yang terkenal perkasa macam Albert.”

“Makanya Lud, tunjukkan keperkasaanmu. Lagian kamu nggak ngapa-ngapain dia. Setidaknya kasih dulu aja tanda kepemilikanmu di sana. Biar Gendhis nggak disambar orang!” Jati mulai memberikan saran aneh.

“Cincin kan udah jadi tanda Gendhis punyaku? Kurang apa lagi coba?” tanya Lud.

“Lud, Lud. Dasar ya, kamu itu jadi cowok nggak peka banget. Cewek itu butuh disayang-sayang. Ingin dimengerti. Dibelai-belai dengan kelembutan hingga dia melayang sampai ke langit ke tujuh,” kata Jati memulai kuliah pendeknya, disambut anggukan Lud yang percaya saja kata-kata Jati.

Lud akhirnya tetap mencoba menemui psikiater. Tetapi dokter spesialis kejiwaan itu justru meminta Lud datang bersama Gendhis. Itu artinya sudah saatnya Lud membuka kenyataan tentang keadaannya. Tentu saja lelaki itu galau. Bagaimana pun Lud adalah seorang lelaki. Mengakui tidak bisa ereksi, rasanya Lud ingin lenyap ditelan bumi. Lud malu, sekaligus takut apabila Gendhis tidak bisa menerima keadaannya.

***

Pagi ini Gendhis bangun dengan kepala yang pening. Tak hanya itu, badannya terasa kaku. Ketika ia membuka kelopak mata yang lengket, ia mendapati tangan dan kaki Lud melingkar di tubuhnya. Dalam hati Gendhis lega karena Lud pulang. Bahkan lelaki itu tidur memeluk tubuh mungilnya. Selama ini, Lud jarang tidur di kamar mereka. Ia sering ketiduran di sofa dengan berkas yang berantakan.

Mengetahui gerakan Gendhis melerai pelukannya, mata sipit Lud terbuka. Namun, lelaki itu justru mempererat rengkuhannya. Lud pun berinisiatif melakukan saran Jati. Ia mulai menindih Gendhis dengan siku yang menyangga badannya. Ia memandang wajah Gendhis yang kusut.

Perlahan-lahan, Lud memperpendek jarak antara mereka. Namun, Gendhis melengos. Suasana hatinya tak nyaman, karena teringat ia mendapat panggilan dari dosen bagian Prostodonsia. Saat ia melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan siang, mata lengket gadis itu terbuka lebar.

“Mas, aku telat! Aku mau berangkat pagi.” Gendhis mendorong Lud. Ia melompat dari tempat tidur meninggalkan lelaki itu melongo sendiri.

***
Gendhis berlari tergopoh menuju ruang dosen bagian Prostodonsia. Ia yakin akan dimarahi oleh dosennya karena kecerobohannya. Gadis itu tidak lagi peduli dengan pandangan iba dari semua makhluk yang ada di kampus itu. Bahkan cicak pun berdecak seolah ikut prihatin dengan nasib Gendhis.

Begitu sampai di depan ruang dosen, Gendhis mengatur napas dulu. Sambil menyisir rambut dengan jemarinya, ia merutuki diri karena semalam ia tidur terlalu larut karena menunggu Lud. Gadis itu menghela napas panjang, dan kemudian mengetuk pintu.

Seorang staf membukakan pintu. Wanita berusia empat puluh tahun itu tersenyum. “Dokter Moses dan Kepala Bagian sudah menunggu.”

Gendhis hanya mengangguk canggung, lalu melangkah masuk menuju ruang yang biasa dipakai untuk seminar penelitian. Peluh membasahi kening Gendhis seiring dengan detak yang semakin cepat. Wajahnya terasa panas dengan tengkuk meremang. Tenggorokannya masih saja terasa kering padahal berulang kali gadis itu menelan ludahnya sendiri.

Gendhis mengetuk pintu yang terbuka separuh. Saat masuk, di dalam sudah ada beberapa dosen senior yang memandang ke arahnya. Kesalahan pertama belum tuntas, kini ia sudah membuat kesalahan lain. 

Terlambat.

“Duduk!” Suara Dokter Moses membuat jantung Gendhis seperti ingin copot. 

Wajah dengan rona menguap itu menempatkan posisi di depan para dosen yang menatap dengan sengit. Gadis itu merasa hanya keberuntungan yang bisa menyelamatkannya. Karena kecerdasan pun tidak akan ada gunanya di sini.

“Gendhis Arum Sitha, semester enam.” Jantung Gendhis mulai berderap lebih cepat. Dadanya semakin sesak, saat Prof. Ridwan membuka suara. Pria yang sudah mempunyai sederet gelar yang melekat di namanya itu memperhatikan Gendhis dengan seksama. “Kamu dimintai tolong Dokter Miranda untuk menemani pasien project over denture. Dan parahnya, kamu tidak memperhatikan instruksinya?”

Gendhis hanya bisa mengangguk. Prof. Ridwan mendesah panjang. 

“Rujukan tertulis ada?”

“Se-setahu saya tidak dibawa pasien,” jawab Gendhis lirih.

“Mbak, kamu tahu kan gigi yang sudah dicabut itu akan dibuat untuk project gabungan Konservasi gigi dan Prostodonsia?”

Lagi Gendhis mengangguk. Lelaki berkacamata bulat yang memandang teman sejawatnya meminta pendapat yang sudah didiskusikan. Setelah mendapat anggukan, Prof. Ridwan mulai bicara. “Karena kelalaianmu, project ini gagal total. Saya juga mendapat laporan bahwa kamu sering kali berlaku ceroboh saat skill lab ataupun praktikum.”

Gendhis memejamkan mata erat. Ia mengepalkan tangan dengan kuat. Bila kecerobohan yang disinggung, ia tidak bisa berkelit. 

"Maaf, Prof. Saya salah." Gendhis hanya bisa pasrah. Mulutnya tidak memberi pembelaan sama sekali. Ia takut justru semua akan bertambah parah. 

“Dokter Miranda sudah mendapat hukuman karena tidak memberikan informasi dengan lengkap. Seharusnya bila pasien lupa rujukannya, dia tetap memberikan rujukan tertulis. Beruntung Mbah Roto tidak komplain, kalau sampai protes kan bisa ramai urusannya,” ujar Prof. Ridwan lagi.

Dehaman Prof. Ridwan memecah kesunyian. Ketegangan semakin memuncak karena Gendhis yakin setelah ini vonis akan dijatuhkan.

“Gendhis Arum Sitha, kamu diskors tidak bisa mengikuti blok pertama semester ini!”

***

Begitu keluar dari ruang dosen, tubuh Gendhis terasa lunglai. Seolah tulang sudah tercabut dari raganya. Gendhis ingin ke rumah Clary, tapi dia tidak enak karena Clary sedang repot mengurus Tante Suwi. 

"Cla ...." Gendhis menyapa lirih

"Ndhis? Kamu kenapa?" balas Clary

"Clary, kamu di mana?" Gendhis berhenti sebentar di sudut lorong lantai dua. Tempat itu sepi, sehingga ia bisa menangis dengan lelauasa tanpa perlu malu dengan orang yang lewat.

" Di rumah. Baru bikin kue." Sesuai dugaannya, Clary pasti sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sang mama tiri.

"Aku pengin cerita. Ganggu nggak?" Air mata Gendhis sudah mulai gugur.

“Enggak pa-pa. Aku speakerin ya? Aku mau cetak nastar.”

"Aku ... aku ... diskors, Cla." Kali ini Gendhis tidak bisa menahan tangisnya. Rasa sesak di dada meronta-ronta ingin keluar.

"Loh, kenapa? Kamu bikin salah?"

"Iya. Gara-gara aku, proyek dosenku gagal total. Aku harus gimana bilang Papa? Padahal aku udah janji, setelah nikah kuliahku nggak bakal terganggu." Gendhis tak henti-hentinya menyeka matanya yang bengkak.

"Dosen gagal? Papa kamu marah karena dosen gagal?"

Gendhis mendesah. Dia tahu Clary pasti tak paham apa yang ia alami. Namun, ia lebih baik bercerita pada Clary dari pada dengan Albert. Setelah kejadian dua hari lalu, Gendhis sengaja menjaga jarak dari Albert.

"Kamu dengerin aja, Cla. Nggak usah nanggepin."

"Oh, oke,” jawab Clary dengan latar suara mixer yang berputar.

Gendhis pun bercerita dari awal hingga akhir sambil terisak-isak. Entah Clary paham atau tidak, dia butuh orang yang mendengarkan.

“Ya mau gimana lagi, Ndhis, namanya udah terlanjur. Kalau salah, minta maaf aja. Atau kamu gantiin giginya Mbah Roto.” Clary bingung sendiri. Apa gigi bisa diganti?

Kali ini Gendhis merasa si Lola Clary lebih cerdas darinya. Matanya mengerjap. "Ah, kenapa aku nggak kepikiran. Iya, Cla. Aku bakal cari kasus penggantinya Mbak Roto."

Ketika Gendhis tengah berpikir, suara Clary terdengar,  "Mas Damai mau datang ke Jogja, Ndhis. Aku harus gimana?"

"Cla, harusnya kamu seneng, ada Mas Damai yang ada buat kamu walau jauh. Kalau aku jadi kamu, aku bakal terima Mas Damai." Gendhis mendengkus. Apakah cinta bisa seperti kutu loncat? Buktinya Gendhis bucin berat dengan suaminya yang ia anggap gay.

“Iya, seneng sih. Tapi deg-degan juga. Dia kan kayak dari kelas tinggi gitu. Waktu datang nikahan kamu aja aku kayak dayang-dayang dia.”

Gendhis masih bisa terkekeh di sela isakannya. "Kamu itu cantik, Cla. Sayang aja lola. Udah, Cla, terima aja Mas Damai. Lebih baik kita lebih dicintai, daripada lebih mencintai karena sakit hatinya bakal setengah hidup."

“Gitu, ya? Makasih, Ndhis. Aku jadi lebih tenang.”

"Selamat bersenang-senang, ya Cla. Jangan lupa sisain nastar buat aku." Dalam keadaan sedih pun, Gendhis masih ingat nastar Clary.

"Makasiiiih. Nih aku bikin nastar baru, isinya pasta beras kencur. Cobain ya."

💕Dee_ane💕

Mampir di tempat Clary furadantin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro